Referendum Konstitusi

Dalam empat tahun era reformasi, tepatnya tahun 2002, konstitusi kita sudah empat kali mengalami amandemen. Anehnya, kendati amandemen itu diklaim sebagai tuntutan reformasi, akan tetapi tidak satupun proses amandemen itu yang melibatkan atau konsultasi dengan rakyat.

Padahal, konsekuensi dari empat kali amandemen UUD 1945 itu sangatlah fatal, sebab telah mengubah beberapa dasar dari tujuan dan prinsip nasional kita, sebagaimana digariskan oleh para founding father ketika mendirikan negara Indonesia ini. Salah satu pasal paling krusial, yaitu pasal 33 UUD 1945, yang merupakan pijakan dasar perekonomian Indonesia, telah diamandemen sedemikian rupa, sehingga berpeluang menerima ‘liberalisme ekonomi’.

Padahal, sebagaima kita pelajari dari pemikiran para founding father, tidak satupun diantara mereka yang berfikir untuk menjadikan perekonomian Indonesia merdeka berada di jalur ‘liberalisme ekonomi’. Garis perekonomian Indonesia merdeka seharusnya adalah anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Itulah semangat pasal 33 UUD 1945, dan sebetulnya juga semangat dari pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD 1945.

Lalu, sesuai dengan ketentuan amandemen UUD 1945, dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2003. Salah satu tugas MK adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Dengan demikian, MK memiliki kewenangan besar untuk menafsirkan UUD dasar. Di sinilah masalahnya: banyak tafsiran MK tidak sesuai dengan filosofi dan kerangka fikiran para founding father saat menyusun konstitusi. Sebagai misal, ketika menafsiran pasal 33 UUD 1945, MK menyimpulkan bahwa privatisasi dan persaingan bebas tidak bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Ini fikiran yang keblinger dan sangat ahistoris (tidak mengerti konteks situasi saat disusunnya UUD 1945).

Dalam prakteknya, dengan berbagai amandemen itu—khususnya pasal 33 UUD 1945, kehidupan berbangsa dan bernegara pun mengarah pada ‘kerusakan’. Salah satu bentuk kerusakan yang terang terjadi adalah kehancuran ekonomi nasional dan ekonomi rakyat akibat praktik liberalisme ekonomi. Ini dimungkinkan terjadi karena pasal 33 UUD 1945 sudah diamputasi.

Menurut kami, amandemen terhadap UUD 1945 telah melapangkan jalan bagi imperialisme untuk menjajah kembali (rekolonialisme) negeri kita, dengan merombak tatanan politik dan mengutak-atik fondasi perekonomian kita. Selain itu, karena amandemen itu sama sekali tidak melibatkan partisipasi rakyat, maka amandemen itu sebetulnya adalah illegal.

Dalam berbagai pengalaman di negeri lain, hampir semua pengubahan beberapa bagian dalam konstitusi mereka dilakukan dengan menggelar referendum. Inilah yang dilakukan oleh Mesir, Turki, Bolivia, Ekuador, Venezuela, dan Kenya. Di negara-negara tersebut, rakyat telah ambil bagian dalam menuliskan atau mengatur kembali konstitusi mereka.

Sebaliknya, dalam kasus Indonesia, berbagai pengubahan terhadap konstitusi justru karena inisiatif dan campur tangan asing. Dalam diskusi bertajuk “Filosofi Pasal 33 UUD 1945 Menurut Pendiri Bangsa”, di KPP-PRD, 5 Juli 2011 lalu, Permadi, seorang anggota MPR pada saat pengubahan UUD 1945, mengungkap adanya campur tangan asing dalam proses tersebut.

“Pihak NDI (National Democratic Institute-sebuah lembaga milik imperialis AS, yang pernah terlibat proses kudeta di Venezuela, Haiti, dan Honduras) selalu menunggui sidang-sidang tentang amandemen konstitusi. Dan, bukan tidak mungkin, mereka juga membagikan amplop kepada pimpinan MPR saat itu,” ungkap Permadi.

Lagi pula, menurut Permadi, amandemen terhadap UUD 1945 haruslah bersifat addendum, yaitu melakukan penambahan-penambahan yang diperlukan, bukan mengubah.

Jika benar demikian, maka proses amandemen terhadap UUD 1945 adalah tindakan illegal. Dan, oleh karenanya, kita bisa menyerukan kepada para penyelenggara negara untuk menginsafi kesalahan ini. Kita perlu kembali dulu kepada UUD 1945 yang asli, sebagai titik pijakan, sebelum nantinya akan melakukan penambahan-penambahan (misalnya, soal masa jabatan Presiden).

Atau, jika para penyelenggara negara menolak, karena bisa mengganggu agenda neoliberalisme saat ini, maka adalah tugas gerakan rakyat untuk mengajukan referendum konstitusi. Referendum memang telah dihapus dalam konstitusi, tetapi ia tetap sebuah mekanisme demokrasi yang sah, apalagi jika berpedoman pada: “suara rakyat adalah suara tuhan” (Vox populi, vox dei).

Sumber: Berdikari Online. 16 Juli 2011.