Amandemen UUD-45 Yang Kebablasan

Kamis, 21 Mei 1998, bertepatan dengan peringatan hari Kenaikan Isa Almasih, menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, terhitung mulai pukul 09.05 WIB, Soeharto, tiran berusia 76 tahun yang telah berkuasa selama tiga dekade lebih, berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Peristiwa tersebut menjadi klimaks dari perjuangan gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa sebagai main factor-nya. Seluruh mahasiswa dan elemen proreformasi di segenap pelosok negeri merayakan kemenangan atas kejatuhan tokoh kunci rezim Orde Baru itu. Dan sejarah Indonesia pun kembali menemukan putaran baliknya menuju masa depan baru yang lebih baik, setelah berjalan begitu lamban sejak kejatuhan rezim Orde Lama tahun 1966.

Agenda mendesak yang segera dituntaskan oleh gerakan mahasiswa saat itu adalah menyusun visi reformasi sebagai parameter dan garansi bagi kepemimpinan nasional (presiden) yang baru, para penyelenggara negara, serta para elite politik agar mereka komitmen dan konsisten terhadap agenda-agenda reformasi total bangsa. Visi reformasi juga dimaksudkan untuk mengantisipasi munculnya reformis gadungan dari kekuatan pro status quo dan kelompok-kelompok pragmatis. Penulis sendiri bersama pengurus Senat Mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Jawa pernah secara khusus mensosialisasikan visi reformasi tersebut kepada pimpinan pusat lima partai politik pemenang Pemilu 1999 (PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKB) di Jakarta, beberapa hari setelah perolehan akhir suara diumumkan akhir Juli 1999 lalu.

Salah satu visi fundamental yang dicanangkan oleh gerakan mahasiswa adalah amandemen (perubahan) terhadap Undang-undang Dasar 1945, di samping visi penghapusan peran politik (dwifungsi) TNI, penegakan supremasi hukum, pemberlakuan otonomi daerah seluas-luasnya, budaya demokratis yang egaliter, serta pertanggungjawaban mesin-mesin politik-ekonomi Orde Baru. Sehingga bagi mahasiswa, siapapun yang menolak amandemen UUD 1945 berarti antireformasi.

Mengapa UUD 1945 harus diamandemen? Banyak alasan kuat yang bisa dikemukakan baik secara ilmiah, objektif, yuridis maupun historis.

Alasan Pertama, UUD 1945 adalah UUD sementara. Para pakar hukum tata negara telah mengemukakan bahwa para perumus UUD 1945 sendiri sebenarnya menyadari bahwa UUD tersebut merupakan UUD sementara yang harus segera diselesaikan karena dorongan situasi strategis untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Sejarah pun tidak mendustakan hal itu. Soekarno sebagai ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ketika membuka sidang pertama PPKI pada Rapat Besar tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan: “Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali majelis perwakilan rakyat yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna”

Pernyataan Soekarno itu dibuktikan dengan adanya pembuatan konsitusi lain, yaitu UUD 1949, UUDS 1950, dan pembuatan UUD baru oleh Badan Konstituante tahun 1959 yang dihentikan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Status kesementaraan itu juga termaktub dalam UUD 1945 pasal 3 dan butir 2 Aturan Tambahan. Dengan demikian, meskipun UUD 1945 masih berlaku hingga sekarang, namun status kesementaraannya tidak berubah.

Alasan kedua, UUD 1945 memiliki banyak kelemahan. Adnan Buyung Nasution mensistematisasikan kelemahan-kelemahan itu menjadi dua jenis, yaitu kelemahan konseptual dan kelemahan konstruksi hukum. UUD 1945 yang hanya berisi 37 pasal terlalu sederhana untuk sebuah konstitusi negara. Dengan adanya kesederhanaan itu, pelaksanaan UUD 1945 diatur lebih lanjut dengan undang-undang (UU). Kondisi ini membuka peluang terjadinya penyelewengan-penyelewengan oleh pembuat UU sebagaimana terjadi selama ini.

