Islam dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer

PADA 14 Mei, 2013, dunia Islam kehilangan salah satu putra terbaiknya, Asghar Ali Engineer, penulis dan aktivis Islam progresif asal India,  yang menghembuskan napas terakhirnya. Sebagaimana kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama, begitupun juga Engineer. Pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif ini, meninggalkan begitu banyak buah pemikiran yang membahas berbagai topik: dari sejarah Islam, teologi pembebasan, studi konflik etnis dan komunal, analisa gender, studi pembangunan dan masih banyak lagi. Sebagai bagian dari apresiasi atas kontribusi Asghar Ali Engineer yang begitu besar bagi dunia Islam, negara-negara dunia ketiga, dan gerakan progresif pada umumnya, tulisan ini didedikasikan untuk mengulas pemikiran-pemikiran Engineer dan relevansinya di masa kini.

Dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan karya-karya Engineer, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan fokus kepada beberapa tema utama dalam pemikiran Engineer, yaitu sejarah Islam, teologi pembebasan, negara dan masyarakat dan studi konflik komunal.

Sekilas tentang Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer lahir di Salumbar, Rajasthan, pada 10 Maret 1939. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain, adalah seorang ulama di komunitas Muslim Dawoodi Bohra, sebuah cabang dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah. Komunitas Dawoodi Bohra pada masa awal perkembangannya sempat mengalami persekusi baik dari komunitas Sunni maupun Syiah arus utama, sebelum kemudian mereka bermigrasi ke India dan aktif dalam dunia perdagangan dan proyek-proyek komunitas dan filantropis, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, perumahan dan fasilitas umum lainnya, seminar dan berbagai program pendidikan komunitas, serta promosi kesenian dan arsitektur Islam. Dalam konteks inilah Engineer tumbuh. Sedari kecil, Engineer juga menekuni studi Islam dari berbagai aspeknya.

Sebelum memfokuskan dirinya pada dunia pemikiran dan aktivisme, Engineer berprofesi sebagai insinyur di kota Mumbai selama 20 tahun. Kebetulan, sewaktu kuliah, ia mengambil jurusan teknik sipil di Universitas Vikram. Latar belakang inilah yang menyebabkan ia mendapat julukan ‘Engineer.’ Selama karirnya, ia mendirikan dan mengepalai sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran ide-ide progresif, seperti Institute of Islamic Studies, Center for Study of Society and Secularism dan Asian Muslim Action Network, dan menjadi editor sejumlah jurnal seperti Indian Journal of Secularism, Islam and Modern Age dan Secular Perspective. Tidak hanya itu, Engineer adalah seorang pemikir yang amat produktif, menulis lebih dari 50 buku dan ratusan artikel lainnya, baik populer maupun ilmiah. Semasa hidupnya, ia juga aktif mempromosikan penghargaan atas keberagaman masyarakat di India. Atas dedikasinya terhadap perubahan sosial, ia dianugerahi Rights Livelihood Award pada tahun 2004, yang juga disebut sebagai hadiah Nobel alternatif.

Islam dan Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer

Dalam kajian sejarah Islam dan teologi pembebasan, kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer dalam salah satu karyanya Islam and Its Relevance to Our Age (1987). Di sini, sebagaimana diungkapkan oleh para pengkaji karya Engineer dan Engineer sendiri, kita juga dapat melihat pengaruh Marxisme dalam analisa Engineer mengenai sejarah Islam dan konsepsinya tentang teologi pembebasan. Menurut Engineer, kedatangan Islam di jazirah Arab merupakan sebuah momen yang revolusioner. Perlu diingat, bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam masyarat Arab pra-Islam waktu itu: di satu sisi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun, di sisi lain, terdapat perbagai penindasan atas berbagai kelompok dalam masyarakat tersebut – seperti perempuan, kelas bawah dan para budak. Yang revolusioner dari ajaran Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang bersifat egalitarian: seruan atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti shalat dan zakat), kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan), ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama (dengan para penganut agama lain). Tetapi, seruan revolusioner yang universal dari Al-Qur’an ini juga tidak melupakan konteks sosial masyarakat Arab pra-Islam waktu itu: penghapusan perbudakan misalnya, dilakukan secara gradual. Di sini, kita dapat melihat sebuah pola pembacaan yang menarik dari Engineer: ada unsur teologis dan transedental dari sejarah munculnya Islam, namun ia tidak menegasikan atau menafikan peranan manusia dalam membuat sejarah itu. Pembacaan ‘materialis’ atas sejarah Islam ini juga mempengaruhi rumusan Engineer mengenai teologi pembebasan. Engineer memulai pembahasannya mengenai sejarah sosial berbagai variasi teologi pembebasan dalam Islam. Saya menyebutnya sebagai ‘sejarah sosial’ karena Engineer tidak hanya membahas pemikiran berbagai aliran teologis dalam Islam namun juga berusaha mengaitkannya dengan konteks sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut muncul. Sejumlah aliran teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah Mu’tazilah, Qaramitah dan Khawarij.

