Elite masyarakat, khususnya elite penguasa dimanapun selalu mempunyai anggapan bahwa rakyat banyak tidak mampu untuk memahami masalah-masalah kenegaraan modern, apalagi untuk ambil bagian didalam pembuatan keputusan public. Elite masyarakat selalu memandang rakyat jelata sebagai tidak mampu memerintah, bahkan tidak mampu untuk hanya menyatakan setuju atau tidak setuju atas suatu rancangan kebijakan sekalipun.
Karena adanya pandangan demikian, maka dalam setiap negara demokrasi modern, seluruh mekanisme yang memungkinkan rakyat untuk terlibat didalam pengambilan keputusan dihapuskan sama sekali. Bahkan, dengan berbagai alasan referendum ditiadakan sama sekali. Beberapa alasan peniadaan referendum antara lain karena referendum dipandang tidak praktis, menghambat pembuatan keputusan, berbiaya mahal, dan sebagainya.
Bahkan, pada masa Orde Baru, demokrasi langsung pedesaan di Indonesia telah dihapuskan sama sekali sejak tahun 1979, khususnya sejak lahirnya Undang-Undang no. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada masyarakat bernegara modern, kedaulatan rakyat sepenuhnya diserahkan kepada elite masyarakat, yang jika terpilih menduduki jabatan publik akan disebut sebagai wakil rakyat. Karena rakyat dipandang telah terwakili, maka kata demokrasi yang mempunyai arti “pemerintahan rakyat,” kabarnya masih sah untuk disandang.
Walaupun realitasnya demokrasi memang sebuah sistem kenegaraan, tetapi sebagai sebuah sistem kenegaraan, dia berbeda dengan berbagai sistem kenegaraan yang lain. Bagaimanapun, nama demokrasi menyandang kata “rakyat” didalamnya, yang karena itu idealnya sistem tersebut harus melibatkan rakyat, yang biasa disebut sebagai pemilik negara, pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara yang bersangkutan.
Bagaimanapun, idealnya, dalam sebuah negara demokrasi, keterlibatan rakyat seharusnya diupayakan semaksimal mungkin hingga batas terakhir kondisi kenegaraan modern memungkinkannya. Karena itu, walaupun demokrasi merupakan sistem kenegaraan, sistem tersebut tidak akan dapat terselenggara dengan baik hanya dengan mengembangkan berbagai lembaga negara yang konvensional yang dipandang sesuai dengan sistem demokrasi perwakilan, yang biasanya diimpor dari barat, dari negara-negara yang selama ini dipandang sebagai negara demokrasi.
Banyak pengalaman yang menunjukkan impor kelembagaan negara demokrasi oleh negara-negara dunia ketiga sama sekali tidak menghasilkan demokrasi. Akibatnya, dinegara yang bersangkutan ada parlemen yang anggota-anggotanya dipilih rakyat, ada presidennya yang mungkin juga dipilih oleh rakyat, ada lembaga peradilannya, bahkan secara formal ada pemisahan kekuasaan diantara mereka, tetapi realitasnya negara yang bersangkutan tidak ada bedanya dengan negara otoriter, karena keputusan-keputusan yang dibuat sama sekali tidak mencerminkan kehendak rakyat, bahkan seringkali bertentangan dengan kehendak dan kepentingan rakyat banyak.
Pada masa Orde baru kita pernah mengalami kondisi demikian. Kita mengenal parlemen, yaitu DPR dan MPR yang katanya merupakan lembaga negara tertinggi pelaksanan kedaulatan rakyat, ada pemilihan umum yang berlangsung secara rutin, dan ada partai-partai yang bersaing didalam pemilihan umum. Tetapi realitas politik yang kita hadapi jelas menunjukkan bahwa sistem negara kita sama sekali tidak demokratis.
Pemilu yang diselenggarakan secara rutin tidak lebih seperti ritual kenegaraan, yang bahkan oleh penguasa diistilahkan sebagai “pesta demokrasi”. Akibatnya, rakyat memahami demokrasi sebagai tidak lebih dari pada sebuah pesta, yang akan segera usai ketika pesta telah usai.
