Mengukur Demokrasi Indonesia: Politik, Ekonomi, Dan Ekologi

Kami menyerahkan segenap raga dengan rela kepada tanah air dan bangsa. Kami juga menyerahkan segenap jiwa kepada ibu Indonesia dengan hati yang seikhlas-ikhlasnya. Kami juga mengabdikan kepada suatu cita–cita yang suci dan luhur. Kami juga berusaha ikut mengembalikan hak tanah air dan bangsa atas perikehidupan yang merdeka (Soekarno, 1930)

Manfaat-manfaat yang diterima oleh penduduk Bumiputera dari modal Eropa itu hanya sisa-sisa hasil pekerjaan kaum majikan, bukan dimaksud dan sekali-kali tidak dimaksud terutama untuk mereka. Tujuan mereka ialah ….cari duit…. (Soekarno, 1930)

1. Pendahuluan

Salah satu fenomena amat menakjubkan di dunia ini adalah adanya kesadaran dan pengakuan dari masyarakat dunia bahwa demokrasi itu hal yang bersifat universal. Meskipun 100 tahun lalu kebanyak orang di bumi ini belum pernah mendengar apapun tentang demokrasi, sekarang keabsahan etis dan politis sebuah Negara hampir di seluruh dunia diukur dari pada kadar kedemokratisannya. Apa sebenarnya di belakang gejala yang mencengangkan itu? (Suseno, 2005)[2].

Dalam pengertian sempit demokrasi merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Menurut Schumpeter metode demokratis adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik di mana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara. Dalam pengertian yang lebih luas yang oleh Dahl disebut “otonomi demokrasi” membutuhkan pernyataan hak-hak manusia di luar hak memilih  untuk memberikan kesempatan yang sama dalam berpartisipasi dan untuk menemukan preferensi pribadi dan pengawasan akhir oleh warga Negara terhadap agenda politik (Sorensen, 2003).

Ada 3 dimensi utama demokrasi politik yaitu : kompetisi, partisipasi, dan kebebasan politik dan sipil. Dengan latar belakang seperti itu, demokrasi politik dapat dilihat sebagai sebuah system pemerintahan yang memenuhi kondisi-kondisi sebagai berikut: (1) kompetisi yang luas dan bermakna di antara individu dan kelompok organisasi (partai politik), dan meniadakan penggunaan kekerasan; (2) tingkat partisipasi politik yang inklusif dalam pemilihan pemimpin dan kebijakan, tidak ada kelompok yang disingkirkan; dan (3) tingkat kebebasan politik dan sipil, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat / berorganisasi.

Ada 3 tonggak besar yang mendukung keberadaan Bangsa dan Negara Indonesia yaitu: (1) kemerdekaan bangsa, (2) demokrasi, dan (3) keadilan sosial. Di dalam Negara demokrasi akan mempraktikkan nilai-nilai universal Hak Azasi Manusia (HAM), hak kemerdekaan press, hak menyatakan pendapat dan pikiran, hak memilih anggota parlemen dan presiden, berlandaskan pada nilai kebebasan, hak kebebasan beragama, hak kebebasan kreativitas, persamaan hak perempuan dan laki-laki, dan lain-lain. Kebebasan yang dimaksud adalah yang bertanggung jawab dan bukan kebebasan yang anarkhis, dan menjalankan trias politika (Lubis, 2005)[3] Pemerintah Indonesia yang merdeka dan berdaulat sejak tahun 1945 salah satunya diilhami oleh perkumpulan Boedi Oetomo (BO) yang lahir sejak tahun 1908. Perkumpulan Boedi Oetomo bersifat non-politik bermaksud ingin mencerdaskan kehidupan anak bangsa yang terjajah. Gerakan non politik ini untuk menjamin keberlanjutan pergerakan kelompok intelektual muda pribumi terjajah agar tidak dicurigai oleh kaum colonial Belanda.

Cita-cita perkumpulan BO untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah dipatrikan dalam pembukaan UUD 1945. Pemerintah Indonesia yang dibentuk  harus bekerja keras dan bertekad melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan: (1) memajukan kesejahteraan umum, (2) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (3) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Jika dilihat dari pergerakan Boedi Oetomo dan dari awal kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945, maka pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih belum berhasil memantapkan nilai-nilai demokrasi. Indonesia sudah melalui berbagai macam system pemerintahan dan system politik, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Pasca-Orde Baru (reformasi ?).

