Beberapa hari lalu Ulil Abshar Abdalla membuat catatan singkat di laman Facebooknya tentang worldview baru yang ia ikuti (baca: FB Ulil Abshar Abdalla, 30/4/2017). Spiritualitas jalan ketiga, begitulah saya hendak menyebutnya saat ini.
Tentang mengapa spiritualitas, karena saya meyakini bahwa bagi seorang santri, yang intelektualitas dan religiusitas Ulil terbentuk dalam dan dengan pengalaman itu, segala daya dan upaya adalah manifestasi dari spiritualitas; semuanya menyatu antara hidup dan ibadah, antara dunia-akhirat, antara masjid, pasar, bahkan hall olahraga, semuanya adalah wujud penghambaan yang satu.
Mengapa ketiga, karena ia baru beranjak kepada jalan ketiga meninggalkan jalan kedua yang selama ini ia geluti.
Dalam catatan tersebut, Ulil menjelaskan tiga sikap dalam menghadapi “hermeneutical conundrum” terkait problematika kitab suci dan modernitas. Sikap pertama menempatkan Kitab Suci sebagai tolok ukur untuk apa saja. Pendekatan literalis ini, begitu ia menyebutnya, memenangkan bunyi harfiah kitab suci dalam keadaan apa pun.
Sikap kedua sebaliknya, yaitu berupaya melakukan reinterpretasi Kitab Suci supaya sesuai dengan perkembangan zaman. Adapun pendekatan ketiga, yang ia sendiri memilih untuk tidak menamainya, merupakan jalan tengah yang tidak begitu saja secara literal mengikuti harfiah kitab suci, tetapi juga tidak terjatuh pada sudut pandang yang menjadikan semangat zaman sebagai tolok ukur.
Asumsi-asumsi kita yang terbentuk karena kita hidup di zaman ini juga harus dicurigai melalui kitab suci. Begitulah kira-kira inti dari jalan ketika spiritualitas Ulil ini.
Transformasi semacam ini adalah hal biasa dan lumrah terjadi pada siapa pun. Dengan penjabarannya tersebut, saya justru menilai transformasi ini bisa berujung baik bagi siapa pun, terutama Ulil sendiri. Meski begitu, saya ingin mendiskusikan tentang beberapa hal yang ia jabarkan tersebut.
Tipologi yang disampaikan Ulil sebenarnya bukan hal baru. Yang baru mungkin transformasi Ulil dari pendekatan kedua menuju jalan ketiga. Akan tetapi, hal pertama yang menarik bagi saya bukan peristiwa transformasinya, melainkan penggunaan istilah progresif untuk pendekatan kedua.
Ulil mengakui bahwa sebelumnya ia menganut pandangan kedua. Kenyataannya, ia dikenal sebagai proponen Islam Liberal. Ulil adalah salah satu pentolan yang beraktivitas di Utan Kayu dalam Jaringan Islam Liberal, bukan Islam Progresif. Yang menggiati Islam Progresif justru M. Fayyadl, yang dalam banyak hal juga beradu argumen dengan kelompok liberal. Mungkin kedua istilah ini diniatkan sama oleh Ulil. Tapi bagi orang-orang yang mengikuti dinamika diskursus pemikiran Islam di Indonesia akhir-akhir ini tentu merasa sedikit aneh dengan menyamakan istilah tersebut.
Dinamika pemikiran Islam di Indonesia sangat kosmopolit. Sebagaimana sebuah pemetaan bertujuan untuk menyederhanakan fenomena yang kompleks, begitu pulalah pemetaan yang dijabarkan oleh Ulil. Sungguh perkembangan pemikiran Islam di Indonesia lebih rumit dari tiga tipologi di atas. Namun, reduksi Ulil tidak hanya pada tipologinya, melainkan juga pada deskripsinya terutama tentang pendekatan kedua.
Ia mendeskripsikan bahwa sudut pandang kedua melakukan reinterpretasi terhadap Kitab Suci, dan menjadikan pengalaman modernitas sebagai metanarrative yang mengatasi segala hal. Karena memiliki konflik dengan semangat zaman itu, maka Kitab Suci perlu “dikendalikan” supaya sejalan dengan semangat zaman.
Dalam pandangan saya, deskripsi Ulil di atas hanya menjelaskan titik ekstrim dari penggiat reinterpretasi Kitab Suci. Tidak banyak pemikir Islam sepertinya yang sampai pada titik ekstrim tersebut. Sebagai contoh, tidak banyak pemikir Islam yang bersikap seperti Edip Yuksel, seorang pemikir Muslim modernis asal Turki di Amerika, yang mendakwahkan untuk meninggalkan semua sejarah intelektual Islam bahkan termasuk hadis, ketika memahami al-Qur’an. Sebagai gantinya, ia mempromosikan rasionalitas semata untuk menggali makna autentik al-Qur’an.
Hemat saya, Yuksel bukan gejala umum dalam perkembangan pemikiran Islam. Al-Tur?? wa al-Tajd?d-nya Hasan Hanafi, Kritik Nalar Arab-nya Abid al-Jabiri, atau qatl al-qad?m fahman-nya Amin Khulli, Hermeneutika maq??idi Jaser Auda, hermeneutika kontekstualis Abdullah Saeed, sepertinya tidak sampai pada titik menjadikan modernitas sebagai metanarrative sebagaimana yang Ulil sampaikan.
