Hasanain Juaini memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay 2011 karena mengembangkan pesantren yang peduli lingkungan, menghormati perempuan, serta membangun kerukunan beragama.
Penghargaan Ramon Magsaysay -yang sering disebut sebagai Nobel versi Asia ini- diserahkan kepada Hasanain dan lima peraih lainnya di Kota Manila, Filipina, Rabu 31 Agustus 2011.
Sebagai pemimpin Pondok Pesantren Nurul Haramain di Desa Lembuak, Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat, kini namanya sejajar dengan tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Mochtar Lubis, atau Pramoedya Ananta Toer, yang juga pernah meraih penghargaan Ramon Magsaysay.
Tahun ini, selain Hasanain, warga Indonesia lainnya yang juga memperoleh penghargaan ini adalah Tri Mumpuni, yang memberdayakan masyarakat melalui pembangkit listrik tenaga air yang ramah lingkungan.
Dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, pria kelahiran 1964 ini mengaku bahwa energi terbesar yang memotivasinya dalam mengembangkan pesantrennya adalah nilai-nilai agama.
"Energi saya dari ajaran agama," jelas Hasanain Juaini di studio BBC di Jakarta, sebelum berangkat ke Filipina.
Melalui energi itulah, dia mampu menyulap lahan gundul di kawasan hutan seluas lebih dari 33 hektar menjadi hijau dan berpohon lebat.
Memakan waktu lebih dari 9 tahun, konservasi hutan dan ladang -yang melibatkan santri serta warga sekitar- kini berdampak luas dan terus berjalan.
Komitmennya di bidang lingkungan ini juga dia praktekkan ketika mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender dan kerukunan antar agama di pesantren serta lingkungan di sekitarnya.
AWALNYA AMUK
Sebagai pemimpin pondok pesantren yang mendalami nilai-nilai agama, alumni Pondok Pesantren Gontor (1984) ini, menganggap kearifan terhadap lingkungan sudah diatur dalam Al-Qur'an.
"Kita sudah mendapatkan begitu banyak dari alam ini, maka kita harus tanya pada diri seberapa banyak yang kita berikan kepada alam," ungkapnya, seraya menyitir sebuah ayat dari kitab suci itu.
Namun menurutnya, tanggungjawab terhadap alam tidak berhenti pada dirinya sendiri.
"Lalu, bagaimana kewajiban keluarga saya, lalu bagaimana tanggungjawab saudara saya, tanggungjawab murid-murid saya dan tanggungjawab masyarakat saya," katanya.
Dari dorongan itulah, ayah empat anak ini tergerak, yang kemudian dia tularkan kepada santri dan warga sekitar.
Namun usaha ini tidak mudah. Pemahaman agama, juga kultur, ternyata tidak cukup untuk meyakinkan warga sekitar pesantren.
"Saya terpaksa membawa kalkulator ke mana-mana," katanya mengenang upayanya meyakinkan warga tentang nilai ekonomi jika mereka mau melakukan penghijauan.
Tidak berhenti di situ. Lulusan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Mataram (2006) ini harus memberikan contoh langsung agar orang-orang itu mengikuti langkahnya.
"Akhirnya, saya singsingkan lengan baju, saya turun langsung dan bekerja," ungkapnya.
"Saya sendiri mengatakan, sembilan tahun lalu bukan kerja, tapi ngamuk. Melihat tanah tinggal ampasnya saja," jelasnya, seraya mengenang peristiwa saat-saat dia baru pulang ke rumah pukul dua dini hari, setelah waktunya dihabiskan di hutan.
Secara jujur dia mengaku pernah putus asa, ketika dihadapkan situasi sulit. Tapi, katanya buru-buru, "Kita bangkit melawan itu".
"Dari segi materi saja, saya hitung uang saya sekitar Rp 4,3 miliar habis. Tidak mungkin saya tidak melanjutkannya. Saya harus lanjutkan".
Sekarang, setelah lahan menjadi hijau, Hasanain bertambah semangat. "Dan penghargaan Magsaysay membuat saya harus bekerja lebih keras lagi".
BERUTANG KEPADA PEREMPUAN
Salah-satu alasan Yayasan Magsaysay menganggap Hasanain layak diberi penghargaan adalah karena komitmennya dalam mempromosikan kesetaraan gender di pesantren yang dipimpinnya.
Di pondok pesantren yang didirikan tahun 1996 itu, Hasanain menerima dan mendidik santri putri sekitar 400 siswa, selain sekitar 500 santri putra.
Dalam mendidik murid-muridnya, Hasanain mengaku tidak membeda-bedakan antara santri putra dan putri.
"Bahkan, karena kita merasa berutang agak lama kepada perempuan, (kita) agak lebih ditinggikan tensinya kepada perempuan," ungkapnya.
