“Saya selalu menghindar dari mekanisme ekonomi. Saya tidak tahu ATM. Panitia memberi honor saya itu urusan (akhlak) panitia kepada Tuhan. Itu ekonomi Islam,” kata Cak Nun mengawali pembicaraannya dalam Seminar Strategic Mapping of Islamic Economic System in Indonesian Outlook 2008 dengan subtema “Ekonomi Islam, Budaya Bangsa Dan Kehidupan Masyarakat Yang Lebih Bermartabat”, di Auditorium MM UGM, 17 Desember 2007.
Sedari awal Cak Nun sudah menegaskan kepada para peserta yang rata-rata masih mengenyam bangku kuliah alias mahasiswa, dan sebagian lagi praktisi ekonomi Islam, bahwa apa yang disampaikannya ini tidak harus dipercaya, tidak harus diikuti, tetapi itu yang selama ini dialaminya. Lebih-lebih untuk kasus-kasus yang sifatnya personal. “Bisa rusak nanti kalau diterapkan secara nasional/sistem,” seloroh Cak Nun.
Maka, mediator yang mempertemukan korban lumpur Sidoardjo dengan Presiden SBY ini pun memberi contoh sangat banyak tentang bagaimana ekonomi itu bekerja pada dirinya dan jaringan kerjanya. Persis seperti pengantar Pak Dumairy, dosen pada Magister Sains dan Doktor Ilmu-Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, yang memandu ceramah Cak Nun, para peserta diajak menyimak the other side of economy.
Itu pun cak nun. hanya mengajak peserta untuk mencari di mana letak Ekonomi Islam dalam sejumlah pemetaan yang dikedepankannya. Karena sudah tersebut kata martabat dalam subtema itu, Cak Nun coba mengulas makna martabat yang selama ini dipakai tetapi jarang benar-benar dipahami maknanya.
“Martabat itu nilai di depan manusia (bersifat horisontal). Ada kaitannya dengan kata tartib/tertib… dan kalau mau bermartbat itu mudah sekali. Kalau anda kaya, kasih uang ke orang maka tinggi martabat anda,” urai Cak Nun.
Tetapi, lebih mendalam dijelaskannya, “kalau berbicara martabat mending bicara derajat. Kalau anda dapat derajat pasti anda dapat martabat. Derajat itu nilai di hadapan Allah.” Cak Nun juga bercerita tentang sejumlah program ekonomi yang dilakukannya dengan melibatkan rakyat kecil.
Honor atau prosentase yang diminta olehnya bukan uang, meski berhak, tetapi adalah menyaksikan kinerja mereka bagus dan berkembang. “Ini juga ekonomi Islam,” papar pria yang tak banyak orang tahu kalau dia berdomisili di Yogkayakrta ini sembari menambahkan bahwa sikap seperti ini malah justru membuahkan min haitsu la yahtasib (ketakterduga-dugaan).
Lebih skematis Cak Nun memaparkan tafsir ayat 2-3 surat at-Thalaq, bahwa jika kita setor dua hal maka kita dapat empat hal. Pertama setor taqwa, kita akan memperoleh jalan keluar bagi masalah (yaj’al lahu mahrojan) dan rizki yang tak terduga-duga (yarzuqhu min haitsu la yahtasib).
Kedua, setor tawakkal (mewakilkan), maka kita mendapatkan fungsi Allah sebagai akunta kita, dan mendapatkan fungsi Allah sebagai perealisasi rencana baik kita. Sedikit memberi contoh, Cak Nun menjelaskan, “taqwa itu tidak sulit-sulit pokoknya Tuhan itu tempat pekewuh. Maksudnya, ketika mau mengambil keputusan ingat, O ada Allah, Nggak enak ah dilihat Allah….”
ALLAH KASIH UANG CASH
Tentang dua ayat rumus (ekonomi) ini, Cak Nun berbagi cerita nyata. Bahkan dalam pengalamannya, Allah sungguh-sungguh memberi uang cash kepadanya. Namun, semua itu disyarati oleh hati yang ikhlas. Menariknya, hati yang ikhlas itu, dalam perspektif Cak Nun disebut sakinah, suatu istilah yang selama ini digunakan dalam konteks pernikahan. “Sakinah itu artinya sudah selesai. Sudah cukup….”, papar Bapaknya Noe Letto ini.
Inilah cerita nyata itu. Suatu hari Cak Nun kedatangan tamu-tamu mulia yaitu para kiai yang untuk suatu keperluan sengaja bertamu ke rumahnya. Cak Nun merasa tersanjung, dan sebenarnya merasa kurang enak juga, kok kiai-kiai ini menemuinya. Lebih tidak enak lagi kalau dirinya tidak bisa menghormati mereka dengan sepenuh takzim, termasuk tidak bisa memberinya sangu (uang untuk dibawa pulang).
