Analisis Pertanggungjawaban Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

I. PENDAHULUAN

Reformasi yang terjadi di Negara Republik Indonesia ditandai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa ini membawa pembaruan dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Pembaharuan ini berimbas terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai staatfundamentalnorm.[1] Oleh karenanya tuntutan untuk melakukan amandemen UUD 1945 menjadi salah satu agenda dalam reformasi.

Tuntutan untuk melakukan amandemen tersebut dirasa perlu mengingat kedudukannya sebagai norma dasar (staatsfundamentalnorm) penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga, apabila ingin melakukan government reform demi terwujudnya kedaulatan rakyat dan demokrasi, perlulah kiranya dilakukan perubahan terhadap aturan dasarnya. Majelis Permusyawaratan Rakyat berlandaskan pada Pasal 37 UUD 1945 telah melakukan amandemen sebanyak empat kali, pertama tanggal 19 Oktober 1999, kedua tanggal 7-18 Agustus 2000, ketiga tanggal 9 November 2001, dan keempat tanggal 1-11 Agustus 2002.3 Perubahan tersebut secara substansial telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar.[2] Salah satu perubahan tesebut adalah adanya perubahan terhadap lembaga-lembaga negara.

Terjadinya amandemen UUD 1945 telah memberikan ruang yang besar terhadap partisipasi rakyat dalam ikut menentukan pengisian jabatan-jabatan publik secara langsung, seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Psl 6A UUD 1945) Berdasarkan pernyataan tersebut, setiap tindakan Presiden dan Wakil Presiden menjadi titik awal dari pertanggungjawabannya terhadap rakyat yang memilihnya. Di samping itu juga berdampak pada perbaikan sistem ketatanegaraan dengan mengurangi dominasi dari Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Kekuasaan tersebut mengandung muatan pertanggungjawaban, dan tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban.

Terhadap hal tersebut di atas mucul pendapat yang berbeda dari para ahli Hukum Tata Negara bahwa sistem pertanggungjawaban Presiden kepada MPR lebih mendekati pranata impeachment dari pada pertanggungjawaban parlementer.

UUD Negara Rebuplik Indonesia Tahun 1945 tidak secara eksplisit menyinggung tentang pertanggungjawaban Presiden kecuali mekanisme pemberhentian Presiden (PSL 7A dan 7B). Berdasarkan fakta tersebut di atas,penelitian ini melihat bagaimana Pertanggungjawaban Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”

II. PEMBAHASAN

A. Bentuk-bentuk Pengaturan Sistem Pertanggungjawaban Presiden

Lord Acton menegaskan bahwa, “power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely”. Dengan demikian, untuk menelaah sistem, bentuk, dan prosedur pertanggungjawaban Presiden setelah amandemen UUD 1945, tidak terpisahkan dengan konstruksi demokrasi dan konstitusi setelah amandemen UUD 1945, yang mana menurut Firdaus elemen-elemennya adalah sebagai berikut:[4]

1. Demokrasi dan Implikasinya terhadap Pertanggungjawaban Presiden.

Amien Rais dan Moh. Mahfud MD, “seperti halnya negara di dunia pada umumnya, negara-negara di dunia ketiga yang lahir dari pengalaman kolonialisasi memilih demokrasi sebagai dasar pemerintahannya”.[5] Seiring dengan perubahan situasi politik dan pergantian rezim kepemimpinan, demokrasi di Indonesia telah mengalami beberapa kali penafsiran kontekstual, seperti demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin pada masa pemerintahan Soekarno, dan demokrasi Pancasila pada masa pemerintahan Soeharto. Demikian pula setelah reformasi, dengan perubahan politik nasional pasca pengunduran diri Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Redefinisi kontekstual tersebut sehubungan dengan amandemen terhadap UUD 1945, yang menimbulkan formulasi formal demokrasi yang baru seperti perubahan kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara, kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan langsung anggota DPR, terbentuknya MK sebagai lembaga pengawas dan penegak konstitusi, penegasan sistem presidensil dan pemisahan kekusaan.

