A. Latar Belakang
Setiap negara pada dasarnya pasti memiliki konstitusi. Karena konstitusi merupakan landasan berpijak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengertian konstitusi dalam praktek kenegaraan pada umumnya dapat berarti lebih luas daripada Undang-Undang Dasar atau sama dengan pengertian Undang-Undang Dasar, karena pengertiakata Undang-Undang Dasar hanya meliputi konstitusi tertulis saja; selain itu masih terdapat konstitusi yang tidak tertulis yang tidak tercakup dalam pengertian Undang-Undang Dasar. Di dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, pengertian konstitusi adalah sama dengan Undang-Undang Dasar. Hal ini terbukti dengan diberinya nama Konstitusi RIS bagi Undang-Undang Dasar RIS.
Undang Undang Dasar dalam suatu negara berfungsi sebagai peraturan perundangan yang tertinggi dan sebagai sumber hukum bagi semua peraturan yang berlaku di negara yang bersangkutan.Hal ini berarti semua peraturan harus bersumber dari Undang Undang Dasar tersebut dan tidak boleh bertentangan dengannya.
Konstitusi Indonesia adalah Undang Undang Dasar 1945. Yang mana telah mengalami perubahan atau amandemen sebanyak empat kali. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 ini tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat terdapat beberapa alasan lain yang mendukung untuk dilakukannya perubahan itu, yaitu :
- UUD 1945 pada hakekatnya belum pernah ditetapkan sebagai konstitusi RI yang resmi oleh badan perwakilan pilihan rakyat, kecuali kesepakatan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa pemerintahan Orde Baru Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggotanya sebagian besar adalah Golongan Karya pernah menetapkan TAP MPR yang di dalamnya mengatur tentang referendum terhadap UUD 1945.
- UUD 1945 terlalu bersifat executive heavy yang cenderung diktator. Melihat pemerintaha masa era Presiden Soekarno yang cenderung diktator dengan domokrasi terpimpinnya merupakan suatu gambaran bahwa UUD 1945 yang memberi peluang terjadinya pemerintahan yang diktator.
- UUD 1945 tidak sesuai dengan perkembangan praktek kenegaraan sekarang, UUD 1945 dianggap terlalu sederhana, banyak kelemahan dan kekurangannya sehingga cenderung multi tafsir.
Hal yang tak kalah penting dari alasan dilakukakannya perubahan Undang Undang Dasar adalah adanya keinginan untuk melaksanakan kebudayaan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Agar dapat tercapai maka harus dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar yang menimbulkan sistem politik yang otoriter. Dengan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 maka sistem politik yang demokratis dapat terwujud.
Melihat pada Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Indonesia, dalam rangka untuk semakin terwujudnya negara dan sistem politik yang demokratis maka penulis mencoba untuk membuat dan merancang bagaimana seharusnya Undang Undang Dasar 1945 dilakukan perubahan. Hal yang merurut penulis harus dulkakukan perubahan pada Undang Undang Dasar 1945 adalah pada Pasal 6A ayat (2) yang berbunyi: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum.”
Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 ini menurut penulis dianggap kurang mencerminkan sistem politik yang demokratis. Maka dari itu perlu diamandenen agar tercipta suatu tatanan berkedaultan rakyat serta menjamin hak-hak di semua lapisan masyarakat Indonesia. Lain dari pada alasan itu akan dibahas pada subbab berikutnya.
B. Bagian yang Perlu Diamandenen
Sebagaimana latar belakang di atas telah disebutkan bahwa pada UUD
1945, yang perlu diamandenen adalah pada pasal 6 ayat (2) yang berbunyi:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pemilihan umum.”
Semua warga negara memiliki hak sama di dalam hukum dan pemerintahan
sebagaimana disebutkan pada UUD 1945 pada pasal 27D ayat (3) yang
berbunyi: “Setiap warganegara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan”. Maka jika Presiden dan Wakil Presiden hanya
diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik, maka
kesempatan itu akan sangat terbatas karena dibatasi oleh sesama anggota
dalam parpol. Sehingga orang-orang yang mempunyai kompetensi dalam
memimpin negera tetapi tidak punya parpol atau tidak dekat dengan
parpol, ia tidak akan dapat memperoleh kesempatan untuk mencalonkan diri
sebagai presiden.
Lagipula, akhir-akhir ini kepercayaan masyarat akan parpol semakin menurun drastis. Bahkan mereka membuat pernyataan bahwa orang-orang partai politik tidak bisa terlepas dari kebohongan alias mereka tidak jujur dan suka menggunakan segala cara agar dirinya terpilih.