"Harus ada proteksi sedikit," katanya lagi.
Dia lantas memberi contoh program komputerisasi yang diterapkan di pesantrennya. "Saya dahulukan yang perempuan (untuk memperoleh fasilitas komputer)".
Secara rutin, Ketua Forum Pendidikan Anak Usia Dini di Propinsi Nusa Tenggara Barat ini juga mengundang sejumlah tokoh perempuan -mulai menteri hingga bupati perempuan- ke pesantrennya, agar dapat memotivasi para murid perempuannya.
"Hal yang sama tidak saya berikan kepada (murid) lelaki," katanya, terus-terang.
Menurut Hasanain, selain didasari ajaran agama ("...tiang negara itu adalah wanita," katanya), pilihannya lebih mendahulukan kepentingan santri putri, karena contoh langsung dari orang tuanya.
"Bapak saya sangat memuliakan ibu dan istrinya," Hasanain mulai bercerita.
Suatu saat, ibunya yang mengalami stroke, meminta agar sang suami menikah kembali, agar ada yang merawatnya.
Tetapi apa jawaban sang ayah? "Ayah saya mengatakan: 'Di saat kamu sudah tua, lemah, saya harus membuktikan kamu telah memilih orang yang tepat."
Sang ayah, Haji Muhammad Djuaini, akhirnya tetap menemani ibunya, Hajjah Jahrah, hingga 12 kemudian, sebelum ibunya akhirnya meninggal.
"Contoh hidup dari orang tua itulah yang saya lakukan (sekarang)," kata Hasanain agak tersendat, dan matanya membasah.
BERLATIH HADAPI PERBEDAAN
Kepada BBC Indonesia, Hasanain menyinggung pula masalah konflik antar umat beragama di Indonesia, yang disebutnya terjadi karena masyarakat tidak terlatih untuk menghadapi perbedaan.
"Akibatnya, ya akan terus terjadi (kasus-kasus kekerasan atas nama agama) seperti itu," kata Hasanain, yang sejak 4 tahun lalu dipercaya menjabat Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Lombok Barat, NTB.
Hal ini dia tegaskan ketika BBC Indonesia menanyakan komentarnya tentang ledakan bom di sebuah pesantren di Desa Senolo, Kecamatan Bolo Kabupaten Bima, Propinsi Nusa Tenggara Barat, bulan Juli lalu.
Ledakan yang menewaskan salah-seorang guru pesantren itu, diawali kasus pembunuhan anggota polisi setempat yang diduga dilakukan salah-seorang santri pesantren di wilayah tersebut.
Padahal selama ini, kekerasan yang melibatkan pesantren jarang terjadi di Propinsi NTB.
Walaupun tidak memahami latar kasus tersebut, Hasanain menilai, persoalan ini tidak terlepas dari sikap masyarakat yang tidak terlatih menerima adanya perbedaan.
"Inilah unsur yang tidak banyak kita lakukan," katanya.
"Lalu tiba-tiba kita mengharapkan orang bisa hidup damai...Ini yang dinamakan mimpi di siang bolong," katanya lagi, agak masygul
Tetapi, tentu saja, Hasanain tidak berhenti menilai semata.
DIALOG YANG TAK TERBAYANG
Dengan melibatkan para santrinya serta umat agama lain, Hasanain mengaku pernah menggelar dialog terbuka tentang keagamaan melalui acara perkemahan.
"Saya mengajak mereka dialog yang 'nggak kebayang," ungkapnya.
Dalam acara itu, peraih Ashoka International Award for Best Fellow in Religion and Women Empowerment (2003) ini mempersilakan anak-anak itu berdialog secara terbuka.
"Saya kumpulkan mereka, lalu saya tanya: 'Hei teman, Muslim apa yang paling kamu 'nggak suka terhadap kegiatan teman-teman Hindu? Mereka menjawab: 'ya misalnya, waktu kita lebaran lalu bertepatan ada Nyepi, kita nggak bisa ramai-ramai'.
"Lalu kepada teman Hindhu, saya tanya pula: 'Apa yang kamu paling nggak suka terhadap Islam? Mereka jawab: 'Tengah malam, misalnya waktu kita enak tidur, mereka terlalu cepat menghidupkan (kaset) mengajinya'.
Curahan hati seperti ini, menurutnya, penting agar anak-anak itu akhirnya mengetahui apa yang dipikirkan atau dirasakan para penganut agama yang berbeda itu.
"Nanti akan berproses, dan mereka akan memberi hati, setelah mereka tahu dulu," ungkap Hasanain.
"Sekarang ini 'kan mereka nggak tahu (apa yang dirasa baik atau buruk)..."