Tetapi kenyataannya memang demikian, karena mereka yang dipilih yang (katanya) sebagai wakil rakyat sama sekali tidak pernah mewakili kepentingan rakyat. Mereka lebih mewakili kepentingan penguasa, yaitu untuk memantapkan dan mengokohkan kedudukan penguasa. Kondisi tersebut dapat berlangsung, karena impor kelembagaan tidak disertai berbagai persyaratan yang menyertainya, seperti ketidak berpihakan militer dan birokrasi dalam politik. Penguasa Orde Baru bahkan secara terang-terangan bertumpu pada kedua kekuatan tersebut. Akibatnya, kebebasan dan persamaan yang merupakan pilar demokrasi juga tidak ada, karena kekuasaan ditopang oleh kekuatan senjata dan administrasi negara, yang didalam negara demokrasi seharusnya bersikap netral.
Ketika kita memasuki masa reformasi berkat perjuangan para mahasiswa yang bertekad menggulingkan rejim Orde Baru dari tampuk kekuasaannya, maka persyaratan demokrasi seperti netralitas militer dan birokrasi mulai dikumandangkan dan sedikit banyak diterapkan, kebebasan mulai dirasakan.
Tetapi yang terjadi, demokrasi tidak memberi arti apa-apa bagi rakyat kebanyakan. Demokrasi menjadi tidak lebih sebagai tontonan perebutan kekuasaan antara elite-elite partai yang dalam persaingan mereka memanfaarkan rakyat. Sebagai rakyat, kita menyaksikan bagaimana mereka yang menamakan dirinya wakil rakyat sama sekali tidak memiliki kepekaan terhadap nasib rakyat yang mereka wakili. Ketika rakyat sedang mengalami kesulitan ekonomi yang hampir-hampir tak tertanggungkan, mereka malah mempeributkan kenaikan berbagai tunjangan dan fasilitas bagi diri mereka sendiri. Korupsi oleh wakil rakyat merebak dimana-mana, agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik, dan sebagainya.
Dari gambaran masa pasca reformasi ini, nampak bahwa karena demokrasi melibatkan rakyat didalam keberlangsungannya, maka keberhasilan dari sistem demokrasi, dalam arti agar sistem tersebut dapat berlangsung sebagaimana yang dibayangkan dan digambarkan secara ideal, maka rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan para wakilnya. Untuk itu, maka perlu dibangun mekanisme yang memungkinkan rakyat untuk ikut ambil bagian dalam beberapa jenis kegiatan kenegaraan yang penting, khususnya pembuatan kebijakan publik, dan mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang telah dipilih rakyat.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka di Swis dan beberapa negara bagian Amerika Serikat di kembangkan sistem yang memungkinkan rakyat untuk secara langsung ikut serta untuk menentukan beberapa kebijakan negara tertentu. Peran langsung rakyat tersebut tidak lagi dilaksanakan melalui pertemuan lembaga rakyat sebagaimana halnya Ekklesia di dalam sistem kenegaraan Athena kuno, tetapi berupa keterlibatan rakyat melalui inisiatif (perundang-undangan) dan referendum.
Inisiatif Rakyat
Yang dimaksud dengan Inisiatif rakyat adalah alat bagi rakyat untuk mengusulkan dan memberlakukan suatu peraturan hukum. Namun demikian, hal ini berbeda dengan apa yang selama ini kita kenal dan banyak dilakukan di Indonesia, dimana dinegeri kita juga ada beberapa kelompok masyarakat, baik organisasi massa (Ormas) maupun LSM yang menyusun usulan draft perundang-undangan. Perbedaannya adalah bahwa di Indonesia, usulan rakyat sama sekali tidak memiliki dasar hukum, dan berada diluar struktur, yang karena itu dengan mudah dapat diabaikan oleh pembuat keputusan.
Sementara yang dimaksud dengan inisiatif rakyat disini adalah hak inisiatif yang dilembagakan, artinya mendapatkan dasar hukumnya dan kekuatan untuk dipaksakan. Sebagai contoh penerapan hak inisiatif rakyat ini adalah yang dilaksanakan di negara Swis dan beberapa negara bagian Amerika Serikat. Hak inisiatif ini dapat digunakan dengan cara, beberapa orang (biasanya kelompok kepentingan atau kelompok penekan, atau LSM; atau pengacara mereka) menyusun draft perundang-undangan.
