KETIKA harian Kompas (18/11/2002) menurunkan tulisan Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, saya menduga bakal muncul banyak reaksi. Benar. HP saya dibanjiri komentar reaktif beberapa orang atas artikel itu. Semuanya bernada "mempertanyakan".
Tulisan itu bernada "teror". Saya nyaris yakin, saat menulis, di depan Ulil ada bayangan orang-orang berjubah dan berjenggot, membawa pedang yang di bayangan Ulil terus meneriakinya agar dia juga berpakaian dan berjenggot seperti mereka jika tidak mau masuk neraka. Dari awal tulisan, nada geram sudah tercium. Selanjutnya, Ulil seperti hanya ingin membuat geram mereka yang membayanginya. Mereka yang ia sebut sebagai orang-orang yang memiliki kecenderungan "me-monumen-kan" Islam.
Maka diulang-ulangnya kalimat yang mirip-atau sengaja diambil dari-ungkapan-ungkapan kebanyakan orientalis Barat yang paling dibenci oleh mereka yang "membayangi Ulil" itu.
Bila dugaan saya benar, inilah kesalahan pertama Ulil. Tulisan itu mestinya bukan di Kompas yang umumnya tidak dibaca oleh mereka yang ingin dibuatnya geram. Pembaca Kompas-wallahua lam-umumnya mereka yang masih mau menyisakan perhatian dan waktu untuk membaca atau mendengar pendapat orang lain. Melihat nada tulisannya, Ulil jelas hanya menujukan kepada mereka yang ia sendiri sepertinya sudah yakin tidak akan mau "mendengarkan"-nya. Akibat salah memilih media, tulisan itu justru lebih membuat bingung mereka yang selama ini tidak bertipe sebagaimana sasarannya. Mereka yang selama ini menyikapi artikel sebagai penuangan pikiran-bukan untuk hal lain, seperti men-"teror" orang-akan bertanya-tanya, apa maunya Ulil?
Kesalahan kedua, sekali lagi bila dugaan saya itu benar: Ulil menulis dengan geram! Kegeraman, sebagaimana sikap-sikap athifie lainnya, bisa mengacaukan pikiran yang jernih; bisa membuat orang bersikap berlebihan; membuat orang tidak bisa berlaku adil, jejeg. Sikap yang justru dia sendiri serukan sebagai sesuatu yang mesti diutamakan. Itu sebabnya hakim yang sedang geram tidak boleh memutuskan hukuman. Ulil pasti sudah hafal mahfuzhat yang berbunyi "Kaifa yastiqiemudzillu wal uudu a waj?", "Bagaimana bayangan bisa lurus bila tongkat yang menimbulkan bayangan, bengkok?" Ya bagaimana kita akan meluruskan kalau kita sendiri kacau?
KESALAHAN lain yang mestinya tidak boleh terjadi dari seorang intelektual ialah menggunakan kemampuannya untuk atau mencampurnya dengan urusan "nafsu". Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Inna akhwafa maa akhaafu alaa ummatie: asyirku billah. Alaa inni laa aquulu ta buduuna watsanan walaa qamaran walaa syamsan; walaakin al-a maal lighairillahi wa syahwatin khafiyyah." Au kamaa qaala Rasulullah SAW. "Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku ialah menyekutukan Allah. Ingat, aku tidak berkata kalian akan menyembah berhala, rembulan, atau matahari; tapi yang kumaksud: amal-amal yang dilakukan bukan karena Allah dan adanya kepentingan yang tersamar.
Amar makruf nahi munkar yang populer itu, hakikatnya adalah manifestasi dari kasih-sayang. Maka, ada dawuh, "Amar makruf nahi munkar, hendaklah dilakukan secara makruf dan tidak boleh dilakukan secara munkar." Untuk dapat ber-amar-makruf-nahi-munkar secara benar, menurut saya, harus didahului kasih sayang. Orang yang tidak mempunyai rasa kasih sayang, sulit dibayangkan dapat melakukan amar makruf nahi munkar. Dengan kata lain, amar makruf nahi munkar adalah istilah lain dari rahmatan lil alamien. Wallahu a lam.
Semua orang tahu, semangat yang berlebihan kadang menyeret orang kepada perbuatan bodoh. Apalagi, bila tidak disertai pemahaman yang cukup atas apa yang disemangati. Ulil sudah tahu, bahkan tampak sudah menjadi "obsesi"-nya, banyak di antara kaum beragama yang terlalu bersemangat dan tidak disertai pemahaman cukup atas agamanya, justru terbukti lebih banyak merugikan, terutama bagi citra agama itu sendiri. Maka sudah semestinya Ulil tidak bersikap sama. Terlalu bersemangat dalam "memerangi" apa yang dianggapnya "musuh Islam", sehingga justru mengaburkan pikiran jernih yang ingin dikemukakan.
Kesalahan terakhir-mudah-mudahan benar-benar terakhir-Ulil menulis itu pada bulan suci Ramadhan, dimana seharusnya umat Islam menyerap kasih sayang Ilahi bagi merahmati sesama.
Sengaja saya tidak menanggapi isi atau materi tulisan, karena seperti dikemukakan di atas, saya tidak melihat tulisan Ulil kali ini dimaksudkan untuk mengutarakan pikiran, bahkan wacana sekali pun. Saya yakin kalau membaca lagi tulisannya, dia akan menyesal, minimal agak menyesal, atau saya mengharapkan begitu.
A. Mustofa Bisri, Mertua Ulil Abshar Abdalla
Kompas, Rabu, 04 Desember 2002