2. Masalah Bangsa dan Negara Indonesia

Secara garis besar akumulasi permasalahan bangsa dan Negara Indonesia adalah sebagai berikut:

(1) Masyarakat dan elit Indonesia masih bermental feodal, yang dicirikan dengan mengutamakan kekuasaan dirinya, merasa benar sendiri dan tidak mendengar aspirasi yang berkembang,  haus pada simbol-simbol kekuasaan, etos kerja rendah, dan modal sosial rendah dan bahkan sangat memudar;

(2) Semangat demokrasi yang tercermin dalam UUD 1945 mengalami berbagai hambatan dan gangguan. Setiap Orde pemerintahan ingin semua komponen bangsa kembali pada tatanan demokrasi secara murni dan konsekuen. Refleksi menunjukkan bangsa ini selalu tergelincir pada “keserakahan” golongan tertentu yang selalu ingin mempertahankan kekuasaan;

(3) Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), adalah penyakit menahun dalam system birokrasi di Indonesia. KKN ini sudah merusak kultur dan modal sosial para birokrat, masyarakat dan pengusaha;

(4) Penyelenggaraan “pesta demokrasi” secara nasional, provincial, kabupaten dan desa selalu diikuti dengan high cost democracy, sementara kemiskinan masih menghimpit sejumlah 39,7 juta jiwa manusia Indonesia.

(5) Sebagai Negara hukum, Indonesia masih jauh dari baik karena pelaksanaan hukum masih “tebang pilih” dan berpihak pada kekuasaan politik dan uang. Mafia peradilan yang merusak proses hukum sudah menjadi rahasia umum.

(6) Konstitusi Indonesia menghendaki ekonomi kerakyatan dan koperasi. Dalam praktik dan pengembangan ternyata system ekonomi Indonesia lebih mengedepankan ekonomi kapitalis yang individualistik dan neo-liberal. Prinsip-prinsip ekonomi untuk kesejahteraan sosial dan dipergunakan sebesar besarnya bagi kemakmuran masyarakat belum menjadi focus penyelenggara Negara sejak Indonesia merdeka. Hal ini disebabkan oleh ancaman globalisasi dan pasar bebas.

(7) Pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah menjadi bagian dari globalisasi  dan perdagangan internasional. Biaya pendidikan semakin mahal dan semakin sulit sekolah berkualitas dapat dijangkau oleh “orang-orang miskin”

Dalam kategori yang lain, masalah Indonesia adalah: sekularisme (menipiskan rasa ketuhanan dan keberagamaan), materialisme (sikap konsumtif dan pamer kekayaan), panatisme kelompok (pemekaran wilayah berbasis etnik dan turunan sejarah, tawuran antar etnik, antar kampung), kerusakan ekologis (hutan rusak, lahan kritis, banjir, perubahan iklim, hilangnya plasma nutfah, “maling biologis oleh Negara maju”), ketimpangan sosial (gizi buruk, pendidikan rendah, keterbelakangan, kemiskinan), budaya feodalisme, tatanan politik (tatanan demokrasi, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, demokrasi tanpa aturan dan anarkhisme, good governance), hukum (peran KPK, “lembaga hukum dan peradilan yang tidak bersih”, hukum yang belum “pro orang miskin dan pro poor”), ekonomi (pertentangan demokrasi ekonomi model barat dan model Pancasila / kerakyatan), pendidikan (anggaran pendidikan yang terbatas, akses pendidikan bagi orang miskin, dll).

Dalam hal korupsi, Indonesia memiliki prestasi yang mencengangkan seperti yang ditunjukkan oleh hasil survey yang dilakukan oleh CPI yang berkedudukan di Jerman. Corruption Perceptions Index (CPI)  2006 merupakan hasil dari opinion surveys yang dilakukan terhadap berbagai ahli dan mengumpulkan pandangan mereka terhadap korupsi di sector public di 163 negara di dunia. Persepsi tersebut memberikan skor terhadap negara, mulai dari angka 0 hingga 10, dengan  angka 0 mengindikasikan level tertinggi korupsi yang terjadi dan angka 10 mengindikasikan level terendah korupsi yang terjadi.