Draft ini kemudian dimintakan tandatangan rakyat yang mendukung, untuk mendapatkan jumlah tandatangan yang menjadi syarat sahnya pengajuan inisiatif. Setelah mendapatkan jumlah tandatangan yang dibutuhkan untuk sahnya pengajuan inisiatif, ada dua cara yang biasanya ditempuh oleh negara yang menganut sistem ini. Yang pertama, yang sering disebut sebagai inisiatif langsung, ditentukan bahwa setiap inisiatif rakyat yang telah memenuhi syarat jumlah dukungan tandatangan, langsung disosialisasikan kembali kepada rakyat dan pada waktu yang ditentukan dilakukan pemungutan suara untuk menentukan apakah inisiatif tersebut diterima atau tidak.
Kalau diterima, maka inisiatif tersebut menjadi peraturan hukum. Dalam model ini, peran lembaga legislatif hanya memfasilitasi berlangsungnya penentuan pendapat rakyat mengenai rancangan perundang-undangan inisiatif rakyat tersebut. Untuk Indonesia, bisa saja penyelenggaranya bukan lembaga legislatif, tetapi (misalnya) KPU.
Cara yang kedua, yang sering disebut sebagai inisiatif tidak langsung, adalah cara dimana inisiatif rakyat diajukan kepada lembaga legislatif untuk disidangkan. Jika ternyata lembaga legislatif menyetujui inisiatif rakyat tersebut, maka rancangan yang merupakan inisiatif rakyat tersebut disahkan sebagai undang-undang (atau bentuk peraturan lain sesuai dengan kewenangan lembaga yang membahasnya, apakah DPR atau DPRD).
Dalam hal lembaga legislatif menolak, maka rancangan yang merupakan inisiatif rakyat tersebut harus disosialisasikan dan pada waktunya diadakan penentuan pendapat rakyat, apakah inisiatif yang bersangkutan diterima atau tidak. Kalau diterima, maka rancangan perundang-undangan yang merupakan inisiatif rakyat tersebut menjadi undang-undang.
Sebagai undang-undang, hasil inisiatif rakyat ini menduduki posisi yang istimewa, yang tidak boleh dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang yang dibuat oleh DPR. Alasannya adalah, karena hukum yang timbul dari hak inisiatif ini merupakan hukum yang dibuat dan disetujui secara langsung oleh rakyat sendiri, yang karena itu tidak boleh dibatalkan melalui ketentuan apapun, kecuali oleh kehendak langsung dari rakyat sendiri. Artinya, hukum hasil inisiatif hanya bisa dibatalkan dengan peraturan yang juga hasil inisiatif yang lebih baru.
Referendum
Referendum bisa diartikan sebagai jajak pendapat resmi dari rakyat untuk mengetahui kehendak mereka mengenai bentuk pemerintahan, usulan legislative, atau berbagai kebijakan negara yang lain. Dari pengertian ini, maka berlangsungnya referendum tidak selalu dalam hubungan dengan inisiatif.
Bahkan, di inggris dikenal sejenis referendum yang disebut sebagai Local Option, yang biasanya hanya dikenakan pada masyarakat suatu wilayah tertentu, misalnya untuk mengetahui kehendak rakyat setempat mengenai pendapat mereka apakah didaerah tersebut gedung bioskop boleh dibuka pada hari Minggu (hari yang bagi masyarakat Kristen, sebagaimana halnya masyarakat Inggris yang mayoritas beragama Kristen, merupakan hari ibadah), atau apakah penjualan alcohol didaerah itu dibolehkan atau tidak.
Ada tiga kemungkinan sistem pelaksanaan referendum. Yang pertama, referendum dikenakan pada semua rancangan undang-undang, baik yang diajukan sebagai inisiatif rakyat maupun rancangan undang-undang inisiatif pemerintah atau DPR/DPRD. Sistem tersebut akan sangat mendekati demokrasi langsung, dan setiap peraturan hukum akan mendapat persetujuan rakyat secara personal sebagaimana yang diinginkan oleh Rousseau. Namun demikian, secara praktis, model ini akan sulit untuk disepakati oleh pembuat kebijakan yang ada saat ini, karena selain biayanya terlalu mahal, juga sangat mengurangi wewenang mereka.
