Buya Maarif: Krisis Politik di Turki

Sembilan tahun yang lalu, di sebuah majalah mingguan di Jakarta saya menulis sebuah kolom di bawah judul: “Islam di Tangan Erdogan.” Saat itu saya sangat berharap di bawah Erdogan Turki akan menjadi negara makmur yang adil, stabil, dan Islam yang dikembangkan adalah sebuah agama yang mampu memecahkan masalah, bukan Islam “untuk menakuti dunia dengan membangun rezim primitif yang mengatasnamakan Tuhan.”

Di akhir tulisan saya tulis ungkapan berikut untuk Erdogan sebagai Perdana Menteri Turki ketika itu: “You are on the right track” (Anda di rel yang benar). Apa yang berlaku kemudian, dan mengapa saya kecewa? Tulisan di bawah akan menjelaskannya.

Dalam kolom di atas, sekalipun ada pujian terhadap Erdogan, juga diingatkan agar sejarah hitam di zaman Turki Usmani jangan diulang lagi: “Di antara kekejian yang mencoreng Imperium Turki Usmani adalah kelakuan Sultan Selim I (1512-1520), sultan ke-9, yang diberi julukan Yavuz (kejam dalam bahasa Turki). Demi kelangsungan Dinasti Usmani, Selim tega membunuh dua saudara dan beberapa anak kandungnya untuk melapangkan jalan bagi anaknya yang lain, Sulaiman (1520-1566), yang kemudian dikenal sebagai Sulaiman yang Agung. Di bawah Sulaiman, Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Kemudian imperium yang sudah lelah ini redup secara berangsur sampai lenyap pada 1924.”

Sekarang akhir tahun 2016 dan menjelang tahun 2017. Sebelumnya Erdogan telah berhasil memenuhi ambisinya menjadi Presiden Turki dengan mengalahkan lawan-lawan politiknya dalam partai AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi/Partai Keadilan dan Pembangunan), termasuk mantan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu, yang secara diam-diam diminta mundur oleh Erdogan. Davutoglu dulunya dikenal orang kepercayaan Erdogan, tetapi karena ditengarai akan menghalangi Erdogen untuk berkuasa penuh, maka kongsi menjadi berantakan. Sebagai gantinya adalah Binali Yildirim, seorang yang patuh kepada perintah atasan. Erdogan yang semula begitu rendah hati, kini telah berubah menjadi seorang penguasa yang kontroversial di lingkungan rakyat Turki sendiri.

Setelah kudeta yang gagal pada 15 Juli 2016, Erdogan yang selamat dari percobaan pembunuhan tidak pelak lagi bergerak cepat dalam konsolidasi kekuasaannya. Untuk sementara kekuasaan Erdogan masih bertahan, tetapi untuk berapa lama, jika krisis politik ini tak kunjung diatasi, sulit dikatakan. Pengikut Fethullah Gulen yang disebut Erdogan sebagai penyulut kudeta, kini dituduh lagi sebagai pihak yang bertanggung atas penembakan Dubes Rusia di Ankara baru-baru ini. Tentu saja Gulen membantahnya. (Untuk sekadar menyegarkan ingatan tentang perseteruan Erdogan vs. Gulen ini, bisa dilihat Resonansi, 2 dan 9 Agustus 2016). Bagi saya, perseteruan sesama kelompok santri ini sungguh menyakitkan dan melelahkan, tetapi itulah yang kini terjadi dan sangat melemahkan posisi Turki dalam percaturan poilitik global.

Lagi-lagi kita dihadapkan kepada kebuntuan politik dunia Muslim. Krisis dunia Arab jangan ditanya lagi, belum ada tanda-tanda akan usai. Adapun Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, juga sedang dihadapkan kepada masalah-masalah internal yang pelik, dan telah menguras energi kita semua secara sia-sia. Polarisasi sikap politik di akar rumput terasa cukup tajam. Salah satu dampaknya adalah golongan minoritas semakin merasa mencemaskan tentang nasib kebinnekaan di negeri ini. Sebuah kecemasan yang riil, bukan dibuat-buat. Sebuah Indonesia yang aman, damai, dan nyaman jangan sampai dirusak oleh kekuatan perusak mana pun, atas nama apa pun.

Bahkan tiga tokoh Syi’ah ABI (Ahlul Bait Indonesia) belum lama ini menemui saya di Jakarta untuk membicarakan bagaimana caranya agar fenomena radikalisme kelompok kecil Muslim di negeri ini tidak semakin merajalela. Tentu saja negara harus hadir melindungi siapa saja yang merasa terancam oleh ulah “kelompok polisi swasta” ini. Pada Selasa, 20 Des. 2016, saya bahkan kirim SMS kepada Kapolri: “Keep firm, General, I’m proud of you.” Tujuannya agar polisi benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat luas. Turki dan Indonesia semula menjadi tumpuan harapan dunia Muslim sejagat agar terbebas dari krisis politik berlarut-larut yang mematikan.