Sistem pemerintahan yang memberi kekuasaan terlalu besar kepada presiden serta prinsip kedaulatan rakyat yang diwakilkan melalui MPR seperti diatur UUD 1945, telah terbukti menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan, menimbulkan kekuasaan otoriter, korup dan menindas rakyat, serta menciptakan penyelenggaraan negara yang buruk. Pada awal pemberlakuan UUD 1945 (1945-1949), perputaran roda pemerintahan sangat bergantung kepada presiden.

Banyaknya masalah yang tidak bisa diselesaikan UUD 1945 telah melahirkan Maklumat Wakil Presiden No. X soal Kedudukan Komite Nasional Indonesia menjadi pembantu presiden, serta perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil ke parlementer. Periode 1959-1966, juga muncul pemerintahan otoriter dengan konsep demokrasi terpimpin yang dijalankan oleh Presiden Soekarno. Sedang pada periode 1966-1998, UUD 1945 juga tak mampu menghentikan munculnya pemerintahan otoriter Orde Baru yang otoriter, korup dan banyak melanggar hak asasi manusia.

Alasan ketiga, perlunya amandemen UUD 1945 adalah bahwa memiliki UUD baru merupakan kebutuhan mendesak reformasi konstitusional. UUD baru pada dasarnya adalah kontrak sosial baru sebagai wujud kehendak bersama, yang harus dibuat dan ditentukan secara bersama pula. UUD baru milik bersama seluruh rakyat, bukan milik elite-elite politik di MPR. Oleh karena itu, penyusunan UUD baru harus berangkat dari jiwa dan semangat yang dapat dimengerti oleh seluruh rakyat.

Atas dasar alasan-alasan itulah, maka gerakan mahasiswa menetapkan amandemen UUD 1945 bagian dari visi reformasi yang harus dilaksanakan sebagai bagian reformasi total. Reformasi konstitusi adalah agenda paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi. Sebab tranformasi ke arah pembentukan sistem demokrasi hanya dimungkinkan bila didahului oleh perubahan fundamental dalam aturan konstitusi yang memberi dasar bagi agenda-agenda reformasi dan demokrasi lainnya.

Problem Amandemen

Empat tahun sudah berlalu. Tiga presiden baru pasca-Soeharto pun sudah kita miliki: Bacharuddin Jusuf Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Namun, proses dan agenda reformasi yang dipercayakan oleh mahasiswa dan rakyat kepada penyelenggara negara hingga kini belum menampakkan hasil memadai, bahkan cenderung tak tentu arah.

Amandemen UUD 1945 yang diamanatkan kepada MPR terancam gagal. Saat proses amandemen yang digarap oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR makin berlarut-larut hingga memasuki tahap keempat tahun ini, tiba-tiba sejak awal April 2002 lalu muncul desakan agar proses amandemen dihentikan karena dinilai kebablasan. Desakan itu datang dari sejumlah anggota MPR, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi dan Koalisi Ornop. Tak kurang sekitar 200 anggota MPR dari FPDIP, FUG, FKB dan FKKI mengumpulkan formulir tanda tangan menolak amandemen oleh PAH I BP MPR, yang dibukukan dengan judul Sikap Politik Para Anggota MPR RI diterbitkan Yayasan Kepada Bangsaku dan Yayasan Pendidikan Tinggi 17 Agustus 1945.

Secara prinsip, tuntutan penghentian proses amandemen UUD 1945 tersebut tentu berlawanan dengan visi reformasi. Namun melihat alasan yang dikemukakan, tuntutan mereka dapat dimaklumi. Mengingat proses dan seluruh materi perubahan yang telah dan akan diputuskan oleh MPR masih memiliki banyak kelemahan, diantaranya kerancuan dan pertentangan satu pasal dengan pasal lainnya. Selain itu, proses perubahan terkesan tertutup, hanya dilakukan dan ditentukan sendiri oleh MPR, tanpa melibatkan rakyat, tidak terbuka, sepotong-potong dan lebih banyak diwarnai kepentingan politik sempit fraksi-fraksi di MPR. Bahkan mereka menilai MPR telah gagal melakukan amandemen.