Yang kedua, referendum bisa diwajibkan untuk dikenakan pada ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah-masalah tertentu, tak peduli rancangan tersebut inisiatif siapa. Sebagai contoh, misalnya, semua perundang-undangan yang mengakibatkan pembatasan hak-hak rakyat dan kebebasan lain, harus dimintakan persetujuan langsung dari rakyat melalui referendum. Atau rancangan undang-undang yang menyangkut hak dan kesejahteraan masyarakat, harus dibuka peluang inisiatif rakyat, dan dikenakan referendum wajib.
Yang ketiga, referendum bisa juga dilaksanakan jika ada petisi atau tuntutan dari rakyat agar suatu rancangan undang-undang atau bahkan yang telah menjadi undang-undang atau bentuk peraturan yang lain, dimintakan pendapat rakyat. Dengan kata lain, referendum baru bisa dilaksanakan kalau ada tuntutan masyarakat yang didukung dengan sejumlah tandatangan, yang menuntut agar rancangan atau bahkan yang telah menjadi peraturan hukum, untuk ditanyakan kembali kepada rakyat melalui referendum. Biasanya, jumlah tandatangan yang dibutuhkan untuk menuntut diselenggarakannya referendum atas peraturan hukum tertentu, lebih sedikit dari pada jumlah tandatangan yang harus dikumpulkan untuk mengajukan inisiatif perundang-undangan.
Keuntungan Hak Inisiatif dan Referendum Bagi Perkembangan Demokrasi
Baik inisiatif (rakyat) maupun referendum merupakan alat untuk merealisir (secara terbatas) demokrasi langsung. System ini dimungkinkan untuk dilaksanakan dinegara-negara modern, karena melalui system ini rakyat yang dimintai pendapatnya tidak perlu berkumpul disuatu tempat secara bersamaan, tetapi cukup melalui tempat-tempat pemungutan suara untuk menentukan pendapat mereka. Keuntungan lain dari sistem inisiatif atau referendum tersebut memungkinkan rakyat untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga legislatif yang kinerjanya buruk dan lamban, dan sekaligus merupakan alat yang sangat berguna untuk pendidikan para pemilih. (John H. Ferguson dan Dean E. McHenry, 1961: 232)
Namun demikian, ada banyak ahli dan para elit politik yang sedang memegang kekuasaan, baik sebagai eksekutif maupun legislatif, yang menentang dikembangkannya lembaga inisatif rakyat dan referendum. Alasan mereka biasanya antara lain, baik inisiatif maupun referendum merupakan alat yang meletakkan beban tambahan pada para pemilih yang sudah mendapat beban yang berlebihan. Beban demikian bisa berupa beban tenaga, karena bisa jadi sebentar-sebentar rakyat harus meluangkan waktunya untuk memberikan suaranya dalam referendum. Beban juga dapat berupa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh negara kalau banyak tuntutan yang mempunyai kekuatan yang sah, untuk dilakukannya referendum.
Keberatan lain yang biasanya dikemukakan adalah bahwa kedua lembaga tersebut dapat berakibat mengubah pemerintahan perwakilan dengan menghancurkan pertanggungjawaban lembaga legislatif. Dengan kata lain, dengan adanya inisiatif rakyat dan referendum, pembuatan kebijakan publik dan penilaian atas kebijakan tersebut yang seharusnya menjadi tanggungjawab legislatif, dialihkan menjadi tanggungjawab rakyat.
Disamping itu, ada juga yang beralasan, bahwa karena masyarakat bernegara modern telah sedemikian kompleks, dengan cakupan keterlibatan negara yang sedemikian luas, akan sulit bagi masyarakat biasa untuk ikut terlibat atau ikut memikirkan secara aktif berbagai permasalahan kenegaraan. Akibatnya, referendum bisa jadi akan mengakibatkan kerugian, karena tidak tepatnya pilihan yang dilakukan oleh rakyat.