Padahal hari itu ia tidak punya uang. Dengan perasaan sedih, ia masuk kamar. Berdoa kepada Tuhan, menyampaikan rasa malu, menangis tersedu, sambat kepada-Nya. Agak lama juga.
Ketika mau keluar kamar, sesudah berkeluh kesah kepada Allah, ajaib, di atas kaca cermin, di tempat sisir, ada uang segepok. Ternyata berjumlah sepuluh juta. Dan segera ia bagikan uang itu kepada para tamu-tamunya itu. “Tetapi tidak boleh bersisa, harus dikasihkan semua”, kata Cak Nun.
Kali lain, dua puluh tahun lalu, sebuah bus menabrak mobil yang dikendarainya. Setelah penumpang dievakuasi, Cak Nun mengajak si sopir bus itu makan. Sembari menyantap makanan, Cak Nun bertanya apakah dia mau bertanggung jawab dan membiayai perbaikan mobilnya. Si sopir bilang ya.
Kemudian mereka berangkat ke bengkel untuk mengetahui kerusakan dan biaya yang mesti ditanggung. 850 ribu ongkosnya. Bukan jumlah yang sedikit kala itu. Dan perbaikan akan selesai dua minggu lagi.
Namun, dalam hati, Cak Nun berniat kelak dia yang akan membayarnya sendiri, tetapi sengaja tidak mengasih tahu si sopir bus itu supaya dia juga merasakan penderitaan dan perjuangan. Tiba hari yang ditunggu, Cak Nun hanya punya uang tiket ke Surabaya. Tak tersedia uang untuk bayar bengkel itu, padahal sudah telanjur berjanji untuk membayar sendiri.
Entah apa yang terjadi, di bandara Surabaya, seorang perempuan gemuk besar menemuinya. “Cak Nun, ya?”, tanya si perempuan itu dengan nada tinggi. “Ya….”, jawab Cak Nun. “Sini ikut saya!” ajak perempuan misterius itu sembari menggandengnnya ke suatu tempat yang agak sepi.
Di situ, perempuan itu memasukkan sebuah amplop tebal ke saku celana Cak Nun. Setelah itu ia ucapkan, “Sudah pergi sana. Selamat berjuang!”
Bungkusan tak serta merta dibukanya. Sepanjang perjalanan menuju Jombang, dibiarkan bungkusan itu apa adanya. Lebih baik berlama-lama penasaran apa kira-kira isinya. Kalau uang berapa jumlahnya. Jika bukan, apa gerangan isinya.
Begitu sampai di bengkel, ia omong-omong sebentar dengan si sopir dan pemilik bengkel. Ketika hampir tiba waktu membayar, sejenak Cak Nun izin pergi ke toilet. Di sana ia buka bungkusan itu. Pelan-pelan. Rupanya uang. Dihitung satu per satu. Ternyata jumlahnya 850 ribu.
Pas sejumlah uang perbaikan mobilnya yang ia janjikan dalam hatinya untuk dibayar sendiri. Begitu si sopir mau membayar, Cak Nun sudah duluan menyodorkan uang “kaget” itu.
Masih ada kisah-kisah lain yang dibagikan sosok yang enggan disebut budayawan ini kepada sekitar 100-an peserta seminar sehari itu. Intinya, ia berpesan “Ekonomi tak cuma di pasar Beringharjo, tak cuma di pasar modal….”.
Juga dirinya berpesan supaya Islam dalam frasa ‘ekonomi Islam’ tidak berposisi instrumental. Ia menganalogkan dengan frasa ‘wisata religi’. Dalam frasa itu, kata Cak Nun, “yang pokok dan utama adalah wisata-nya, bukan religi-nya. Ia berharap semoga itu tidak menimpa ekonomi Islam. Lebih jauh lagi ia berharap, “mudah-mudahan ini bisa memberi inspirasi pada saat Anda perlu ambil keputusan penting dalam usaha anda.”
Pertanyaan yang diajukan beberapa peserta agaknya sudah mengarah ke sana. Mereka menyodorkan pertanyaan seputar posisi dan relasi antara rasionalitas (ekonomi) dan spiritualitas (Islam), mencari-cari medan tempat ekonomi Islam seharusnya diletakkan (diimplementasikan).
Setidaknya, kata Cak Nun, “Dalam ekonomi Islam ada pihak-pihak yang harus dihitung mulai dari Allah, Rasul, malaikat, wali-wali, klien, dan lain-lain…."
Sumber: caknunartikel.blogspot.com