Kemandegan atau pemelencengan agenda amandemen UUD 1945 memang sempat dikhawatirkan oleh gerakan mahasiswa, melihat konstelasi anggota MPR yang masih didominasi orang-orang Orde Baru. Dalam hal ini, MPR sekarang sebenarnya bagian dari masalah, sehingga sulit diharapkan bisa memecahkan masalah itu sendiri. Karenanya, proses amandemen tidak bisa hanya dilakukan dan ditentukan oleh MPR, tetapi harus melibatkan komponen rakyat secara luas dalam pengambilan keputusannya. Salah satunya muncul usulan pembentukan Komisi Konstitusi, yang diilhami oleh reformasi konstitusi di Filipiina saat revolusi tahun 1986. Namun prinsip mendasar yang harus dicatat adalah bahwa reformasi konstitusi tidak hanya melakukan amandemen, tetapi yang lebih mendasar adalah membuat rumusan konstitusi baru untuk masa depan Indonesia yang lebih demokratis.

Peran Mahasiswa

Proses amandemen UUD 1945 yang tersendat-sendat menandakan bahwa proses reformasi terancam gagal. Nasib serupa juga menimpa agenda-agenda reformasi lainnya, seperti belum terealisasinya penegakan supremasi hukum, penghapusan peran politik TNI dan pemberlakuan otonomi daerah seluas-luasnya.

Menyikapi carut-marut arah reformasi dan kondisi perpolitikan bangsa saat ini, gerakan mahasiswa telah mengeluarkan mosi tidak percaya kepada para elite politik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Namun perbaikan negeri tak cukup dengan mosi, sehingga gerakan mahasiswa harus segera melakukan konsolidasi kembali untuk terjun langsung mengawal dan mengamankan arah reformasi yang tak tentu arah, salah satunya mengamankan proses reformasi konstitusi.

Peran strategis mahasiswa bukan hanya sebagai pelaku perubahan (agent of change), tetapi juga pengarah perubahan (director of change). Saat ini, rakyat Indonesia membutuhkan peran director of change tersebut. Dalam posisinya sebagai moral force dan intelectual force, mahasiswa bisa berdiri di atas kepentingan rakyat dan berbicara kepada setiap unsur elite politik. Di sinilah mahasiswa bisa tampil sebagai kekuatan penyeimbang (balancing power) di hadapan seluruh pelaku politik, untuk duduk satu meja membangun konsensus bersama mengenai Format Indonesia Masa Depan. Dalam main-frame inilah, gerakan mahasiswa bisa menjalankan fungsi social control dengan instrumen kekuatan massa (mass power) dan kekuatan institusi (institutional power) yang dimiliki.

Konsolidasi menuju terbentuknya koalisi strategis telah dimulai oleh BEM se-Jawa-Sumatera, KAMMI, HMI-MPO, LMND, FNPBI dan PRD, saat mereka berunjukrasa di gedung DPR/MPR, Maret 2002, menuntut pembentukan Pansus Bulog II dan pembubaran Partai Golkar. Koalisi lintas pemikiran dan ideologi ini mengulang sejarah gerakan mahasiswa yang sukses menjatuhkan Soeharto pada Mei 1998 lalu. Jaringan koalisi ini diprediksi bakal meluas secara horisontal ke elemen-elemen gerakan mahasiswa lainnya, dan secara vertikal ke daerah-daerah di tanah air. Perluasan perlu dilakukan mengingat tugas mengamankan reformasi tak kalah berat dibandingkan dengan mengawali reformasi Mei 1998 lalu. Kesuksesannya membutuhkan skenario yang cerdik dan strategi yang jitu. Dan rakyat, insya Allah, akan kembali bergabung bersama mahasiswa untuk mengusung reformasi jilid kedua.