Pada CPI 2006 ini Indonesia berbagi posisi pada peringkat 130 dengan skor 2,4 bersama-sama dengan Azerbaijan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Etophia, Papua New Guinea, Togo dan Zimbabwe. Namun yang menarik adalah pada indikator survey yang digunakan, Indonesia menggunakan 10 assessment survey dan ahli dari kemungkinan tertinggi 12. Posisi ini sedikit lebih baik dari peringkat CPI tahun 2005, dimana Indonesia berada pada posisi 137, bersama-sama dengan Azerbaijan, Kamerun, Etophia, Iraq, Liberia, dan Uzbekistan, dengan skor 2,2. Namun dibanding dengan peringkat yang dimiliki oleh negara-negara tetangga Indonesia di Asia, seperti Singapore (peringkat 5), Malaysia (peringkat 44), Thailand (peringkat 63), atau Philippine (121),  peringkat Indonesia sangatlah jauh tertinggal. Dengan Timor Leste, Vietnam, dan Laos, yang sama-sama berada pada peringkat 111, Indonesia masih tertinggal. Indonesia hanya memiliki keunggulan peringkat dari Pakistan (peringkat 142), Kamboja (peringkat 151), Bangladesh (peringkat 156), dan Myanmar (peringkat 160).

3. Mengukur Pelaksanaan dan beberapa solusi Demokrasi di Indonesia

Menurut Lauer (2001) meskipun banyak orang menilai bahwa pendekatan demokratis lebih baik, tetapi tidak berarti pendekatan ini paling efektif dalam semua kebudayaan atau dalam semua situasi[4]. Seringkali dasar-dasar pengembangan nilai demokrasi pada suatu Negara kembali kepada nilai-nilai adat dan agama yang dianut oleh penduduknya.

Ukuran-ukuran normatif dari pelaksanaan demokrasi (Yudoyono, 2004)[5] adalah sebagai berikut: (1) partispasi rakyat dalam pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan, (2) Ada pemilihan umum yang jujur dan adil, (3) Ada rekrutmen kepemimpinan yang teratur dan ada turunan-turunannya lagi, (4) Ada penghormatan kepada HAM, (5) Ada kebebasan berbicara; (7) Memiliki pers yang bebas. Ada 5 bentuk wujud kehidupan well consolidated democracy: (1) terwujudnya civil society; (2) ada political society, (3) Ada economic society, (4) Ada rule of law, dan (5) State apparatus yang berfungsi dengan baik.

Demokrasi deliberative, substantive dan partisipatif  merupakan tantangan dalam proses-proses politik dalam demokrasi pada masa yang akan datang[6].  Ukuran-ukuran pelaksanaan proses politik dan demokrasi yang senada juga muncul seperti : kompetisi yang luas dan bermakna, partisipasi politik yang luas dan terbuka, dan kebebasan berpendapat dan berserikat. Sementara nilai  demokrasi universal yang dinyatakan oleh Blaug dan Schwarzmantel seperti freedom and authonomy, equality, representation, majority rule, dan citizenship, sudah tidak sesuai lagi menghadapi tuntutan perkembangan zaman sekarang ini (Himawan, 2004)[7]. Pergeseran nilai demokrasi seperti inilah yang perlu dikelola dalam membangun Indonesia yang berdaulat, merdeka secara total, dan mempercayai nilai kebangsaan yang berbasis pada pluralism masyarakatnya.

Dalam semangat zaman yang terus berubah, agar nilai universal demokrasi dapat berjalan dan nilai-nilai adat bangsa Indonesia berjalan sinergi, bangsa Indonesia harus melakukan 3 hal yaitu: (1) menggunakan nilai-nilai keindonesiaan sebagai basis membangun kerangka moralitas dan etika berdemokrasi, (2) menyuplai masyarakat dengan informasi yang jelas, benar, dan akurat agar mereka bisa bertindak secara bebas, otonom, dan rasional, dan (3) mengupayakan selekas mungkin pelembagaan politik sehingga dinamika dan perubahan politik berlangsung secara sistematik, konsisten, transparan dan ada kepastian hukum .

Statemen yang selalu kita dengar dalam banyak seminar dan mass media tentang biaya demokrasi politik adalah antara lain:

  • (1) setiap ada pesta demokrasi memilih pemimpin di seluruh tingkatan pasti memerlukan biaya yang mahal; dan
  • (2) tokoh politik dan pemimpin terpilih dalam masa pengabdiannya sering bermain pada ”kursi panas politik uang”; dan
  • (3) Pada akhir masa jabatan pemimpin terpilih selalu di kejar-kejar kasus-kasus hukum seperti penyalahangunaan wewenang dan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)[8].