Disamping itu dalam rangka untuk mengurangi angka golput pada pemilihan umum, mengingat sebagian masyarakat Indonesia ketika melihat calaon-calon presiden dari orang yang tidak mereka percaya atau dari partai politik maka mereka akan memilih untuk tidak hadir ke Tempat Pemungutan Suara(TPS) pada waktu pemilu yang dikenal dengan istilah golput(Gongan Putih). Apalagi kalau kita melihat pada masyrakat yang tergolong dalam ormas Hozbut Tahrir Indonesia yang mana mereka tidak menghendaki sistem demokrasi.
Lain daripada itu pula, pada pasal 27d ayat (3) UUD 1945 menyebutkan dengan susunan bahasa “Setiap warga negara berhak…”. Maka hal itu menunjukkan bahwa tidak terkecuali sedikitpun dari warga negara yang tidak boleh mencalonkan diri sebagai presiden atau ikut serta dalam pemerintahan. Maka jika pada pasal 6A ayat (2) dibatasi hanya yang tergabung dengan parpol, maka penulis dapat katakan ini adalah suatu ketidaknonsistenan norma UUD 1945.
Oleh karena itu perlu kiranya Undang Undang Dasar memberikan jaminan dan kesempatan kepada setiap warga negara untuk dapat mencalonkan diri sebagai presiden maupun wakil presiden secara independen atau perseorangan.
Pasal 6A ayat (2) tersebut diamandenen dengan cara menambah dengan kata “atau perseorangan” diantara kata “gabungan partai politik peserta pemilihan umum” dan “sebelum pelaksanaan”.
C. Cara Perubahan
Tidak ada yang sempurna di dunia ini. UUD 1945 yang telah empat kali mengalami perubahan itu pun harus tetap dilakukan perubahan. Menurut C.F. Strong(1960: 145) perubahan konstitusi dalam hal ini adalah UUD 1945 dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.
- Oleh lembaga legislatif yang ada dengan pembatasan.
- Oleh rakyat melalui referendum.
- Oleh sebagian besar negara Federal.
- Oleh suatu badan khusus.
Pendapat lain adalah cara perubahan UUD yang disampaikan K.C. Wheare(1971: 67-136), menurutnya ada 4 cara perubahan, yaitu sebagai berikut.
- Beberapa kekuatan penting.
- Amandemen Formal.
- Penafsiran Yudisial.
- Kebiasaan dan adat istiadat.
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Strong dan Wheare di atas,
dalam tata cara perubahan UUD 1945 lebih cocok menggunakan cara
amandemen formal sebagaimana dikemukakan oleh Wheare.
Amandemen formal merupakan perubahan yang dilakukan sesuai dengan
cara-cara yang diatur dalam UUD itu sendiri. Hal itu karena di dalam UUD
1945 sendiri sudah mengatur secara jelas tentang bagaimana UUD 1945
bisa dirubah dan siapa yang berhak merubahnya.
Tata cara perubahan tersebut termaktub dalam pasal 37 yaitu sebagai berikut.
- Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
- Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang?kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Sedangkan yang berwenang mengubah dan menetapkan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebagaimana ketentuan pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.”
Bagaimana relevansinya seandainya menggunakan cara referendum? Dahulu TAP MPR No. IV/MPR/1983mengatur tentang referendum. Tetapi kemudian diubah dengan TAP MPR Nomor VIII Tahun 1998 yang mana menghapus pasal 105, 106, dan 107 yang mengatur kewenangan Presiden/Mandataris untuk melakukan referendum. Sehinggakekuasaan legislatif yang dimiliki oleh presiden yang diatur dalam TAP MPR Nomor IV/1983 pun dikembalikan kepada Majelis. Sedangkan presiden dalam TAP MPR Nomor VIII tahun 1998 hanya wajib hadir dalam rapat paripurna penyampaian pandangan umum terhadap laporan Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris.
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat menunjukkan bahwa perubahan UUD 1945 lebih cocok dan memang harus diubah dengan menggunakan amandemen formal yang menggunakan tata cara yang telah disebutkan dalam UUD 1945.
D. Rumusan Perubahan
Rumusan perubahan UUD 1945, berdasarkan apa yang telah penulis jabarkan diatas yaitu dengan cara menambah kata “atau perseorangan” pada pasal 6 ayat (2), yaitu diantara kata “gabungan partai politik peserta pemilihan umum” dan “sebelum pelaksanaan”. Sehingga menjadi: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum atau perseorangan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Bahan Bacaan:
- Wheare, KC, Modern Constitution, Oxford Univ : Press, 1971,
- Strong. CF, Konstitusi konstitusi Politik modern Kajian tentang sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung : Nusamedia, 2004
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 beserta Perubahan
- TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum
- TAP MPR Nomor VIII Tahun 1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum
Sumber: syamsularifin.id
Gambar: merdeka.com