Ada suatu pengalaman jajak pendapat di Amerika Serikat yang mendukung kekhawatiran tersebut, dimana suatu jajak pendapat yang pernah dilaksanakan, telah membuat orang-orang Amerika Serikat memberikan pandangannya mengenai Metallic metals Act, yang sesungguhnya tidak pernah ada (Ball, Alan R., 1985: 11). Pengalaman ini digunakan sebagai petunjuk bahwa sesungguhnya mayoritas publik tidak memiliki perhatian pada masalah-masalah yang tidak langsung menyangkut kepentingan mereka.
Berbagai alasan tersebut sesungguhnya sekedar merupakan alasan elit politik untuk menutup kesempatan rakyat untuk ikut ambil bagian secara langsung didalam pembuatan kebijakan yang akan dikenakan kepada mereka. Alasan akan menambah beban para pemilih, jelas merupakan alasan yang dicari-cari, karena dari pengalaman, rakyat negara kota Athena dengan senang hati berkumpul dipusat kota hampir setiap sebulan sekali (sepuluh kali dalam satu tahun, sesuai dengan pembagian sidang ekklesia dalam 10 prytanis) untuk membahas bukan saja kebijakan publik, tetapi berbagai masalah kenegaraan, bahkan untuk menentukan apakah seseorang harus dikenai Ostrakismos atau tidak (semacam hukuman pembuangan untuk selama sepuluh tahun bagi mereka yang oleh rakyat dipandang membahayakan kehidupan masyarakat).
Bahkan rakyat bersedia dengan senang hati untuk menduduki jabatan-jabatan publik, yang dari sudut ekonomi pejabat sama sekali tidak menguntungkan, dan sama sekali tidak memberi posisi terhormat, karena semua orang melalui sistem undian dapat menduduki jabatan yang sama.
Kalau rakyat sudah tidak bersedia untuk menyediakan sedikit waktu untuk membahas masalah kenegaraan, menurut Rousseau (1712 1778), negara demikian sedang menghadapi keruntuhannya. Menurut pendapatnya, meluasnya kemalasan warganegara untuk ikut ambil bagian didalam urusan-urusan publik merupakan awal keruntuhan negara yang bersangkutan:
Sekali pengabdian publik berhenti sebagai urusan utama dari warganegara dan mereka memilih mengabdi dengan kekayaan mereka dari pada dengan pribadi mereka, maka negara telah mendekati keruntuhannya. Jika tentara dibutuhkan untuk perang, warganegara membayar tentara (bayaran) dan tetap tinggal dirumah; jika dewan harus diadakan, mereka menunjuk wakil dan tinggal dirumah. Dengan menjadi malas dan membelanjakan uang, mereka pada akhirnya memperoleh tentara untuk memperbudak negeri dan wakil untuk menjualnya (Rousseau, 1974: 78).
Mengenai biaya referendum yang kenyataannya memang besar, tentunya akan disadari oleh rakyat, karena biaya tersebut dikeluarkan memang untuk kepentingan mereka sendiri juga, bukan untuk biaya yang tidak jelas, atau untuk menyediakan berbagai fasilitas mewah bagi para pejabat. Bahkan, dengan adanya hak referendum akan mengurangi biaya tour keluar negeri para pembuat kebijakan negara, yang selama ini alasannya adalah untuk mempelajari perundang-undangan dinegara lain, karena penentuan diterima tidaknya suatu rancangan undang-undang tergantung pada kehendak rakyat, yang tidak perlu belajat keluar negeri. Bagaimanapun, dengan kedua hak tersebut, suara dan kehendak rakyat menjadi lebih nyata didalam menentukan jalannya pemerintahan negara.
Penulis: Hadi Wahono
Daftar Pustaka
- Ball, Alan R., Modern Politics and Government, MacMillan Publishers Ltd., 1985.
- Ferguson, John H. dan Dean E. McHenry, The American Federal Government, McGraw Hill Book Company Inc, 1961.
- Rousseau, The Essensial Rousseau, Penterjemah: Lowell Bair, The New American Library Inc, 1974.
Foto: Ilustrasi Partisipasi Rakyat. Youtube.com