Banyak orang makin tak sabar menghadapi masalah berat di Tanah Air belakangan ini. Suasana batin yang tertekan, mendorong munculnya sikap saling menghujat, menyalahkan, dan lempar tanggung jawab. Padahal, tidak jarang berbagai persoalan bersumber dari kegagalan elite politik memperbaiki situasi dan kondisi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Pro-kontra terhadap amandemen konstitusi yang ramai diwacanakan, antara lain muncul karena amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung empat kali (Oktober 1999, Agustus 2000, November 2001, dan Agustus 2002) dinilai oleh beberapa kalangan sudah kebablasan.

Pengertian amandemen adalah perbaikan dan penyempurnaan di dalam sistem UUD 1945 (within the system), tetapi yang terjadi sekarang justru perombakan sehingga berada di luar sistem (out of system) UUD 1945.
Dicontohkan, pasal 1 ayat (2) yangberbunyi “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Dalam amandemen dirombak menjadi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UU”. Perombakan ini telah mengingkari pembukaan UUD 1945 alinea 5 yang berbunyi; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Akibat hukum dari perombakan tersebut, bentuk dan kedaulatan negara menjadi kabur. MPR tidak lagi sebagai pemegang kedaulatan rakyat.

Forum Kajian Ilmiah Konstitusi ( FKIK )menyatakan, untuk mencegah terjadinya problem konstitusional berkembang menjadi krisis konstitusional, mereka meminta kepada seluruh anggota MPR untuk menghentikan usaha-usaha merombak UUD’45 dan tetap berpegang pada UUD 1945.

Amandemen, yang pokok itu tidak serampangan, karena ini soal serius. Konstitusi adalah aturan tertinggi bernegara. Jangan sampai amandemen dilakukan dengan serampangan dan sembarangan ,Karena nanti terkesan main-main. Konstitusi kita memeng belum sepenuhnya sempurna. Kalau ingin menyempurnakan konstitusi pilihan satu-satunya yaitu dengan amandemen,

UUD 1945 hasil amandemen yang kini sedang disosialisasikan oleh MPR dan pemerintah, dinilai mengacaukan karena tidak serasi dengan mukadimah dan kehilangan roh UUD 1945 itu sendiri. “Rakyat tidak anti amandemen. Tapi anti amandemen yang kebablasan, yang menyimpang dari semangat dan jatidiri UUD 1945.”
“Yang bertentangan antara pembukaan dan batang tubuhnya. Serta juga bertentangan dengan filosofi struktur dan sistem kenegaraannya,.

Satu hal yang mengkhawatirkan, amandemen UUD 1945 yang kebablasan itu bisa mengacaukan tatanan dan berefek negatif bagi masyarakat bangsa Indonesia, yang seharusnya tetap berpegang teguh pada UUD 1945.

UUD 1945 telah diamandemen empat kali dari tahun 1999 s.d 2002 secara kebablasan. Dari tinjauan hukum, amandemen tersebut cacat hukum. Pertama, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sejak berlakunya kembali UUD 1945, dicatat dalam Lembaran Negara dan sampai sekarang belum dicabut oleh MPR serta belum pernah dinyatakan berlakunya UUD 1945 hasil amandemen.

Kedua, secara prosedural, MPR punya produk dua yaitu keputusan yang sifatnya mengikat internal anggota dan ketetapan MPR yang berlaku secara ke seluruh warga negara. UUD 1945 yang diamandemen 4 kali, tidak diberi judul keputusan atau ketetapan, padahal semestinya diberikan.

Secara substansi, nama amandemen tidak boleh mengubah jiwa dan ruh. Landasan jiwa dan ruh ada pada Pembukaan UUD 1945. Memang pembukannya tidak diubah, tetapi batang tubuhnya sudah tidak match (sesuai) lagi, Masalah keadilan sosial, jiwa UUD 1945 yang diamandemen, jiwanya secara ekonomi bukan gotong royong lagi. Juga tidak menuju pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Jiwanya sudah menjadi kapitalisme. Siapa yang kuat dan mempunyai modal besar, bisa menguasai ekonomi.