Tercatat dalam media massa bahwa seorang tokoh politik untuk dapat menjadi calon anggota DPR harus menyediakan dana paling sedikit 3 milyar. Jika pendapatan perkapita rakyat Indonesia Rp 2 juta /tahun, maka angka 3 milyar tersebut sama dengan pendapatan 1500 rakyat Indonesia yang miskin. Jika informasi tersebut benar, maka untuk total kursi di Senayan membutuhkan dana sangat besar dan mahal yang sama dengan pengentasan kemiskinan sebanyak 750.000 rakyat miskin. Hal yang sama juga terjadi  ketika Pilkada, dimana untuk mendapat dukungan politik dari satu partai saja paling sedikit kandidat harus ”setor dana” ke partai politik pendukung paling sedikit Rp 5 milyar, dan ongkos kampanye paling sedikit Rp 15 milyar. Pertanyaan sederhana dapat diajukan, dari mana seorang tokoh politik dan pemimpin terpilih memperoleh dana-dana tersebut? Dengan alasan seperti inilah maka kandidat pemimpin nasional dan lokal ”harus” menggandeng ”pengusaha”. Dan bukankah para pengusaha ini yang banyak membuat masalah dalam hutang luar negeri ini? Semua ini menjadi black box cyrcle lingkaran ”mafia” politik yang mewarnai proses-proses demokrasi politik di Indonesia .

3.1. Biaya Demokrasi Politik

Kita harus mencari solusi dari demokrasi politik biaya tinggi ini. Sebagai pemantik diskusi, beberapa usulan untuk mengurangi proses demokrasi  politik biaya tinggi adalah:

(1) Setiap partai politik secara khusus dan masyarakat secara umum melakukan pendidikan politik untuk mencerdaskan masyarakat terkait dengan proses-proses demokrasi dan politik. Pendidikan politik sifatnya  membangkitkan kesadaran berbangsa dan bernegara, meningkatkan tanggung jawab publik pada proses-proses pengambilan keputusan publik dan menyadarkan bahwa ada hak dan tanggung yang dipikul oleh masyarakat ketika dukungan teah diberikan kepada sesorang tokoh politik dan pemimpin nasional dan lokal;

(2) mengembangkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang menjadi watchdog (lembaga pemantau) proses demokrasi di seluruh Indonesia;

(3) mengembalikan Indonesia ke titik NOL berhubungan dengan sistem pemilihan legislatif dan eksekutif serentak seluruh Indonesia. Maksudnya adalah bahwa pemilihan anggota legislatif dan eksekutif dilaksanakan dalam momen PEMILIHAN INDONESIA RAYA (PIR) pada satu saat yang sama. Kerumitan dari pelaksanaan PIR pasti banyak,  karena manajemennya menjadi sangat complicated, bersystem kuat, high speed coordination, dan memerlukan SDM yang mumpuni.

3.2. Demokrasi Ekonomi

Tidak pernah bosan para ahli ekonomi “berideologi” Pancasila menyuarakan dan meluruskan sistem demokrasi ekonomi Indonesia, yang memang berbeda dengan sistem demokrasi ekonomi “ala Barat yang kapitalistik”. Perdebatan ekonomi leberal dan neo-liberal yang sangat mengandalkan pada mekanisme pasar akan memberikan kesejahteraan pada masyarakat sudah sering kali diperbincangkan. Ideologi ini telah menyebabkan banyak ahli ekonomi dan sosial Indonesia melupakan ideologi ekonomi Pancasila / demokrasi ekonomi kerakyatan (Mubyarto. 2005). Kritik terhadap ideologi neo-libeal dan globalisasi sudah banyak ditulis oleh Susan George (2002), James Petras dan Hendry Veltmeyer (2001).

Sebagian besar elit  dan pengusaha Indonesia hidup dalam bayang-bayang jargon ideologi ekonomi neo-liberal tersebut (penguasaan modal dan uang). Pelaku ekonomi Indonesia (pemerintah dan pengusaha) amat PATUH pada “Konsensus Washington 1989” terkait dengan 3 pilar utama sistem kapitalisme baru dunia yaitu mewujudkan stabilitas makro ekonomi, liberalisasi, dan privatisasi. Dilihat dari sisi Privatisasi, semua rakyat Indonesia sudah paham terang benderang bahwa sejak krisis ekonomi nasional tahun 1997 sampai sekarang gerakan privatisasi asset negara melaju dengan “mulus dan kencang” tanpa hambatan berarti di Indonesia. Data yang penulis peroleh, dari 156 BUMN yang ada, sebanyak 76% sudah di privatisasi. Siapa bilang sumber-sumber ekonomi strategis dikuasai negara untuk kemakmuran masyarakat Indonesia? Ambil saja contoh Telkomsell yang sahamnya dikuasai Singapur, pabrik semen, lembaga bank, industri besi, pertambangan, sumberdaya alam hutan, sumberdaya air yang dikuasai Danon, dan masih banyak contoh lainnya.