Alirah Mu’tazilah muncul di masa kenaikan Kekhalifahan Abbasiyah yang menantang Kekhalifan Umayyah yang mulai bersifat eksploitatif dan opresif. Kehalifahan Abbasiyah mendapat dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat, terutama kelompok-kelompok non-Arab, dan ‘dari atas’, terutama dari para elit kelompok Persia. Karenanya, di masa awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah, iklim pemerintahannya cenderung lebih terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia diakomodir dalam kekuasaan, penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari Yunani dan India dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir. Dalam konteks inilah, aliran Mu’tazilah, yang mempromosikan teologi rasional dan peranan usaha (ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya (Qadariyah), muncul. Ironisnya, ketika Kekhalifahan Abbasiyah mulai bersifat opresif dan mempersekusi lawan-lawan politiknya, aliran Mu’tazilah kemudian dijadikan dogma: aliran Mu’tazilah dijadikan paham teologi resmi negara oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau mengkritisi beberapa ajaran dari Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ namun juga ‘pembangkang’ terhadap pemerintah dan dihukum. Imam Hambali, pendiri Mazhab Hambali, bahkan tidak luput dari hukuman ini.

Aliran Qaramitah juga muncul dalam konteks penentangan atas Kekhalifahan Umayyah. Aliran Qaramitah berasal dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah, yang juga terpengaruh oleh ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan filsafat Yunani dalam perlawanannya atas Kekhalifahan Umayyah. Kelompok Isma’ili bahkan tetap melanjutkan perlawanannya di masa Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai menampakkan tendensi opresifnya. Namun, dalam perkembangannya, kelompok Isma’ili kemudian mendirikan Kekhalifahannya sendiri, Kekhalifahan Fatimiyah, memberi justifikasi terhadap politik ekspansi imperium. Aliran Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari kelompok Isma’ili yang tetap berkomitmen terhadap politik revolusioner dan melawan baik Kekhalifahan Abbasiyah maupun Kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, aliran Qaramitah berusaha menghapuskan kepemilikan pribadi dan mengorganisir berbagai komune. Salah satu tokoh sufi terkemuka, Al-Hallaj, juga merupakan anggota dari aliran Qaramitah yang kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan Abbasiyah dengan tuduhan konspirasi untuk menjatuhkan rejim.

Aliran Khawarij, yang awalnya adalah pendukung Khalifah Keempat dalam Islam, Ali bin Abi Thalib, yang kemudian membangkang, lebih terkenal dengan doktrinnya ‘tidak ada hukum kecuali hukum Tuhan’, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan kelompok Islam lain di luar mereka dan aksi-aksi teroristiknya. Namun, terlepas dari perkembangannya di kemudian hari, menurut Engineer, aliran Khawarij sesungguhnya merupakan ekspresi politik dari kelompok Arab Badui, kaum ‘proletariat internal’ dalam Islam, mengutip istilah Toynbee, dalam menanggapi krisis kepemimpinan dalam masyarakat Muslim pada waktu itu. Mengutip Mahmud Isma’il, menurut Engineer, aliran atau faksi Khawarij sesungguhnya mempromosikan semangat keadilan kolektif yang terpinggirkan di tengah pertarungan politik seputar kepemimpinan atas masyarakat Muslim.