Sisi gelap akibat konflik dalam sistem kekuasaan sepanjang sejarah, khususnya di dunia Muslim, sudah banyak dibicarakan para ahli. Karya Prof. Mahmoud M. Ayoub di bawah judul: The Crisis of Muslim History (Religion and Politics in Early Islam), terbitan Oxford: Oneworld Publications, 2009, membantu kita untuk memahami konflik politik masa dini itu. Ternyata dalam realitas politik, bukanlah sebuah perkara mudah untuk mengawinkan Islam dengan sistem kekuasaan, sekalipun Alquran telah memberi rambu-rambu utama yang jelas tentang itu, seperti adanya sistem musyawarah, prinsip keadilan, dan ajaran persamaan. Rintangannya tidak bersumber pada ajaran, tetapi terletak pada ketidaktaatan penguasa Muslim untuk berpedoman kepada rambu-rambu itu. Fenomena ini telah berlaku tidak lama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW  pada 632 masehi.

Maka apa yang sedang terjadi di Turki sekarang bukan sesuatu yang baru, sekalipun sangat disesalkan karena tumpuan harapan kepada negara ini menjadi sirna lagi. Saya yang sudah puluhan tahun mencoba memahami kaitan agama dan kekuasaan, akhirnya harus menelan pil pahit, karena titik ujungnya tidak kunjung kelihatan. Islam sering benar tidak berdaya berhadapan dengan kelakuan penguasa Muslim yang semau gue memainkan simbol-simbol agama untuk mempertahankan kekuasaan duniawi. Tidak jarang dengan stempel ulama. Erdogan kini sedang berada dalam sorotan tajam ini. Saya tidak menggunakan sumber-sumber Barat, tetapi melulu dari sumber penulis Turki dalam tulisan ini.

Menurut catatan Mustafa Akyol dalam artikelnya berjudul “Gulenist Crisis Sets off Intra-Islamic Debate in Turkey” yang diposkan pada 2 September 2016, menyebut nama Prof. Mustafa Cagrici, mantan mufti Istanbul, seorang teolog. Belum lama ini pernyataan Cagrisi telah memicu kontroversi karena pendapatnya dalam ungkapan: “perlunya mempertanyakan komunitas-komunitas Islam.” Yang dipertanyakan bukan hanya pengikut Gulen, tetapi katanya banyak komunitas Muslim lain masih percaya  kepada mitos Imam Mahdi, tokoh penyelamat yang akan muncul di akhir zaman.

Padahal, kata Cagrici, kepercayaan serupa itu tidak terdapat dalam Alquran. Mitos-mitos ini, tulis Cagrici, “muncul dari informasi keagamaan yang bengkok, diproduksi selama berabad-abad,” dan pengikut Gulen telah mengubahnya menjadi sebuah bahaya karena kemampuan mereka mendapatkan kekuasaan yang besar. Seperti kita maklum, Erdogan bahkan memasukkan gerakan Gulen ini sebagai gerakan teror. Akibatnya, masyarakat Turki terbelah dan saling mencurigai. Ini jelas sebuah malapetaka, saat Turki sedang berjuang keras untuk masuk dalam lingkungan Uni Eropa, sebuah tikungan yang berliku. Belum lagi betapa beratnya menangani pengungsi Suriah yang tumpah ke negara itu.

Persisnya apa yang terjadi, saya tidak tahu, tetapi pengikut-pengikut Gulen yang tulus jelas tidak menyadari sisi gelap dari gerakan yang ditengarai berbau Imam Mahdi ini. Mereka adalah korban belaka. Inilah komentar Mustafa Akyol tentang gejala ini: “Masalah-masalah teologis yang kita lihat dalam komunitas Gulen sebenarnya berakar dalam tradisi Sunni yang melepaskan diri dari individualisme dan rasionalisme sebagai ongkos bagi ketaatan dan mistisisme. Kepercayaan yang kuat pada apokalitisme—bahwa kita sedang berada di ‘akhir zama dan seorang penyelamat diperlukan’—juga sesuatu masalah yang umum pada berbagai kelompok Muslim, semuanya memandang pemimpinnya sendiri sebagai seorang yang sedang ditunggu itu.”