Karena perubahan tersebut menyebabkan ketidakpastian di segala bidang. ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Akankah bangsa ini kembali hidup seperti sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 dan hasil amandemen UUD 1945 = UUD Bangsa Asing? Akankah Indonesia Raya menjadi dongeng sebelum tidur?.

Amanat Presiden Soekarno pada HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1961 telah terbukti: Disebutkan sbb: Ada kalanya warisan pemikiran dan warisan sosial dari nenek moyang kita tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.Tetapi tidak mengapa. Apa yang harus kita kesampingkan, kesampungkanlah. Dan apa yang kita perbaiki, robahlah menurur syaratnya zaman.

Tetapi yang paling berbahaya adalah, anggapan segala yang asli Indonesia sudah lapuk dan tidak lagi. Sikap demikian ini berbahaya, karena menyebabkan kita nanti hidup di atas kekosongan, hidup tanpa landasan nasional, hidup ontworteld, tanpa akar. Hidup uprooted from our origin, hidup klenjang-klenjang gumantung tanpa cantelan.

Bangsa yang demikian tidak hanya kehilangan dasar yang sehat untuk tumbuh, tanpa bumi, tanpa sumber. Akan tetapi lebih dari itu, dia mau tak mau besok pagi atau besok lusa niscaya akan menjadi permainan dan ajang kelananya kekuatan- kekuatan asing. Baik di lapangan politis, ekonomi, sosial maupun kebudayaan.

Bangsa yang demikian itu di segala lapangan tidak punya roman muka sendiri. Roman mukanya bukan satu cerminan daripada isi sendiri tetapi satu ringisan dari asing. (Soekarno, 1965 446-447: Dibawah Bendera Revolusi).

UUD 45 asli yang kemudian diubah menjadi UUD 2002, merupakan hasil amandemen yang dilakukan anggota MPR tanpa memperoleh mandat dari rakyat. UUD yang semula dibuat oleh badan konstituante, diamandemen oleh MPR tanpa mandat dari rakyat, karena parpol-parpol sebelum pemilu tidak ada yang mengusulkan perubahan UUD 1945.

Tetapi setelah MPR terbentuk, tanpa mandat dari rakyat tiba-tiba mereka mengubah UUD 1945. Di MPR sendiri banyak anggota majelis yang menentang adanya amandemen tersebut, tercatat sekitar 207 dari 500 anggota Majelis. Kalau memang mau mengubah UUD 1945, amandemen mestinya dilakukan berdasarkan mandat rakyat melalui hasil referendum.

Usulan amandemen tersebut seharusnya diajukan kepada seluruh anggota MPR dengan beberapa persyaratan. “Menurut pasal 37 ayat 2 UUD 45, usulan amandemen itu harus diajukan kepada anggota MPR dan disetujui minimal sepertiga anggota MPR, kemudian harus dijelaskan alasan-alasan kenapa minta amandemen dan alternatif redaksi amandemen

Untuk mengamandemen kelima UUD 1945 menurut harus didahulu dengan pembahasan yang mendalam dan komperhensif. Dan isinya tidak menyimpang dari jiwa aslinya, melainkan justru makin bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat , UUD 1945 amandemen jelas bertentangan dengan idealisme, bentuk dan struktur Pembukaan UUD 1945, yang merupakan roh dari UUD itu sendiri. “Jadi, UUD 1945 amandemen jelas kebablasan.”

Dalam kenyataannya sekarang, amandemen UUD 45 merujuk pada praktek-praktek yang merugikan rakyat, yang tidak menempatkan rakyat pada obyek pembangunan, seperti yang dikehendaki oleh jiwa UUD 1945. Disini yang patut kita pertanyakan kemungkinan adanya skenario asing, termasuk LSM-LSM asing dan lokal yang menunggangi di balik amandemen UUD

Kondisi bangsa yang sedang carut marut ini, titik mulanya disebabkan oleh amandemen UUD 45 yang dipaksakan, padahal itu merupakan jantung dari sebuah ideologi bangsa, jika itu di rubah, bangsa ini kehilangan semangat dan ruh nasionalisme. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan politik Indonesia sekarang ini.

