Di depan hadirin Syawalan Keluarga Musisi “Kampayo” di Yogyakarta, 16/7, budayawan Emha Ainun Najib berbagi wawasan filosofi kenegaraan di balik ‘kebingungan sistemik’. Tema ini disampaikan setelah mendapat pertanyaan sejumlah masalah kebangsaan dalam sesi dialog yang, pada malam itu, juga dihadiri sejumlah pejabat dan pengusaha.
Bagi pria yang akrab disapa Cak Nun ini, membedakan antara negara dan pemerintahan sangat penting dalam mengurai benang kusut permasalahan bangsa ini. Dan hingga kini, di Indonesia belum ada kejelasan perbedaan antara negara dan pemerintah.
“Sehingga hak milik kantor kabupaten itu belum jelas, milik negara atau pemerintah? Selalu dibilang milik negara, tapi pelakunya pemerintah.”
Penulis ‘Dari Pojok Sejarah’ ini lalu mengajak merefleksikan kembali filsafat kenegaraan para leluhur di zaman Majapahit. Negara yang pada masa itu dipimpin misalnya oleh Hayam Wuruk bertugas mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan dan menyusun sistem kontrol. Adapun Gadjah Mada merupakan perdana menteri yang bertugas sebagai eksekutor dari kebijakan-kebijakan Hayam Wuruk. Sehingga, Gadjah Mada berposisi diawasi oleh sistem kontrol negara yang dipimpin oleh Hayam Wuruk.
“Nah sekarang, presiden itu kan melantik ketua KPK, sekaligus ikut menentukan ketua KPK. Kalau mengikuti logika Majapahit, sebenarnya presiden — kalau dikatakan kepala pemerintahan — justru ia nomor satu yang harus diawasi KPK.”
Karena itu, menurut Cak Nun, presiden tidak punya posisi untuk melantik KPK. Lebih jauh, pria kelahiran Jombang ini juga menyinggung lalu lintas keuangan setelah ditanya soal pajak, migas dan pertambangan.
“BUMN itu kalau setor keuangan ke kas negara atau pemerintah? kan juga tidak jelas, karena di Indonesia tidak punya majelis tinggi.”
Agar lebih mudah memahaminya, Cak Nun memberikan analogi seperti rumah tangga dan keluarga. Kepala keluarga ialah bapak sedangkan kepala rumah tangga adalah ibu. Keduanya memiliki kas keuangan sendiri-sendiri. Sebagian dari kas bapak diberikan ke kas ibu untuk keperluan rumah tangga, tapi penghasilan bapak dari kantor masuk ke kas keluarga.
“Nah, di Indonesia tidak ada bedanya rumah tangga dan keluarga. Jadi kepala keluarga adalah kepala rumah tangga di Indonesia.”
Meski mengaku tidak tahu masalah teknisnya, secara filososi kenegaraan persoalan seperti pertambangan, migas, hingga pajak menjadi tidak jelas proporsinya. “Ibarat sepak bola, ko wasit ikut tendang bola. Nah, saya kira ada kebingungan sistemik di dalam formula kenegaraan kita.”
Kebingungan sistemik juga dicontohkan dalam soal kebudayaan khususnya keraton yang menurutnya merupakan salah satu pilar negara. Walaupun di Inggris keratonnya cuman satu, tapi memiliki fungsi jelas sebagaimana perdana menterinya yang juga memiliki fungsi jelas.
“Di Indonesia, saking banyaknya keraton, akhirnya tidak bermakna semua,” sindir budayawan yang pernah diminta nasihatnya oleh Presiden Soeharto menjelang kejatuhannya di Istana Merdeka.
Namun Cak Nun mengingatkan tidak berbicara spesifik masalah yang sedang terjadi di Yogyakarta. “Kalau saya ngomong Jogja, saya tidak pernah mikirin pilkada, juga tidak pernah mikirin Gubernur DIY. Yang saya pikirkan adalah peran keraton Jogja untuk seluruh Republik Indonesia,” katanya sambil mengajak belajar ke negara lain yang menjadikan kekuatan budayanya berfungsi sebagai pilar negara.
Setelah menyebut jumlah keraton warisan peradaban Nusantara yang ratusan itu, Cak Nun berkata, “saya membayangkan Indonesia pada suatu hari bisa mencari bentuk yang lebih tepat, dimana keraton itu merupakan salah satu pilar negara.”
Bagi Cak Nun, pilar negara itu adalah rakyat, kekuatan tradisi dan adat dimana keraton di dalamnya, tentara rakyat, dan kekuatan intelektual. Pesan ini sebenarnya telah disampaikan secara kultural oleh para leluhur seperti lewat pewayangan yang diperankan para Punakawan. Dimana masing-masing sosok Punakawan itu, oleh Sunan Kalijaga, memberi pesan kebudayaan, intelektual, maupun filosofis.
“Tapi seluruh kearifan atau jangkar wisdom-nya, ada di Semar.”
Meskipun di Indonesia belum ada sosok Semar, pria 63 tahun ini optimis dengan generasi pemuda yang oleh sebagian peneliti disebut generasi Millenial. Yaitu, anak-anak generasi berusia antara sekitar 20 sampai 40 tahun. Adapun orang-orang yang menduduki pemerintahan sekarang berusia rata-rata 50-an tahun sampai 60 tahun.
Yang paling berperan di Indonesia sekarang ini, di luar pemerintahan, adalah anak-anak generasi Millenial. “Dan mereka ini adalah orang-orang yang paling kreatif, eksploratif, sergep (rajin) luar biasa, sangat senang dengan kesalehan, dan sangat disiplin,” katanya sembari menyinggung pancaroba dari cara berfikir ‘manual’ ke ‘screen touch’.
Anak-anak muda sekarang, kata Cak Nun memberi contoh, mengurus kopi dari hulu sampai hilirnya. Dari kebunnya sampai meraciknya diurus semua dengan kreatif. Ketika mainan anak Nusantara yang berjumlah ratusan ribu itu mulai tenggelam oleh IT, mereka kembali menggali dengan inovatif. Ketika jilbab di barat diasosiasikan teroris atau wahabi, pemudi berjilbab di Indonesia dapat dengan bangga menyanyikan tembang Jawa.
“Saya kira kita sudah sampai pada puncak di mana kita telah terlalu meremehkan warisan-warisan leluhur, sehingga lahirlah anak-anak muda sekarang memberontak dan sedang mencari keindahan-keindahan warisannya yang adiluhung itu,” katanya di depan hadirin khususnya kepada yang berusia sepuh.
Jadi di Indonesia sebenarnya ada revolusi-revolusi yang tidak terjadi di luar negeri. Oleh sebab itu, Cak Nun sangat bangga dan optimis pada anak-anak muda Indonesia, apalagi, “sepuluh tahun lagi mereka akan memimpin kita,” katanya. []
YS/IslamIndonesia. 20 Juli 2016.
Sumber: IslamIndonesia