UU Mesti Konsisten dengan Nilai-Nilai Pancasila

Prof Dr OK Saidin, SH, M.Hum menilai produk Undang-undang (UU) harus konsisten dengan nilai-nilai kultural masyarakat. ”Yaitu, nilai-nilai yang disebutkan sebagai nilai-nilai dengan paradigma budaya dan sosial Indonesia yang asli (the original paradigmatic values of Indonesian culture and society) yang terabstraksi dalam Pancasila,” kata Prof OK Saidin dalam Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Senin (11/9).

Ia mengatakan Pancasila yang telah diterima sebagai landasan ideologi bangsa dan negara itu harus dijadikan landasan filosofis. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi grundnorm yakni sumber dari segala sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional, serta termasuk dalam Hukum Kekayaan Intelektual (HKI).

Pembentukan peraturan perundang-undangan HKI Indonesia yang berpangkal dari pemberlakuan hukum asing. Auteurswet 1912 Stb Nomor 600 untuk Hak Cipta, Octrooi Wet Tahun 1910 Nomor 313 untuk Paten, Reglement Industriele Eigendom Tahun 1912 Nomor 545 untuk merek dan terakhir merujuk TRIPs Agreement Pascaratifikasi GATT/WTO Tahun 1994 serta berujung pada penyesuaian peraturan perundang-undangan HKI itu dengan ‘hukum asing’.

“Perjalanan pilihan politik hukum Indonesia dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tentang HKI, dapat diumpamakan sebagai sebuah simfoni. Sebuah simfoni tanpa arranger (konduktor), sebuah simponi tanpa partitur,” ucapnya seperti dikutip dari Antara.

Padahal, menurut OK Saidin, Indonesia sedang menyajikan ‘simfoni orkestra’ dengan ‘tarian kolosal’. Tetapi, para pemain musik memainkan alat musiknya sendiri-sendiri tanpa konduktor dan tanpa membaca partitur.

“Apa yang terjadi, terdengar nyayian sumbang,” katanya. ”Irama dan nadanya falls sehingga menyebabkan suara nyayian tidak lagi harmoni.”

OK Saidin menyebutkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak lagi diposisikan sebagai ‘partitur’ dan sebagai gantinya adalah ideologi kapitalis. ”Cita-cita yang luhur itu kandas di tangan anak bangsa sendiri,” katanya.

Kegagalan dalam pilihan politik transplantasi selama ini adalah pilihan politik hukum pragmatis yang secara terus menerus dilakukan pascakemerdekaan. Kebijakan legislasi diarahkan pada gerakan modifikasi parsial dan dipilih sebagai politik hukum nasional yang bersumber pada undang-undang peninggalan kolonial (termasuk peraturan perundangan HKI).

“Juga yang bersumber dari Perjanjian Internasional sebagai konsekuensi dari keberadaan Indonesia dalam pergaulan internasional,” kata Pembantu 1 Dekan Fakultas Hukum USU itu.

Sumber: Republika. Senin, 11 September 2017