Meskipun demikian, Amandemen boleh-boleh saja di rubah tapi bukan di batang tubuh, tapi di aturan peralihan saja, karena ruh UUD ’45 ada di pembukaan dan batang tubuh. “Tetapi ketika itu (zaman MPR di ketuai Amin Rais) langsung menyetujui Amandemen tanpa melalui persetujuan rakyat

Amandemen UUD’45 yang telah dilakukan empat kali ternyata mengundang Pro-Kontra. Terdapat dua kelompok yang saling bertentangan yaitu kelompok pro, yang setuju dilanjutkan proses amandemen dan kelompok kontra yang meminta agar amandemen dibatalkan. Selain terjadi diluar MPR, pro-kontra tersebut juga muncul dalam MPR sendiri.

Sekitar 200 anggota MPR disebut-sebut menolak lanjutan amendemen karena menilai proses amandemen sudah kebablasan. Anggota-anggota MPR yang menolak lanjutan amendemen itu antara lain Amin Aryoso, Abdul Madjid, Hartarti Murdaya, dan lain-lain. Amin Aryoso, mantan Ketua Komisi II DPR menganggap proses amendemen konstitusi yang dilakukan MPR sekarang ini bukan lagi reformasi melainkan sudah berupa revolusi.

Di pihak lain, Wakil Ketua PAH I BP MPR, Slamet Effendi Yusuf yang juga Ketua Golkar, menyebut kelompok yang kontra amendemen UUD 1945 sebagai kelompok salah paham dan kelompok berpaham salah. Menurut Slamet, kelompok yang salah paham menganggap perubahan pasal 1 ayat 2 UUD 1945 secara otomatis menghilangkan lembaga MPR. Sementara kelompok yang berpaham salah mengira UUD 1945 adalah warisan Bung Karno yang harus dilestarikan. Mereka yang berpaham seperti itu adalah ahistoris yang melupakan perkembangan masyarakat yang berkembang menurut zamannya.

Dalam suatu diskusi di Gedung DPR Jakarta, Jumat(12/4), sejarawan Dr Anhar Gonggong menganggap anggota MPR yang menolak amendemen UUD’45 sebagai kelompok anti demokrasi. Sementara itu, Koordinator Badan Pekerja Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Firmansyah Arifin mengatakan penolakan amendemen keempat UUD’45 merupakan bagian dari skenario politik menghadapi Pemilu 2004.

Yang bisa ditangkap dari fenomena ini adalah ketidak konsistenan anggota MPR sendiri. Mereka sudah bersepakat untuk mengamandemen UUD 1945, setelah empat kali berproses, ternyata mereka sendiri menolak dan meminta penghentian proses amandemen tersebut. Tuduhan Firmansyah Arifin yang menganggap bahwa penolakan ini erat kaitannya dengan skenario politik menghadapi Pemilu 2004 cukup beralasan / rasional. Pihak yang menilai dengan berubahnya pasal-pasal UUD’45 akan merugikan kelompoknya dalam Pemilu nanti, tentu akan berusaha untuk menggagalkan amandemen tersebut.

Dalam deklarasinya, para kelompok yang menolak ini menyatakan, amandemen UUD 1945 membuat Indonesia kehilangan ideologi, tidak memiliki Garis Garis Besar Haluan Negara yang menjadi arah pembangunan. Selain itu, struktur ketatanegaraan dan sistem politik, ekonomi, dan sosial budaya telah beralih menuju liberalisme dan kapitalisme yang makin jauh dari cita-cita pendiri bangsa.

Amandemen UUD 45 tidak harus dimaknai sebagai sesuatu yang merusak, ia akan menjadi relevan jika mengikuti perkembangan jaman. Kita tidak berkepentingan apakah perlu atau tidak UUD 45 diamandemen, kepentingan kita adalah bagaimana nasib rakyat Indonesia selanjutnya.

Sumber: rofiana01.blogspot.co.id. Sabtu, 13 Juni 2009.