Orba dan Demokrasi Liberal sudah Impase dan Gagal Wujudkan Cita-cita Proklamasi 1945
Cendekiawan, pemikir tajam dan aktivis pergerakan Yudi Latif PhD menegaskan, Orde Baru Soeharto dan Demokrasi Liberal era reformasi gagal mewujudkan cita cita Proklamasi 1945, mengalami impase (jalan buntu tak terpecahkan), bahkan amandemen konstitusi hanya menimbulkan deformasi yang telah menghancurkan Ideologi Pancasila dan mengingkari UUD1945 dari Para Pendiri Bangsa ini. Akibatnya, Indonesia kini menjadi negara gagal dimana praktek-praktek kolonialisme, kleptokrasi dan dominasi modal terus berlangsung, dan rakyat dikesampingkan, di-eksklusi dari cita-cita luhur Para Bapak Bangsa Republik Indonesia Pertama dan dijauhkan dari aspirasi kemerdekaan 1945. Dengan amandemen yang deformatif itu, Republik Indonesia Pertama makin dijauhkan dari ruh bangsa,sementara Republik Kelima yang kini berlangsung membawa NKRI menuju tubir jurang kehancuran dan disintegrasi yang mudah diramalkan oleh siapapun. Yudi Latif berharap TNI, civil society ( para aktivis dan inteligensia) dan dunia usaha serta kalangan agama, menyadari total atas kesalahan demokrasi liberal yang gagal di era reformasi ini. Indonesia dalam bahaya, minus ideologi/konstitusi 1945 dan total Neoliberal, sementara UUD amandemen jelas menyimpang dari Republik Pertama para bapak bangsa 1945.

Yudi Latif (mantan Wakil Rektor Universitas Paramadina) menilai, di era reformasi Republik Kelima ini, masalah terbesar politik Indonesia saat ini adalah semua orang tahu ada banyak masalah dalam demokrasi, tetapi seperti tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Hadir dalam FGD yang dipandu Dr Herdi Sahrasad, ideolog dan akademisi Universitas Paramadina di Founding Fathers House (FFH) Jakarta itu, mantan Komandan barisan Soekarno ITB Ir Suko Sudarso, Dang Fathurrahman MA, para senior GMNI Hertoto Basuki, dan dr Andi Talman serta mantan Ketua Kappi Ir Yusuf AR, tokoh Persatuan Alumni GMNI Nehemia Lawalata, dosen FHUI Chudri Sitompul, aktivis UNHAN Ardinanda Sinulingga, peneliti Dian Permata MPA, M.Fadli Nasution, dan kaum muda yang menjunjung tinggi perjuangan Founding Fathers dan cita-cita Proklamasi 1945.

”Ketidaksanggupan warga untuk mengatasi masalah-masalah kolektif ini terjadi karena institusi-institusi representasi demokrasi dan lembaga publik tidak lagi di bawah kendali publik, tetapi jatuh ke tangan pengendalian segelintir pemodal kuat. Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik,” tururnya..

Menurut Yudi, dalam perkembangan demokrasi di negeri ini, pintu masuk bagi penetrasi pemodal ke dalam domain publik itu melalui pengadopsian model demokrasi liberal padat modal. Suatu model demokrasi, yang bagi Amerika Serikat sendiri dengan ratusan tahun sejarah demokrasi dengan basis egalitarianisme yang kuat, dalam perkembangannya terbukti hanyalah menjadi tunggangan yang efektif bagi elevasi satu persen orang terkaya.

Di negeri ini, ungkap Yudi Latif, dengan warisan kesenjangan pasca-kolonial, pengadopsian demokrasi liberal padat modal di tengah samudra kemiskinan, membuat pemimpin terpilih—meskipun dengan dukungan mayoritas rakyat dalam pemilihan langsung—lebih berutang pada pemodal yang nyata ketimbang rakyat yang abstrak. Dalam konteks inilah kita melihat Jokowi sebagai presiden hanyalah pekerja partai-pemodal. Berbagai langkah blunder Jokowi dalam seratus hari pemerintahannya justru mencerminkan kelemahan daya baca dan referensi ideologis ini. Tanpa radar ideologis, seorang pemimpin tak memiliki kerangka referensial untuk membantu menentukan jenis manusia dan kebijakan apa yang sepatutnya dipilih. (k)

Konfrontasi. Minggu, 15 Feb 2015