LGBT dalam Perspektif Hukum di Indonesia

Pada dasarnya dalam konteks negara hukum Indonesia, kita harus menimbang segala perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam kacamata hukum. Artinya, antarwarga negara dapat saja berbeda pendapat dalam suatu hal.

Namun, hal tersebut harus dikembalikan pada kajian hukum untuk mendapatkan ‘status yuridis’-nya: apakah dapat dibenarkan ataukah tidak? Taat pada norma hukum positif (norma hukum yang sedang berlaku) adalah suatu konsesi patriotisme yang paling utama sebagai sendi-sendi perilaku konstitusionalis dalam bernegara. Sebab dari sanalah dapat disemai keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum.

Bertalian dengan hal tersebut, pada kenyataannya kajian hukum tidak hanya tentang norma hukum positif tapi juga sejarah hukum dan politik hukum yang berada dalam taraf pembangunan hukum, penegakan hukum, dan pengawasan hukum. Hal ini diperpanjang dengan fakta adanya kekosongan hukum, interpretasi hukum, norma hukum yang kabur, saling tumpang tindih atau bahkan saling bertentangan. Sehingga, selalu ada ruang bagi gagasan atau perilaku apapun, baik yang tidak masuk akal sekalipun, untuk terus eksis di kancah kajian atau pendapat hukum. Inilah suatu logical plot yang dikenal dengan istilah democratic and constitutional welfare state sebagai muatan glosarium ketatanegaraan Indonesia.

Oleh karenanya, bagi setiap warga negara Indonesia, isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dalam konteks yang paling sederhana, setidaknya dapat dipetakan dalam tiga taraf logis dengan menjawab serangkaian pertanyaan. Pertama, apakah perilaku LGBT dapat dibenarkan? Kedua, apakah konsesi norma hukum Indonesia menerima pelanggengan perilaku LGBT? Ketiga, bagaimana secara aktif mengawal penegakan hukum tersebut?

Apakah Perilaku LGBT Dapat Dibenarkan?

LGBT saat ini lebih dari sekadar sebuah identitas, tetapi juga merupakan campaign substance and cover atas pelanggengan Same Sex Attraction (SSA). Perilaku LGBT dimulai dari suatu preferensi homoseksual, kemudian mewujud dalam perbuatan homoseksual, lalu pada akhirnya melekat dalam bentuk perjuangan untuk diterima sebagai perilaku normal dalam membentuk institusi keluarga.

Preferensi homoseksual itu hadir dalam keyakinan atas aktualisasi diri, pemikiran berisi pembenaran preferensi tersebut, dan keinginan yang mendorong untuk merealisasikannya. Perbuatan homoseksual itu mewujud dalam hubungan interpersonal sesama homoseksual. Selanjutnya, pembentukan keluarga LGBT adalah fase paling mutakhir dalam melanggengkan kedua perilaku yang lainnya, baik preferensinya maupun perbuatannya sebagai homoseksual.

Perilaku LGBT pada gilirannya akan mendorong hadirnya pemahaman yang menyimpang tentang seksualitas. Dikatakan menyimpang karena tidak dapat menyatukan antara keinginannya dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan, sehingga terjadi gangguan keberfungsian sosial. Faktanya, tidak ada satu pun agama, nilai kemanusiaan, atau nilai kemanfaatan manapun yang membenarkan perilaku demikian.

Barangkali satu-satunya dasar pemikiran yang membenarikan ialah falsafah etis hedonisme yang tidak rampung.  Aristippus sebagai tokoh falsafah hedonisme dan murid Socrates menyebutkan bahwa yang terpenting dalam hidup manusia adalah kesenangan. Namun, apabila kita melihat seluruh catatan filsafat Barat tentang filsafat hedonisme, tidak ada yang menyebutkan bahwa kesenangan yang dimaksud itu adalah hal yang secara langsung diingini oleh hasrat yang fana. Seluruhnya mengarahkan pada pemikiran untuk mencapai kesenangan yang hakiki dimana berlaku pengendalian diri dan kesejatian insani.

Telah nyata bahwa wahyu Tuhan mengutuk perilaku homoseksual. Juga tidak akan ada akal sehat yang membenarkannya. Pun tidak akan ada pandangan berwawasan kebangsaan yang akan membelanya. Di luar itu, cuma akal dan pandangan yang bertekuk lutut di bawah hasrat pemenangan diri sendiri atau ketidaksadaran atas perusakan tatanan kemasyarakatan yang bermartabat saja yang mungkin mendukungnya.

Apakah konsesi norma hukum di Indonesia menerima pelanggengan perilaku LGBT?

Bangsa Indonesia ini, kata Soepomo, dibangun dalam suatu tatanan integralistik. Artinya, kita adalah masyarakat organis. Setiap diri kita adalah anggota dari rumpun keluarga-keluarga. Model kemanusiaan kita sebagai orang Indonesia adalah pemuliaan generasi dengan jelasnya garis keturunan yang membentuk rumpun-rumpun kemasyarakatan. Inilah jati diri pertama dalam bangunan hukum nasional pasca proklamasi kemerdekaan pada 1945.