Jangan lupakan pula perkembangan pendekatan post-kolonial yang juga mulai digemari dalam studi Islam. Mungkin benar jika dilihat dalam perkembangan pemikiran filsafat, yang bahkan semenjak Auguste Comte sudah menempatkan pemikiran metafisika sebagai pengetahuan primitif. Tapi tidak demikian yang terjadi dalam perkembangan pemikiran Islam.
Untuk konteks Indonesia, mungkin hanya beberapa saja penggiat reinterpretasi/kontekstualisasi yang menempatkan semangat zaman sebagai metanarrative. Pun kalau ingin diidentifikasikan, saya melihat semangat tersebut pada Luthfi Assyaukanie, terutama sekali ketika ia membincang perkembangan sains pada satu sisi dan agama pada sisi lain.
Dalam beberapa isu, Mun’im A. Sirry juga bisa ditempatkan pada kelompok ini. Hal ini saya lihat umpamanya pada reinterpretasinya pada kisah Lut yang beberapa waktu lalu pernah saya diskusikan di tempat yang lain.
Saya justru melihat gaya-gaya double movement Fazlur Rahman yang lebih banyak diadopsi. Konteks historis sebuah teks suci agama dicari untuk ditemukan nilai ideal moralnya, untuk kemudian diaplikasikan dalam konteks kekinian. Nilai ideal moral inilah yang ahistoris, berlaku sepanjang masa. Karena itu, ia sah digunakan untuk membaca zaman ini, termasuk untuk mempertanyakan asumsi-asumsi tentang teks dan makna, diri dan pengalaman, yang tumbuh dalam kungkungan modernitas ini sebagaimana yang Ulil inginkan dalam jalan ketiganya.
Ada negosiasi dua arah yang berkesinambungan antara Kitab Suci dan pengalaman modernitas, bukan relasi dominasi yang satu di atas yang lainnya. Itulah sepertinya yang ditegaskan dengan istilah “pemikiran keagamaan” oleh Prof. Amin Abdullah. Sebagai hasilnya, gaya beragama orang Islam di Indonesia pada umumnya adalah hasil dari kontekstualisasi yang tidak ekstrim ini.
Kita melihat perempuan bisa beraktivitas di luar rumah, bahkan menuntut ilmu ke luar daerah dengan kontekstualisasi konsep mahram; ada zakat padi sebagai kontekstualisasi gandum; ada jual-beli online; dan banyak contoh lagi. Penerimaan Pancasila sebagai dasar negara juga merupakan produk dari kontekstualisasi dan reinterpretasi.
Satu hal lagi, Ulil sepertinya tidak benar-benar berpindah dari kesadaran lamanya menuju kesadaran baru di jalan ketiga ini. Saya teringat sebuah buku yang ia tulis bersama Luthfi Assyaukanie dan Abd. Moqsith Ghazali, Metodologi Penafsiran Al-Quran yang diterbitkan pada tahun 2009. Ketika membincang perdebatan antara al-‘ibrah bi’umum al-laf l bikhu al-sabab atau sebaliknya, ia mengemukakan kaidah alternatif, yaitu al-‘ibrah bi al-maq??id.
Kaidah pertama adalah pemenangan terhadap teks, bagaimanapun konteksnya. Ini kelompok literalis seperti pada tipologi di atas. Kelompok kedua memberikan ruang yang lebih luas pada konteks. Inilah yang menjadi pintu masuk bagi penggiat reinterpretasi, yang pada titik ekstrimnya menjadikan modernitas sebagai metanarrative.
Adapun kaidah alternatif yang ia kemukakan merupakan dialog keduanya. Dalam pemahaman saya, ini adalah representasi dari pendekatan ketiga yang Ulil sampaikan.
Sebagai orang yang telah berkecimpung dalam dunia reinterpretasi (terlepas apa pun istilah yang digunakan, liberal maupun progresif), dan tiba-tiba memproklamirkan “hijrah”-nya, deskripsi singkat nan reduktif Ulil tersebut bisa berimbas pada semakin memburuknya citra kontekstualisasi.
Pertama, ia telah dinilai menguasai dan representasi dari pendekatan itu. Kedua, ia menggambarkan reinterpretasi secara reduktif seperti di atas. Hasilnya, orang-orang kemudian akan tergoda untuk mengamini deskripsi tersebut. Pola yang mirip cerita-cerita konversi agama yang suka digadang-gadang itu.
Dalam suatu kesempatan di kelas filsafat di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga beberapa tahun lalu, Dr. Alim Roswantoro berkata bahwa sebenarnya istilah “liberal” tidak memiliki konotasi buruk seperti yang dipahami masyarakat Islam Indonesia saat ini. Hanya karena beberapa gebrakan pemikiran yang dilakukan oleh sebagian orang yang bertentangan dengan status quo, dan kebetulan gerakan tersebut menggunakan istilah liberal, maka citra negatif menjadi identik dengannya di mata masyarakat.
Deskripsi yang dilakukan oleh Ulil beberapa hari lalu itu juga berpotensi memberikan citra yang sama pada “progresif” dan “reinterpretasi-kontekstualisasi”. Itulah yang saya antisipasi dalam tulisan singkat ini.
Fadhli Lukman
Pelajar ilmu al-Qur'an dan sosial kemasyarakatan yang sedang menempuh PhD di Albert-Ludwigs-Universität Freiburg.
Sumber: geotimes.co.id