Singkat kata, dalam eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan sejarah sosial teologi pembebasan dalam Islam, Engineer berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada tradisi dan kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari masa awal Islam hingga sekarang. Kedua, pembacaan ‘materialis’ dan ‘sejarah sosial’ atas masyarakat Islam membantu kita lebih memahami potensi ide-ide egalitarian dalam Islam dan relevansinya bagi masyarakat modern – tanpa memahami konteks sejarah ini, tentu kita akan merasa aneh melihat pembahasan atas aliran Mu’tazilah yang rasional dan aliran Khawarij yang ekstrimis dalam satu tarikan napas. Ketiga, dan yang paling utama, Engineer kemudian menawarkan rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam pertentangan antara kaum Mustakbirin (penindas) dan Mustadh’afin (tertindas), maka agama harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang egaliter dan bebas dari eksploitasi.

Isu-isu Kontemporer dalam Pandangan Asghar Ali Engineer

Sebagai aktivis sosial, Engineer juga aktif dalam berbagai mempelajari isu-isu kontemporer seperti hubungan agama-negara, hak-hak perempuan dan kaum minoritas, isu-isu pembangunan dan hubungan antar etnis. Di waktu kecil, Engineer sendiri sempat mengalami diskriminasi sebagai seorang Muslim. Agaknya, pengalaman itu juga yang membentuk pandangan Engineer mengenai berbagai isu kontemporer. Benang merah yang menyatukan pandangan Engineer atas isu-isu tersebut adalah pentingnya menghindari esensialisme alias kecenderungan untuk melihat fenomena sosial sebagai kesatuan yang monolitik.

Dalam tulisannya tentang  hak-hak perempuan dalam Islam (2006), Engineer menyadari bahwa ada diskriminasi dan marginalisasi atas hak-hak perempuan dalam masyarakat Islam. Namun, Engineer juga berhati-hati di sini: patriarkhi dan pengekangan hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik yang melekat pada masyarakat Islam. Dengan kata lain, bukan Islamnya, melainkan patriarkhinya yang bermasalah. Patriarkhi, menurut Engineer, terjadi karena kenyataan sosiologis dalam perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep atau doktrin teologis (hlm. 166). Kesimpulan yang sama dapat kita lihat dalam analisanya mengenai hubungan agama-negara (2009). Engineer mengingatkan bahwa institusi keagaaman bukanlah institusi yang serta merta suci; ia tidak terlepas dari berbagai kepentingan ‘duniawi.’ Engineer juga menyerukan pentingnya ‘mengembangkan kritik yang jujur atas otoritarianisme dalam sejarah kaum Muslim’ (hlm. 117). Karenanya, meskipun Engineer mempromosikan nilai-nilai agama dalam bentuknya yang paling spiritual sekaligus paling progresif, ia juga kritikus terdepan atas berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme agama, baik di negerinya sendiri, India, maupun di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperti Pakistan. Posisi Engineer mengenai hubungan agama-negara dan hak-hak kaum minoritas mengingatkan saya atas ide ‘toleransi kembar’ (twin tolerations) yang dipromosikan oleh Alfred Stepan (2000), yaitu ada perbedaan antara otoritas keagamaan dan politik sekaligus kebebasan bagi otoritas keagamaan untuk menyebarkan idenya dan mempengaruhi pengikutnya tanpa memegang kekuasaan politik secara langsung. Agaknya, posisi Engineer tidaklah jauh berbeda dengan ide ini.