Perubahan format demokrasi dalam sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 telah mengubah sistem pertanggungjawaban Presiden, baik secara substansi maupun secara prosedural. Secara substansial perubahan atas sistem pertanggungjawaban Presiden didasarkan atas pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945, berbunyi:

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”[6]

Namun, apabila kita berbicara pemerintahan secara umum, pertanggungjawaban itu hanya dibebankan di pundak Presiden saja, karena penyelenggaraan pemerintahan bukanlah suatu hal yang mutlak di tangan Presiden sebab semua tindakan Presiden merupakan pelaksanaan dari kesepakatan antar DPR dan Presiden, seperti undang-undang yang pelaksanaannya senantiasa dalam pengawasan DPR. Pengawasan tersebut dapat melingkupi mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi.

Fungsi pemerintah (Presiden) dalam bidang eksekutif dapat kita lihat dalam Pasal 17 tentang kedudukan menteri-menteri sebagai pembantu Presiden yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam bidang legislasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 ayat (1), dimana Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Selanjutnya dalam bidang yudikatif terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) tentang kewenangan Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA dan memberikan abolisi dan amnesty dengan pertimbangan DPR.
7 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 7A.

Menurut pendapat peneliti sesungguhnya tanggung jawab dan pertanggungjawaban presiden secara substansi tidak sebatas pada lingkup kekuasaan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD dan peraturan perundangan lainnya, melainkan bertanggung jawab atas filosofi peruntukan kekuasaan pemerintah dimana Presiden termasuk di dalamnya. dasar falsafah yaitu pancasila yang dalam pembukaan UUD 1945 dengan tujuan utama “…melindungi segenap bangsa Indonesia dst.

Hal tersebut mengandung makna, Presiden bertanggungjawab untuk membebaskan setiap warga negara, tanpa membedakan suku, bangsa, ras, dan agama, serta membebaskan setiap daerah dari jerat kemiskinan yang diderita akibat penjajahan, menyelenggarakan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa untuk mengangkat martabat agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

2. Tindakan Presiden sebagai Kuasa Pertanggungjawaban

Presiden adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu tindakan Presiden adalah perbuatan Presiden untuk mengatasi suatu keadaan dalam menyelenggarakan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kekuasaan Presiden merupakan kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif, yang dapat menimbulkan tindakan hukum ataupun tindakan yang bersifat politis dalam hal mengeluarkan kebijakan dalam pelaksanaan undang-undang. Tindakan politis Presiden atau untuk kebijakannya, pertanggungjawabannya memang tidak diatur secara eksplisit. Namun, fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR dengan beberapa hak, yaitu hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat, dapat mengawasi pelaksanaan undang-undang dan menilai kebijakan Presiden. Sehingga DPR dapat memanggil Presiden untuk memberikan laporannya, yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawabannya. Dasar pertanggungjawaban Presiden adalah cara pengisian jabatan Presiden. Sebelum UUD 1945 diamandemen, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.

Kekuasaan MPR memilih Presiden tidak terlepas dari kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, pelaksanaan kedaulatan rakyat. Atas dasar ketentuan tersebut, penjelasan UUD 1945 menegaskan ketertundukan Presiden kepada Majelis oleh karena kedudukannya sebagai mandataris majelis. Setelah amandemen, MPR sebagai lembaga tertinggi dan pelaksana kedaulatan rakyat, bergeser bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan dengan UUD. Perubahan tersebut berimplikasi kepada format demokrasi perihal pengisian jabatan Presiden yang dilakukan melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat (direct popular vote). Dari realitas tersebut, timbul pendapat yang menyatakan bahwa Presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat.

3. Pertanggungjawaban Presiden sebagai Pribadi

Lembaga Kepresidenan merupakan badan hukum publik, pemangku hak dan kewajiban dimana kepadanya dapat menuntut dan dituntut di depan peradilan. Menurut Logemann dalam Harun Alrasid yang menyatakan bahwa jabatan sebagai pribadi dalam hukum tata negara positif, maka kepada jabatan itulah melekat tugas dan wewenang yang digerakkan melalui perantara pejabat, sehingga sikap pejabatlah yang membentuk isi dari kewajiban dan kepadanya dapat dituntut pertanggungjawaban atas tindakan jabatan dalam lembaga negara walaupun pertanggungjawaban tersebut mewakili jabatannya.

Pasal 7A UUD NRI 1945, “…Presiden dapat diberhentikan…”, maka sangat terang bahwa kedudukan Presiden dalam kalimat tersebut merupakan pribadi jabatan, karena tidak menyebutkan siapa subjek dari Presiden yang dimaksud, sebab dalam logika organisasi kedudukan Presiden sebagai organ dan lingkup jabatan tidak mungkin diberhentikan, melainkan yang dapat diberhentikan adalah pemangku jabatan Presiden. Sehingga terminology tersebut ditujukan kepada pribadi Presiden sebagai pemangku jabatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan selama dalam masa jabatan.

