Jejak-jejak Gus Dur di NU

Bagi banyak warga Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak ubahnya ikon.

Lebih dari itu, Gus Dur adalah representasi NU yang modern bagi orang di luar kelompok organisasi keagamaan tersebut.

Itulah kesan yang saya tangkap selama hampir satu tahun mengikuti perjalanan Gus Dur. Pertama, dalam peran sebagai staff media kepresidenan mulai awal Februari 2001 hingga beliau lengser. Kedua, reporter untuk situs internet gusdur.net hingga penghujung Desember 2001.

Dari pengalaman beberapa bulan menempel Gus Dur, ada beberapa pengalaman yang memperkuat kesan saya mengenai betapa kuat dan dalam pengaruh tokoh NU yang terlahir dengan nama kecil Abdurrahman Wahid Addakhil tersebut.

Saya tidak tahu jumlah pesantren yang dikunjungi Abdurahman Wahid ketika dia menjabat presiden. Yang jelas, kunjungan itu sudah menjadi agenda rutin dari tokoh yang pernah menjadi ketua PB NU selama tiga periode.

Dari rangkaian kunjungan ke pesantren, saya bisa melihat cendekiawan dan aktivis LSM bermunculan dari sana. Mereka bisa mengkaji isu-isu keagamaan seperti kesetaraan jender, poligami, dan hak waris - tidak hanya dari kaca mata santri tradisional, tapi juga perspektif intelektual modern.

Dari mana mereka mendapatkan itu semua? Di sinilah pengaruh Gus Dur paling terasa di kalangan warga NU adalah menumbuhkan dan mengembangkan tradisi intelektual baru di kalangan kaum santri.

Dia menghendaki generasi muda Nahdliyyin tidak tersungkup pada tumpukan bahan bacaan klasik pesantren, kitab kuning, atau pun pagar pesantren.

Sebagai gantinya, generasi muda NU dipacu untuk menelaah dan mengkaji aneka gagasan dari luar NU dan dunia Islam. Bahkan, bila memungkinkan, mereka didorong untuk meneruskan belajar ke perguruan tinggi Barat.

Dan, dari informasi yang saya peroleh, Gus Dur telah menyuntikkan semangat belajar baru ini sejak pertengahan 1970-an, setelah penjelajahan akademis dan intelektual yang membawa dia merantau Kairo, Baghdad, dan kemudian Eropa Barat.

Dalam kaitan ini, Gus Dur menempatkan diri sebagai patron bagi intelektual muda NU. Sebut nama intelektual kontemporer dari kalangan NU, hampar pasti dia akan mengakui Gus Dur setidaknya pernah menjadi sumber inspirasi untuk keluar dari cangkang tradisional mereka pesantren, dan merambah ke dunia luar, kata seorang teman wartawan suatu ketika.

Banyak alumni pesantren kemudian menemukan keberanian untuk membuka diri ke dunia luar, mengadopsi gagasan baru, serta memotori pembaharuan di lingkungan kaum Nahdliyyin yang pernah diidentikkan dengan keterbelakangan dan kekolotan.

DI SEMUA LAPISAN

Apakah ini berarti Gus Dur hanya populer di kalangan elemen intelektual organisasi yang didirikan kakeknya, KH Hasyim As'yari?

Harus saya akui Gus Dur jauh lebih populer di kalangan alumni pesantren NU yang kemudian belajar di Amerika Serikat, Kanada, atau Australia. Meski demikian, sepengetahuan saya, itu bukan berarti Gus Dur tidak akrab dengan segmen kiai dan warga NU yang tetap memilih jalan tradisional, atau salaf dalam jargon kaum Nahdliyyin.

Setiap kali Gus Dur mendatangi kediaman kiai dan pesantren yang masih lekat dengan tradisi kuno khas NU - tempat santri masih mengenakan sarung; kitab kuning menjadi dominasi menu kajian kiai; dan para santri yang masih berebut mencium tangan kiai - bisa dipastikan sambutan luar biasa hormat sudah menunggu Gus Dur.

Sikap hormat itu tidak hanya terlihat di basis utama NU, Jawa Timur, tapi juga di Jawa Barat, dan NTB. Santri juga berebut mencium tangan, atau kalau mencium tangan tak kesampaian, hanya menyentuh pakaian pun jadi.

Lebih dari itu beberapa kiai terkemuka yang menyatakan sangat berkeberatan Gus Dur menjadi presiden RI tetap menyalami dan membalas kunjungan cucu pendiri NU tersebut.

Mereka juga tetap bisa berdiskusi tentang banyak hal di tengah perbedaan pendapat.

TIDAK MEMAKSA

Tapi, ada yang bertanya mengapa Gus Dur sepertinya hanya menikmati priviledge yang biasa diberikan oleh warga NU kepada para kiai mereka?

Mengapa dia tidak merekayasa kharisma, priviledge, atau rasa hormat -yang sering dipandang pihak-pihak yang berseberangan dengannya sudah menjurus kultus individu- untuk menggulirkan reformasi habis-habisan di kalangan NU secepat-cepatnya?

Gus Dur mengakui dia tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti gagasan kepada orang lain -termasuk warga NU yang fanatik sekali pun- untuk memilih tradisi, kultur dan gaya hidup mereka. Hingga hari ini, saya masih bertanya-tanya apakah ini berarti Gus Dur adalah korban kompromi antar visi pembaharuan dan tradisionalisme a la Nahdlatul Ulama?

Dia harus mengikuti tradisi NU untuk bisa menerobos masuk ke kalangan NU. Atau, mungkin NU perlu lebih dari seorang Gus Dur, atau bahkan puluhan atau ratusan orang seperti Gus Dur untuk menggulirkan reformasi di kalangan kaum Nahdliyyin yang mendatangkan manfaat dan kemaslahatan hingga jauh di luar batas organisasi Nahdladtul Ulama.

Ketika Gus Dur wafat akhir Desember 2009, bukan hanya kalangan NU atau umat Islam yang berduka, tapi seluruh rakyat Indonesia dari berbagai suku dan agama. Dia bukan lagi menjadi milik NU saja atau sekadar mantan presiden.

Mengharapkan tokoh kharismatis yang sekaligus berkaliber nasional, seperti Gus Dur, muncul lagi dari NU mungkin tidak realistis, tapi tetap saja siapapun yang memimpin NU kelak yang dihasilkan Muktamar ini, jelas reformasi NU menjadi salah satu tugasnya, di samping menjunjung tinggi paham kebangsaan dan kerakyatan.

A Marzuq
BBC Indonesia. 24 Maret 2010

* Gus Dur (Abdurrahman Wahid) adalah Presiden Republik Indonesia yang keempat; menjabat dari 1999 hingga 2001, menggantikan B.J. Habibie. Tokoh Muslim Indonesia ini adalah mantan Ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).