DESA MADANI
Prihatin terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang disebutnya tidak terlatih menerima perbedaan, Hasanain terobsesi mendirikan semacam desa yang dihuni berbagai umat beragama.
Secara agak bersemangat, Hasanain membayangkan desa itu nantinya dapat mendidik masyarakat menghormati pluralitas.
Di dalam desa itu, warganya yang berbeda agama bisa melakukan musyawarah, saling berkasih sayang, serta kerjasama.
"Saya ingin membuat prototipe dari desa madani," ungkapnya.
Dia menyebut gagasan pendirian desa plural itu sebagai desa madani, karena ingin mencontoh desa yang pernah dibangun oleh Nabi Muhammad di masa awal Islam di tanah Arab, lebih dari seribu tahun lalu.
"Desa yang dibangun Rasulullah, yang plural (seperti) itu," katanya, setengah menganalisa.
"Itu yang contoh yang bisa diangkat sekarang. Tidak ada yang an sich muslim semua, atau tidak ada yang namanya moslem village," katanya berterus-terang.
Bahkan menurutnya, praktek hidup secara plural juga ditunjukkan para pemimpin Islam setelah Nabi Muhammad wafat.
"Para kalifah itu, di rumahnya tidak hanya satu agamanya," ungkap Hasanain, yang lulus dari Fakultas Hukum Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab, di Jakarta tahun 1995.
"Kalau di rumahnya ada non muslimnya, bagaimana di desa atau di kotanya? Fakta yang pernah itu plural," tegasnya.
Menurutnya, dalam kehidupan luas sekarang ini, tidak bisa dihindari hidup dengan orang yang berbeda.
"Maka desa yang ideal yang bisa mengajarkan anggotanya bagaimana hidup dalam perbedaan, itulah yang saya impikan," ulang Hasanain.
MENGAPA PESANTREN
Dunia pesantren rupanya sudah mendarah-daging pada sosok Hasanain.
Setelah mengenyam pendidikan dasar agama di kampung halamannya di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, di Lombok Barat, dia dikirim ke Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Di pesantren yang menggunakan kurikulum moderen itulah, Hasanain banyak memperoleh 'ilmu', yang kelak bermanfaat ketika dia mendirikan pesantren di kampung halamannya.
Lulus dari lembaga pendidikan itu dan meraih sarjana hukum, dia kemudian mendirikan Pondok Pesantren Nurul Haramain di kampung halamannya tahun 1996.
"Semua keluarga saya adalah guru," jawabnya, ketika ditanya BBC Indonesia tentang pilihannya menjadi Tuan Guru, panggilan hormat seperti kiayi di Pulau Jawa.
Pilihannya menjadi pendidik di lembaga pesantren, juga tidak terlepas dari keyakinannya bahwa pendidikan merupakan jalan strategis untuk memajukan bangsa.
BAGAIMANA DIPAHAMI AWAM
Sebagai pemimpin pondok pesantren yang terlibat berbagai kegiatan sosial, Hasanain terlatih berhadapan langsung dengan masyarakat awam.
Ini bisa terlihat dari kemampuannya -selama lebih dari sembilan tahun- memotivasi warga untuk terlibat dalam program penghijauan wilayah yang gundul.
"Pionir itu," kata Hasanain, "harus mengambil bagian yang paling berat, bagian paling susah, dan bagian paling berisiko."
Menurutnya, kalau peran itu tidak diambil, maka jangan bermimpi ada orang yang mengikuti langkahnya.
Dia mencontohkan seorang menteri transmigrasi Malaysia, yang begitu pensiun, langsung bertransmigrasi.
"Dia tunjukkan kepada masyarakat, bahwa transmigrasi itu menjanjikan," katanya.
Sebaliknya di Indonesia, ungkapnya, tidak ada mantan menteri yang setelah pensiun lalu langsung transmigrasi. "Makanya jadi nonsens," tandasnya.
"Nah, itu saya beritahu. Matangkan di tengah masyarakat konsep yang kita yakini benar, itu nanti ada perbaikan di tengah masyarakat."
Hasanain kemudian mengkritik sebagian pemikir Islam di Indonesia, yang disebutnya gagal menerjemahkan pemikirannya sehingga bisa dipahami masyarakat bawah.
"Karena pelakunya terlalu banyak bicara, diskusi," katanya, seraya menambahkan, seharusnya yang didiskusikan adalah nilai dasarnya semata.
"Selebihnya lakukan di tengah masyarakat, agar anda menemukan cara, agar kita menemukan kiat, celah-celah yang memungkinkan itu bisa dilakukan dengan baik," jelasnya, dalam wawancara yang berlangsung usai buka puasa.
Sumber: BBC. 25 Agustus 2011