Akyol benar. Ini bukan hanya terdapat di Turki, tetapi di berbagai bagian dunia Muslim di saat nalar umat tidak kuasa lagi menjelaskan dan menanggung krisis yang sedang dialami. Anggota masyarakat lalu mencari solusi yang bersifat apokalistik itu. Apalagi di Turki, gerakan sufi demikian kuat, sebuah gerakan spiritual yang tidak mustahil bisa berimpitan dengan kepercayaan apokalitisme itu. Dengan terbelahnya masyarakat Turki dan adanya penangkapan besar-besaran terhadap mereka yang dikategorikan sebagai pengikut Gulen, wibawa Erdogan tentu semakin berkurang.

Umumnya jika kewibawaan melemah, maka seorang penguasa akan menempatkan keluarga dekatnya sebagai perisai bagi pengamanan kekuasaannya. Ini bisa mendorong bagi terciptanya sistem politik dinasti. Akankah Turki akan bergerak mundur menuju sistem politik yang ketinggalan zaman itu? Kita bicarakan selanjutnya.

Quo vadis Turki bawah Erdogan? Baru sekitar 14 tahun Partai AKP mendominasi panggung politik Turki, kini mulai bermunculan pertanyaan tentang hari depan republik ini. Ketika terjadi pergolakan di dunia Arab dalam bentuk Musim Semi Arab akhir tahun 2010, nama Erdogan, mantan wali kota Istanbul itu, berkibar tinggi sebagai pahlawan yang dipuja di kawasan itu.

Dunia pun terkesima oleh tokoh Islamis ini dengan memberikan banyak penghargaan doktor honoris causa kepada Erdogan yang berhasil menjinakkan sekularisme Turki, warisan Kemal Ataturk itu. Bukan hanya sebatas itu, pertumbuhan ekonomi Turki semula juga melejit di bawah Erdogan. Mengapa sekarang merosot lagi?

Sebuah artikel panjang di dunia maya yang menarik, ditulis oleh seorang sarjana Turki, Dr Burak Kadercan, sekarang sebagai asisten profesor pada the Naval War College, Amerika Serikat. Judulnya “Dynasty or Collapse? Erdogan's Choice and What Comes Next for Turkey”, tertanggal 17 Agustus 2016. Gelar PhD dalam ilmu politik diperoleh Burak dari Universitas Chicago tahun 2011. Tulisannya tentang Turki dan pergolakan di dunia Arab cukup banyak yang dapat diakses mudah, berkat internet. Bagian berikut terutama didasarkan kepada artikel Burak Kadercan ini dengan beberapa catatan saya.

Terjemahan judul artikel itu adalah: “Dinasti atau Hancur? Pilihan Erdogan dan Apa yang akan Berlaku Berikutnya Bagi Turki.” Judulnya saja sudah membayangkan pesimisme bagi hari depan Turki. Jika sistem dinasti yang dipilih Erdogan untuk Turki masa depan, pasti akan memicu perlawanan keras dari berbagai kalangan, termasuk dari tokoh-tokoh AKP.

Pilihan lain: hancur? Saya belum sepesimistis Burak. Apakah tidak mungkin diupayakan pilihan ketiga: ada kompromi politik di antara elite Turki dengan syarat Erdogan siap mengendurkan syaraf kekuasaannya demi sebuah Republik Turki yang utuh, demokratik, dan bersatu. Saya benar-benar risau mengikuti perkembangan politik Turki terakhir.

Burak mengawali kalimat analisisnya dengan: “Kisah Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki yang kontroversial, terus berlanjut. Berawal dari asal-mula yang sederhana, mantan wali kota Istanbul itu naik ke puncak panggung politik Turki pada saat negeri itu sedang melewati salah satu krisis ekonomi dan politik yang sangat menantang. Tahun 2002, Partai Keadilan dan Demokrasi (AKP) yang baru dibentuk Erdogan mencatat kemenangan pemilihan yang memesona dan merebut kursi terbanyak di parlemen. Dalam tenggat waktu 14 tahun terakhir, Erdogan secara bertahap dan sistematis melakukan konsolidasi bagi kekuasaan politiknya.”

Dilanjutkan: “Hanya satu yang dia tidak miliki, sampai 15 Juli, yaitu sebuah tindakan kepahlawanan, yang secara ideal didampingi oleh sebuah 'mukjizat'.” Dengan kudeta yang gagal pada 15 Juli 2016 itu, Erdogan bertindak cepat dengan meminta rakyat turun ke jalan berdemonstrasi guna menentang komplotan kudeta. Benar saja, imbauan Erdogan mendapatkan sambutan luar biasa dari rakyat, maka sebuah diktator militer menjadi gagal diwujudkan.

