Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober memiliki korelasi kuat dengan peristiwa kontemplasi Ir Soekarno (Bung Karno) di sebuah kota kecil di Pulau Flores, tepatnya di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Buah pemikiran tentang Pancasila Sang Proklamator ini tidak lahir tiba-tiba. Pancasila hadir sebagai hasil dari renungan panjang Bung Karno selama empat tahun di pengasingan.
Obrolan tersebut mengemuka saat NU Online bincang-bincang dengan Ketua PCNU Ende Usman Hamid saat menelusuri jejak Bung Karno di kota kecil itu, Ahad (1/9).
“Pada 14 Januari 1934, Bung Karno bersama sang istri, Inggit Garnasih serta ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami, tiba di rumah tahanan yang terletak di Kampung Ambugaga, Ende. Bung Karno diasingkan di daerah ini hingga 1938,” kisahnya.
Menurut cerita, lanjut Usman, di bawah pohon sukun di sebuah tanah lapang yang menghadap langsung ke Pantai Ende menjadi tempat favorit Bung Karno untuk berkontemplasi. Pohon yang terbilang rindang itu berjarak sekitar 700 meter dari kediaman Bung Karno. Biasanya, ia pergi sendiri ke tempat sunyi itu pada Jumat malam. Di tempat itulah, Bung Karno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus.
Dalam buku Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara, diceritakan bahwa Soekarno jadi lebih banyak berpikir daripada sebelumnya. Kehidupannya bersama keluarga di Ende sangat sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk politik layaknya di kota besar. Tak banyak yang bisa ia lakukan di tempat pengasingan yang begitu jauh dari Ibu Kota itu.
Bung Karno diasingkan ke daerah terpencil dengan penduduk berpendidikan rendah sengaja dilakukan Belanda demi memutus hubungan dirinya dengan para loyalis di Tanah Jawa. Di tempat pengasingan ia mulai mempelajari lebih jauh tentang Islam hingga isu pluralisme. Para pastor di Ende menjadi kawan diskusinya.
Sehari-hari Bung Karno memilih berkebun dan membaca. Untuk membunuh kebosanannya dengan aktivitas yang monoton itu jiwa seninya kembali tumbuh. Bung Karno mulai melukis hingga menulis naskah drama pementasan.
Di sela kegiatan seninya, Bung Karno berkirim surat dengan tokoh Islam di Bandung bernama T A Hassan dan berdiskusi cukup sering dengan pastor Pater Huijtink. Dari sinilah Bung Karno menjadi lebih religius dan lebih mengerti makna keberagaman secara mendalam.
Pancasila Lahir
Bung Karno kemudian memaparkan lima prinsip beserta relevansinya bagi bangsa Indonesia pada rapat besar Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945 di Jakarta. Dengan semangat 45, ia menyadarkan anggota rapat tentang perlunya Indonesia memiliki dasar negara yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima butir itulah yang ia disebut sebagai Pancasila. Inilah yang kemudian melandasi penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Tentang ide lima butir mutiara tersebut Bung Karno memiliki cerita sendiri.
Berikut ini kisahnya: “Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari. Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung, di sanalah aku duduk termenung berjam-jam.
Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi.
Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada.” (Musthofa Asrori/Alhafiz K)
Sumber: NU Online
1 Oktober 2017