B. Prosedur Pertanggungjawaban Presiden Dalam Menjalankan Pemerintahan Negara.

Adapun Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah bentuk materil yaitu yang merujuk pada substansi atau materi yang bersifat procedural institusional. Pasal 7A.UUD 1945 menyatakan bahwa bentuk pertanggungjawaban Presiden berdasarkan pada konstitusi.

Presiden dalam bentuk pemberhentian dari jabatan dengan beberapa kualifikasi pertanggungjawaban antara lain: pertama, pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela (misdemeanors); kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden; ketiga, pertanggungjawaban jabatan.

Sehubungan dengan pertanggungjawaban presiden ada beberapa kategori antara lain :

1. bahwa dasar pertanggungjawaban Presiden berupa pemberhentian Presiden dari jabatan oleh MPR karena melakukan suatu pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela. Penjabaran Pasal 7A ini diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3), sebagai berikut:

a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang;

b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang;

c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden;

e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 UUD NRI 1945.

2. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, terkesan overlapping dengan pelanggaran hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7A, Sebab, apabila terjadi pelanggaran hukum dengan sendirinya tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa tidak lagi memenuhi syarat itu sehubungan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini dirasa kurang tepat, karena syarat sebagaimanan diatur dalam ketentuan tersebut adalah syarat untuk calon Presiden. Sementara itu, syarat Presiden yang dimaksud dalam Pasal 7A tersebut adalah syarat setelah seorang telah terpilih menjadi Presiden. Dengan demikian syarat Presiden dimaksud merujuk kepada sumpah dan janji jabatan sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat (1)8 UUD NRI Tahun 1945.

3. Pertanggungjawaban jabatan Presiden.

Bahwa Penempatan pertanggungjawaban jabatan tidak terlepas dari konsep jabatan sebagai pribadi, sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa individulah yang memberi bentuk dan isi dari kekuasaan organisasi, maka atas nama organisasi individu mempertanggungjawabkan tindakan organisasi yang dilakukan oleh aktor organisasi, termasuk mempertanggungjawabankan perbuatan pribadi selama dalam masa jabatan, sehingga pertanggungjawaban jabatan Presiden dalam pengertian Pasal 7A terkait dengan bentuk hukuman berupa pemberhentian dari jabatan Presiden. Mengenai prosedur pertanggungjawaban presiden terdapat dalam Pasal 7B UUD NRI 1945, dimana dalam proses tersebut melibatkan tiga lembaga
negara, yaitu DPR, MK, dan MPR. Tetapi berdasarkan menimbulkan 8 Pasal 9 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, berbunyi;

Sumpah Presiden:
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Janji Presiden:
“saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

beberapa pertanyaan, yaitu: pertama, mengapa DPR yang diberi wewenang untuk mengajukan pendapat mengenai pelanggaran hukum Presiden ke MK dan mengapa hak itu juga tidak terdapat di DPD; kedua, mengapa wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus ada pada MK bukan pada MA; ketiga, mengapa MPR yang menjadi pemutus terakhir atas sanksi pemberhentian Presiden setelah MK membenarkan pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden.

Hak DPR untuk mengajukan pendapat tentang pelanggaran hukum Presiden merupakan rangkaian hak atas fungsi pengawasan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan dan merupakan satu-satunya lembaga negara yang diberi wewenang untuk itu, sehingga secara normative tidak akan pernah ada pertanggungjawaban dan pemberhentian Presiden tanpa dimulai dari DPR.

DPD merupakan lembaga perwakilan rakyat yang mandiri karena selain dipilih langsung oleh rakyat dengan sistem distrik, juga tidak merupakan anggota partai politik, sehingga netralitas dalam menilai tindakan Presiden lebih dapat terjamin dibanding DPR, karena idealisme anggota tidak berada di bawah tekanan organisasi partai politik. Dimungkinkannya DPD untuk mengajukan pernyataan pendapat atas pelanggaran hukum Presiden kepada MK dengan perimbangan bahwa DPD merupakan lembaga perwakilan rakyat Indonesia untuk mengagregasi kepentingan rakyat. Anggota DPD merupakan anggota MPR, sehingga anggota DPD ikut memiliki andil dalam menentukan pemberhentian Presiden.