“Ujungnya, di bawah kepemimpinan Erdogan, rakyat mengatakan “tidak” kepada percobaan kudeta, peristiwa pertama dalam sejarah Republik Turki. Hasilnya, kultus pribadi Erdogan meraih puncaknya yang baru: reis (kepala) kini telah menjadi sebutan semiresmi. Dan si reis sekarang sedang berada di tepi penciptaan sebuah Turki 'baru': Turki Erdogan,” tulis Burak.

Proyek Turki Erdogan ini akan “mengubah gambaran politik Turki dan membangunnya kembali dalam bayangan dirinya di tengah krisis politik yang kronis, lalu bagaimana berikutnya?” tanya Burak. Beberapa kemungkinan bisa berlaku, sebagaimana yang akan dibicarakan lebih jauh, seperti yang tecermin pada judul artikel Burak di atas.

Di mata Burak, hanya tersedia dua kemungkinan bagi masa depan politik Turki: berlakunya sebuah sistem dinasti atau hancur. Tidak difikirkan kemungkinan ketiga: terciptanya sebuah kompromi politik—sebagaimana yang saya sarankan—, demi menghindari dua kemungkinan yang dilihat Burak. Sistem dinasti dalam sebuah bangunan republik demokrasi mengandung pertentangan dalam dirinya, sebab menutup peluang bagi tokoh lain di luar lingkungan keluarga untuk tampil sebagai pemimpin formal. Adapun kemungkinan masa depan Turki yang suram, jika bukan berantakan, tentu harus dicegah dan dihindari. Semua elite politik Turki semestinya cukup dewasa dan jernih memikirkan masa depan bangsanya yang telah dibangun dengan susah payah melalui kekuasaan sipil oleh AKP.

Bagi terciptanya sistem dinasti, Burak menyebut bahwa Erdogan mungkin menyiapkan penggantinya yang berasal dari anak atau menantunya yang memang memperoleh pendidikan tinggi di berbagai universitas di Amerika Serikat. Ada tiga kandidat yang menonjol: Sumeyye Erdogan (perempuan), dan dua menantunya: Berat Albayrak dan Selcuk Bayrakter. Tetapi, menurut Burak, gerakan ke arah sistem dinasti ini pasti akan mendapat perlawanan, termasuk dari orang dekat Erdogan. Dilemanya justru terletak di sini, tulis Burak. Jika Erdogan tidak menyiapkan penggantinya dengan tetap memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri, maka sistem politik yang telah dibangun Erdogan selama ini akan hancur, sebab dia tidak mungkin berkuasa selama-lamanya. Akibatnya, masa depan politik Turki akan goncang dan perpecahan dalam AKP sendiri sukar dihindari.

Sebenarnya Erdogan punya empat anak: Burak, Esra, Bilal, dan Sumeyye. Bilal sebenarnya cukup mumpuni, tetapi pada tahun 2003 dia disebut terlibat dalam skandal korupsi yang menghebohkan itu. Namanya sudah cacat di mata publik. Maka, akhirnya, menurut Burak, yang punya peluang besar untuk menggantikan Erdogan adalah menantunya Berat Albayrak, suami Esra, dengan latar belakang pendidikan M.B.A. di sebuah universitas Amerika.

Pada bagian akhir artikel Burak, pesimisme itu tidak bisa dibendung lagi. Apa pun pilihan Erdogan, muaranya akan memupus semua harapan. Tetapi satu yang nyaris pasti, prediksi Burak, Musim Dingin Turki akan datang, baik dalam bentuk dinasti autokratik atau dalam bentuk perselisihan internal yang disebabkan oleh perbelahan etnis dan politik yang gagal didamaikan, seperti kelompok sekuler berhadapan dengan kelompok Islamis. Pihak oposisi tentu akan lebih gembira sekiranya sistem yang telah dibangun Erdogan benar-benar hancur, karena melalui mekanisme demokrasi mereka telah kehabisan akal untuk mengalahkannya.

Inilah Turki, saudaraku, yang semula menjadi tumpuan harapan bangsa-bangsa Muslim, kini sedang berada di persimpangan jalan terjal dan licin. Tabiat Erdogan yang enggan berbagi kuasa dengan partai-partai lain telah memicu polarisasi politik yang semakin ruwet dan panas. Untung saja posisi militer Turki dalam keadaan lemah. Mitranya Mursi di Mesir hanya sempat berkuasa dalam tempo singkat, Erdogan jauh lebih beruntung, tetapi untuk berapa lama bisa tahan? Alangkah rumitnya mengawinkan nilai-nilai Islam dengan sistem kekuasaan, tidak dalam teori, tetapi sepenuhnya dalam praktik. Ada pendapat lain dari tuan dan puan? Siapkan argumen yang kuat, jangan asal bunyi, seperti banyak kelakuan di medsos!

Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Republika. 27 Des 2016