Banyak orang “tidak mau” berusaha memahami demokrasi ekonomi Pancasila, yang dalam tingkat operasionalnya sebangun dengan demokrasi ekonomi kerakyatan (berbeda dengan ekonomi rakyat). Memahami demokrasi ekonomi Indonesia “jangan” merujuk pada sistem nilai negara lain atau dari buku-buku barat (Mubyarto, 2005).  Ajaran Ekonomi Pancasila hendaknya dapat dijadikan alat “uji material” atas berlangsungnya proses-proses produksi, konsumsi dan pemasaran di Indonesia. Apakah proses-proses tersebut relevan dengan demokrasi ekonomi Indonesia yang berideologi Pancasila diuji melalui : (1)Apakah roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral?, (2) Apakah proses ekonomi mencerminkan kehendak kuat rakyat akan adanya kemerataan sosial?, (3) Apakah negara ini sudah memberikan prioritas kebijaksanaan ekonomi pada pengembangan ekonomi nasional yang tangguh?, (4) Apakah setiap pelaku ekonomi telah menjadikan “ruh” koperasi sebagai sokoguru ekonomi ? dan (5) Apakah perekonomian Indonesia telah dibangun atas dasar keseimbangan antara perencanaan nasional dan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi di daerah-daerah?

3.3. Demokrasi Ekologis

Salah satu hal yang jarang mendapat porsi penting selama ini di Indonesia adalah pembicaraan dan pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan ekologis sudut pandang demokrasi dan politik. Literatur tentang political ecology sudah cukup banyak ditulis sejak tahun 1990-an, tetapi belum banyak dibaca oleh dan di bahas oleh publik secara luas.Bencana ekologis menerpa Indonesia sepanjang tahun. Ketika musim hujan, Indonesia mengalami banjir, tanah longsor, angin ribut, dan semuanya memakan korban harta dan nyawa manusia. Ketika musim kemarau, Indonesia mampu “memproduksi asap” dan ekspor ke negara jiran, sebagai akibat dari prilaku tidak ramah lingkungan dari para pengusaha perkebunan, kehutanan, dan masyarakat petani lahan kering yang menggunakan teknologi api dalam pegolahan lahannya.

Kerusakan lingkungan itu harus dikatakan sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam mengatur sumberdaya alam. Kesalahan kebijakan pada masa Orde baru dengan memberikan lisensi kepada perusahaan swasta untuk “melakukan penebangan legal” atas sumberdaya hutan, merupakan penyebab utama kerusakan ekologis itu.. Institusi Kehutanan dan tambang telah membangun kebijakan atas dasar “demokrasi janggut”, yaitu pengambilan keputusan tidak atas dasar kedaulatan rakyat, tetapi atas dasar “kapitalisme perkoncoan”, dimana konsesi-konsesi hutan dan tambang tidak ada satupun yang diserahkan kepada kelompok masyarakat desa, masyarakat adat, dan masyarakat lokal. Kebijakan peruntukan pemanfaatan sumberdaya alam ditentukan dari atas dengan dasar KKN. Tafsir atas  sumberdaya alam dikuasai negara ternyata telah “diplesetkan” menjadi “dimiliki” rejim penguasa. Demokrasi janggut atau “demokrasi wayang” ini telah menyebabkan kerusakan ekologis yang kita rasakan sekarang ini.