Dalam merumuskan konsesi kehidupan bernegara, konstitusi kita tidak memuat konteks berpikir sebagaimana dalam tertuang dalam konstitusi Amerika:

“We the people of the United States, in order to form a more perfect union, establish justice, insure domestic tranquility, provide for the common defense, promote the general welfare, and secure the blessings of liberty to ourselves and our posterity, do ordain and establish this Constitution for the United States of America.”

Konstitusi kita juga bukan seperti Preamble UN Charter:
“WE THE PEOPLE OF THE UNITED NATIONS DETERMINED
… to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small, and
to establish conditions under which justice and respect for the obligations arising from treaties and other sources of international law can be maintained….”

Sebaliknya, pembukaan konstitusi kita memuat dengan konteks berpikir yang berbeda: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar….

Kita memiliki worldview sebagai bangsa, antara anak dan orangtua, guru dan murid, istri dan suami, kakek dan nenek, sepupu, paman dan bibi, saudara, dan tetangga. Bangsa ini adalah bagian dari keutuhan diri kita sendiri. Kita memiliki worldview sebagai kesatuan masyarakat organis yang meraih pencerdasan, bukan sekedar meraih pemenangan pribadi-pribadi. Oleh karenanya, istilah hak asasi sebagaimana dimaksudkan dalam terminologi Barat, tidak pernah masuk dalam alternatif luaran diskusi para founding fathers.

Cara berpikir kita dalam menghargai setiap generasi adalah dengan memposisikan jati diri pada tempatnya, yakni bak seorang anak yang mendapatkan tempat tumbuh kembang yang baik. Cara berpikir kita bukan seperti dalam mukadimah Piagam PBB yang memberikan apa-apa yang diingini setiap orang per orang. Hal semacam itu hanya akan membawa pada kemunduran generasi, karena kebanyakan keinginan hanya berisi kerakusan yang menghancurkan.

Oleh karenanya, perilaku seksual adalah hal yang diatur secara ketat dalam suatu ikatan perkawinan. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 merumuskannya sebagai:

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“

Perilaku seksual hanya diwadahi dalam perkawinan yang merupakan “ikatan lahir batin” yang bertujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia bukan sekedar catatan sipil, tapi lebih dari itu adalah pengurusan sebuah tatanan kemasyarakatan.

Sebab, satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual adalah pemeliharaan generasi. Perilaku seksual tidak boleh dilakukan di luar konsesi ini, sebagaimana halnya pelatihan militer tidak boleh dilakukan di luar tujuan mempertahankan kedaulatan negara.

Jadi, secara terang, pelanggengan perilaku LGBT sebagaimana halnya pemerkosaan, perzinahan/ perselingkuhan, dan seks bebas samasekali tidak mendapat tempat dalam payung hukum Indonesia.
Kesemuanya itu bukan hanya jahat kepada satu atau dua orang, tetapi juga kejahatan bagi pemuliaan generasi. Perilaku tersebut secara jelas menghilangkan satu-satunya nilai kemanusiaan dari perilaku seksual yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa.

Bagaimana Secara Aktif Mengawal Penegakan Hukum Tersebut?

Permasalahan melebar ketika perilaku LGBT dihubungkan dengan hak-hak lainnya sebagaimana rilis yang dimuat Komnas HAM pada 4 Februari 2016. Secara mutakhir, rilis Komnas HAM tersebut merujuk pada Prinsip-Prinsip Yogyakarta (The Yogyakarta Principles) Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Sosial No. 8 Tahun 2012 tentang Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (Permen 8/2012). Dengan alasan pembelaan atas hak berkumpul dan hak atas rasa aman kaum LGBT, Komnas HAM melayangkan “teguran” kepada para pejabat negara yang dianggap memberikan pernyataan “naif”.

Mengutip Permen 8/2012, Komnas HAM beranggapan bahwa LGBT adalah komunitas yang diakui oleh negara. Mungkin, Komnas HAM lupa bahwa konteks Permen 8/2012 bukan dalam preferensi pembelaan tapi perlindungan.

Tidak seperti Komnas HAM dalam rilisnya, Permen 8/2012 samasekali tidak memuat norma yang membenarkan perilaku LGBT. Poin paling penting ialah bahwa Permen 8/2012 diperuntukkan bagi operasional pendataan dan pengelolaan data penyandang masalah sosial. Bahkan, terhadap poin 14 lampiran Permen 8/2012 yang dikutip, Komnas HAM alpa untuk menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat muatan bahwa gay, waria, dan lesbian adalah kelompok dengan gangguan keberfungsian sosial yang memiliki kriteria: a. gangguan keberfungsian sosial, b. diskriminasi, c. Marginalisasi, dan d. berperilaku seks menyimpang.

Sementara itu, Prinsip-prinsip Yogyakarta adalah rumusan pandangan (sumber doktrinal) yang samasekali tidak diadopsi dalam hukum nasional. Tidak sepantasnya Komnas HAM sebagai lembaga negara menegakkan pendapat-pendapat yang belum diterima secara positif oleh pejabat pembuat perundang-undangan yang berwenang. Terlebih lagi apabila pendapat tersebut bertentangan dengan substansi konstitusi dan falsafah kebangsaan Indonesia.

 Oleh: Mira Fajri (Ketua Kajian Hukum dan HAM PP KAMMI)
Sumber: Republika. Senin, 29 February 2016.
Foto: Bendera LGBT. Republika.co.id