Namun, dari segi jumlah tidak begitu signifikan, karena keanggotaan DPD tidak boleh lebih dari 1/3 anggota DPR, untuk periode 2009-20 14, jumlah anggota DPD sebanyak 132 orang dari 33 provinsi, dibanding dengan anggota DPR sebanyak 560 orang, sehingga total jumlah MPR adalah 692 orang. Sidang Paripurna MPR dalam rangka pemberhentian Presiden baru dinyatakan quorum apabila dihadiri 3/4 x 692 = 519 orang dan keputusan diambil apabila disetujui sekurang-kurangnya % x 519 = 346 orang. Komposisi demikian menunjukkan bahwa apabila pernyataan pendapat oleh DPR disetujui oleh sebanyak 519 dari seluruh jumlah anggota MPR, maka sekalipun sidang tidak dihadiri oleh anggota DPD sidang tetap memenuhi quorum dan dapat mengambil keputusan Pemberhentian Presiden.

MK sebagai lembaga peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden. Pasal 24C ayat (1) dan (2), yaitu:

(1) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu;

(2) MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan /atau Wakil Presiden menurut UUD.

Menelaah kewenangan di atas, dapat dipahami bahwa kehadiran MK sebagai salah satu institusi peradilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia Wewengan MK untuk memberi putusan atas pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden adalah pelanggaran hukum dengan materi sebagaimana telah di jelaskan sebelumnya, tidak terlepas dari kedudukannya sebagai satu-satunya lembaga negara yang diberi wewenang oleh UUD sebagai penafsir konstitusi.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sistem pertanggungjawaban dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan mengarah ke pranata impeachment, yaitu meminta pertanggungjawaban Presiden karena adanya dugaan pelanggaran hukum. Sehingga dapat dikatakan bahwa bentuk pertanggungjawabannya adalah pertanggungjawaban hukum. Namun, tidak tertutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban politis, berupa laporan Presiden kepada DPR sehubungan dengan fungsi pengawasannya. Tetapi pertanggungjawaban politik ini tidak mengancam kedudukan Presiden, dengan kata lain Presiden tidak dapat dijatuhkan karena alasan politik.

Prosedur pertanggungjawaban Presiden ditegakkan melalui tiga lembaga negara yaitu DPR, MK, dan MPR. Prosedur inii muncul setelah amandemen UUD 1945,. Hal ini merupakan kemajuan bagi demokrasi konstitusional yang hendak dibangun oleh Indonesia, namun demikian masih perlu ditelaah lebih dalam, sebab prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD NRI 1945 tersebut masih debatable.

B. Saran

Perlu dibentuk aturan yang lebih jelas tentang pertanggungjawaban Presiden, agar tidak menimbulkan banyak penafsiran. Perlu dibentuk suatu forum khusus untuk menyidangkan Presiden. Sebab, dengan prosedur yang berlaku sekarang ini ada kemungkinan akan adanya silang pendapat antara MK dan MPR, perihal pemberian sanksi kepada Presiden, karena walaupun terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, namun penjatuhan sanksi berada di tangan MPR dan tidak terikat pada Keputusan MK. Dengan demikian, terdapat kemungkinan melumpuhkan hukum dalam proses di MPR dan terjadinya kompromi politik.

Oleh : Kosariza. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi

CATATAN KAKI

[1] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 99.
[2] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 111.
[3] Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus Media, Bandung, 2007, hal. Ix.
[4] Ibid., hal. 141-142.
[5] Dalam Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Krisis Teori…, Op. Cit., hal. 64.

DAFTAR PUSTAKA

  • Ateng Syafrudin, 1982, Hubungan Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Transito, Bandung.
  • Ateng Syafrudin, 1991, DPRD Sebagai Badan Legislatif Daerah Dari Masa Ke Masa, Cet. Pertama, Mandar Maju, Bandung.
  • Anton Praptono, Teori Pembagian Kekuasaan, Academica, Jakarta, 2007,
  • B.N Marbun, 2005, Otonomi Daerah 1945-2005, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
  • Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
  • Bagir Manan, 2001, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi FH UII Yogyakarta.
  • H.A. Syafii Ma’arif, 2003, Pancasila Dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis, Cet. 4, Cintra Karsa Mandiri, Yogyakarta.
  • Josef Riwu Kaho, Yosef Riwu Kaho, 1995, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
  • Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan 1, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
  • Mariam Budiardjo, 2005, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. 27, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sumber: online-journal.unja.ac.id.