Bidang lain yang sangat ditekuni oleh Engineer adalah studi konflik dan hubungan antar etnis. Engineer tidak hanya menulis artikel reguler di harian Economic and Political Weekly mengenai kondisi hubungan antar etnis di India, namun juga melakukan studi yang mendalam atas berbagai komunitas minoritas termasuk komunitas Muslim di India. Dalam studi-studinya, Engineer berusaha memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang ilmuan. Pertama, ia berusaha menggabungkan metode-metode sejarah dan antropologis dalam berbagai studinya tentang kelompok minoritas. Kedua, dalam melakukan studinya ia berkolaborasi dengan berbagai institusi dan ilmuwan-aktivis yang lain. Ketiga, studi yang mendalam ini juga dijadikan ‘senjata’ bagi Engineer untuk mempromosikan harmoni, toleransi dan pengertian dalam  hubungan antar etnis. Prinsip-prinsip ini dapat dilihat misalnya dalam studinya tentang komunitas Muslim di Gujarat (1989). Sekali lagi, benang merah yang menyatukan berbagai studi Engineer tentang komunitas Muslim dan minoritas adalah pandangannya yang anti-esensialis: Engineer menunjukkan bahwa terdapat keberagaman yang begitu luar biasa dalam komunitas Muslim, dan, komunitas Muslim tidaklah kurang kadar ‘keIndiaan’nya dibandingkan komunitas dan kelompok etnis yang lain.

Bukan kebetulan jika Engineer juga mendukung ‘nasionalisme campuran’ alih-alih nasionalisme Muslim ala Liga Muslim yang dipandangnya agak sektarian. Ia menyatakan kekagumannya terhadap Jami’atul Ulama ‘il-Hindi, sebuah organisasi Muslim yang mendukung perjuangan kemerdekaan India dan integrasi masyarakat Muslim ke dalam masyarakat India (2009).

Terakhir, Engineer juga merupakan seorang kritik atas praktek-praktek pembangunan yang eksploitatif. Ia misalnya, mengkritik rejim Jendral Zia-ul-Haq di Pakistan yang mempromosikan ‘Islamisasi’ dalam artiannya yang sempit namun menolak program-program nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis, reformasi pertanahan dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat redistribusionis. Di India, secara konsisten ia juga menolak politik sayap kanan yang dipromosikan oleh Partai BJP yang mempromosikan fundamentalisme Hindu di satu sisi dan kebijakan neoliberal di sisi lain.

Penutup: Engineer dan Kita

Melihat kiprah Asghar Ali Engineer, kiranya tak berlebihan apabila kita memberinya label ini: intelektual organik.

Dedikasi dan komitmen Engineer tentu bukan tanpa resiko. Beberapa kali ia mendapat ancaman dan kritik dari lawan-lawannya dan mereka yang tidak menyukai gagasannya. Namun, ia tetap menulis, bekerja dan melawan.

Ketika nasib masyarakat makin mengenaskan, penguasa makin lalai dan para intelektual hanya doyan berdiskusi, warisan Engineer terasa semakin relevan.

Selamat Jalan, Dr. Engineer. Di tengah-tengah bulan puasa ini, sosoknya menjadi pengingat bagi kita semua: ia tidak menghamba, mengawang-ngawang, maupun mendakik-dakik.***

*Penulis berterima kasih kepada rekan Dani Muhtada atas masukan dan diskusinya tentang karya-karya Asghar Ali Engineer.

Kepustakaan

Engineer, A. A. (1987). Islam and Its Relevance to Our Age. Kuala Lumpur: Ikraq.
Engineer, A. A. (1989). The Muslim Communities of Gujarat. Delhi: Ajanta Publications.
Engineer, A. A. (2006). The Rights of Women in Islam. In A. I. Alwee, & M. I. Taib, Islam, Religion and Progress: Critical Perspective (pp. 161-177). Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd.
Engineer, A. A. (2009). Governance and Religion: An Islamic Point of View. In C. Muzaffar, Religion and Governance (pp. 109-119). Selangor Darul Ehsan: Arah Publications.
Engineer, A. A. (2009). Islam dan Pluralisme. In D. Effendi, Islam dan Pluralisme Agama (pp. 25-41). Yogyakarta : Interfidei.
Stepan, A. C. (2000). Religion, Democracy, and the “Twin Tolerations”. Journal of Democracy, 11 (4), 37-57.

Iqra Anugrah. 24 July 2013
Mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc.
Harian IndoPROGRESS
indoprogress.com