Untuk memperbaiki keadaaan ekologi sumberdaya alam di Indonesia melalui tindakan demokrasi ekologi sebagai berikut:

  • (1) Negara melakukan keadilan dalam pembagian pemanfaatan atas sumberdaya alam (hutan, tambang, laut, lahan pertanian, dll). Pelaku pemanfaat sumberdaya alam tidak hanya pengusaha dan negara (BUMN), tetapi negara juga memberikan porsi yang sama untuk sumberdaya alam yang dikuasai negara tersebut dikelola dan dimanfaatkan secara langsung oleh satuan komunitas masyarakat dan organisasi rakyat yang relevan;
  • (2) Kebijakan ekologis harus selalu bersifat deliberative (mencerminkan kehendak pelaku dan dibahas secara mendalam), partisipatif, dan substansial;
  • (3) mengembangkan etika lingkungan berbasis pada “kearifan lokal” dan “ nilai adat budaya setempat”;
  • (4) menghilangkan semangat eksploitatif, dan mengembangkan semangat ekologis (menyeimbangkan produksi, konservasi, dan perindungan sumberdaya alam); dan
  • (5) memberikan sangsi yang tegas kepada  perusak ekologi;
  • (6) membangun sistem pengawasan, monitoring dan evaluasi secara berkala dan bertanggunjawab, sebagai bentuk pertanggungjawaban publik; dan
  • (7) perubahan iklim global yang sangat nyata berdampak pada Indonesia dan masyarakat, oleh karena itu pendekatan ekologi yang seimbang dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi, menjadi kajian penting bagi masa depan Indonesia.

4. Penutup

Makalah ini sifatnya hanya sebagai pemantik diskusi dalam kerangka melakukan refleksi dan menata ulang demokrasi dan demokratisasi politik, ekonomi dan ekologi di Indonesia. Solusi yang diajukan bersifat terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut. Jika dibandingkan dengan semangat Soekarno dalam Indonesia menggugat tahun 1930, maka sesungguhynya bangsa dan negara Indonesia saat ini belum bergeser pada tataran yang signifikan. Kita patut malu dengan Soekarno dan Hatta. Saran dan masukan akan sangat berguna untuk memperkaya materi tata kelola demokrasi di Indonesia.

Oleh: Prof. Dr. San Afri Awang, M.Sc. — Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Pengajar Fakultas Kehutanan-UGM Yogyakarta,

REFERENSI

[1] Disampaikan pada Seminar Bulanan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, 24 April 2008
[2] Lihat Revitch dan Thernstrom (2005) hal viii
[3] Ibid, hal xii
[4] Robert H.Lauer. 2001. Perspektif  tentang perubahan sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
[5] Disampaikan dalam Kongres Indonesia Raya, 2004. Lihat Yudhoyono,  Kita masih belajar berdemokrasi, dalam Siburian e al (eds). 2004. Indonesia Raya Bangkit atau Hancur. Bina Rena Pariwara, Jakarta.
[6] Carol  Gould. 1988. Rethinking Democracy: Freedom and Social Cooperation in Politics, Economy and Society. NewYork: Cambridge University Press
[7] Riswandha Imawan. 2004. Membangun Demokrasi Indonesia. Dalam Siburian e al (eds). 2004. Indonesia Raya Bangkit atau Hancur. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
[8] Proses KKN ini masih sangat subur sampai tahun 2008 (100 th) gerakan moral dikumandangkan oleh perkumpulan BO
Daftar Pustaka

  • Baswir, R. 2003. Drama Ekonomi Indonesia: Belajar dari kegagalan ekonomi Orde Baru. Yogyakarta: Kreasi Wacana
  • Gould,C. 1988. Rethinking Democracy: Freedom and Social Cooperation in Politics, Economy and Society. NewYork: Cambridge University Press
  • George, S.2002. Republik pasar bebas. Infid
  • Lauer,R.H. 2001. Perspektif  tentang perubahan sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Petras,J dan H.Veltmeyer.2001. Kedok Globalisasi: Imperialismo abad 21. Cakra Nusantara
  • Revitch, D dan A. Therstrom. 2005. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor.
  • Riswandha Imawan. 2004. Membangun Demokrasi Indonesia. Dalam Siburian e al (eds).
  • 2004. Indonesia Raya Bangkit atau Hancur. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
  • Suseno, F.M. 2005. Demokrasi dalam kesaksian sejarah. Dalam Revitch, D and Abigail
  • Thernstrom. Demokrasi : Klasik dan Modern. Jakarta:Yayasan Obor.
  • Sorensen,G. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan prospek dalam sebuah dunia
  • yang sedang berubah.Yogyakarta: CCSS – Pustaka Pelajar.
  • Yudhoyono, S.B.2004,  Kita masih belajar berdemokrasi , dalam Siburian e al (eds). 2004.
  • Indonesia Raya Bangkit atau Hancur. Bina Rena Pariwara, Jakarta.24 April 2008

 Sumber: ekonomikerakyatan.ugm.ac.id.