Keanehan Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

Persoalan bangsa kita bukan semata pada “kualitas” figur pemimpin atau presiden tapi ada masalah berat pada sistem ketatanegaraan yang tengah dijalankan saat ini. Ibarat mobil, sebagus apapun sopirnya jika sistem permesinan mobil dimaksud bermasalah makan tetap akan membahayakan. Kondisi bangsa kita saat ini kurang lebih demikian. Karenanya, ideal jika mobil tersebut memiliki sopir dan ‘tim montir’ agar mampu membenahi sistem mobil yang bermasalah. Atau kita membutuhkan sopir merangkap montir dan tentunya langka sekali tipikal demikian.

Realitasnya sekarang sistem ketatanegaraan kita sekali lagi ibarat mobil tidak jelas mana fungsi rem, mana fungsi kopling dan mana fungsi  gas. Sudah kacau dan  tidak jelas,  sehingga sopir sering salah pegang dan salah kendali. Seriusnya masalah sistem ketatanegaraan kita sangat mempengaruhi output sebagai bangsa dan tentunya mempengaruhi kinerja presiden.

Di era 1960an, sebagai bangsa kita sejajar dan terhormat dengan semua bangsa di Asia Timur. Tapi sekarang dengan Malaysia yang notabene “murid” kita saja, bangsa ini sudah ketinggalan dalam banyak hal.

Indikasi Yang Aneh

Setelah amandemen UUD 1945 tidak dikenal lagi Lembaga Tertinggi Negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Semua menjadi Lembaga Tinggi Negara. Praktis Lembaga Tinggi Negara seperti lembaga Kepresidenan, Mahkamah Agung (MA) ,Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Rakyat DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi, dan lainnya menjadi “kerajaan” masing-masing. Egosentrisme lembaga mengental.

MPR sebagai tempat bermusyawarah mufakat tertinggi sesuai nilai budaya Indonesia hilang digantikan dengan nilai “voting wanipiro”. MPR sebagai tempat mempertanggungjawabkan tugas di masa akhir jabatan pemimpin lembaga tinggi negara lainnnya tidak diperlukan. Rakyat tidak tahu apa kerja mereka, tahu-tahu bubar jalan. Presiden yang memimpin 250 juta rakyat cukup di-SK-kan oleh KPU yang beranggotakan 7 orang yang entah apa kapasitas dan track record-nya. Selesai bertugas, Presiden tidak merasa  perlu pamit secara terhormat di depan MPR.

Sistem ketatanegaraan seperti ini hemat kami tidak membangun rasa bertanggung jawab. Mau berhasil atau gagal, tidak ada reward dan punishment.Tidak ada yang perlu dirisaukan. Malah bisa ikut Pemilihan Presiden (Pilpres) atau kontes lagi. Seiring terdegradasinya fungsi MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara seiring itu pula negara kehilangan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sehingga negara tak menjabarkan pesan konstitusi yang strategis yang bervisi jauh untuk membangun bangsa. Tanpa lembaga tertinggi negara tersebut semua lembaga tinggi negara lainnya menjadi “kerajaan” masing-masing dan kalau ada masalah di antara mereka maka mereka saling mengunci. Dampaknya, banyak masalah bangsa berpotensi “meledak” dan mungkin diselesaikan dengan hukum rimba atau masalah itu membusuk ditelan waktu seperti skandal BLBI, skandal Century, Hambalang, konflik KPK-Polri dan lainnya. Musyawarah mufakat dianggap kuno dan kurang demokratis. MPR kini bagaikan macan ompong dan hanya mengurus “proyek pilar” tanpa aura sebagaimana layaknya lembaga negara yang dihormati dan disegani.

Sudah belasan tahun kita punya Lembaga Tinggi Negara seperti DPD. Bukan salah anggotanya mereka tidak berfungsi optimal tetapi sistemnya yang tidak jelas sehingga praktis kita (baca: negara) mengeluarkan biaya untuk tugas simbolik dan pressure group seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) saja.

Pada saat Pemilu Legislatif, semua calon legislatif (caleg) bernyanyi tinggi gunung seribu janji karena memang lidah tak bertulang. Mereka dipilih langsung oleh rakyat. Sampai di Senayan yang dominan diperjuangkan adalah suara partai karena distel oleh lembaga Fraksi. Partainya disetel oleh pemilik modal. Karenanya kami pernah tulis “Demokrasi Kita: Dari Rakyat Untuk Konglomerat”.

Tak ada yang salah dengan kader partai dan caleg tapi lagi-lagi sistemnya. Lebih gila lagi mereka yang dipilih dengan biaya mahal menjadi wakil rakyat, bisa digusur dari Senayan oleh partai apabila pimpinan partai merasa terganggu kepentingannya. Tentu saja semua situasi tersebut mempengaruhi output DPR yang berkaitan dengan fungsi pengawasan, legislasi dan anggaran. Pada akhirnya, kondisi ini sangat merugikan rakyat, bangsa dan negara secara keseluruhan sebagai sebuah sistem.

DPR punya kewenangan lain yaitu melakukan fit and proper test terhadap calon Hakim Agung, calon Gubernur Bank Indonesia (BI), calon Kepala Polri, calon Panglima TNI, calon dubes, calon pimpinan KPK dan lainnya. Anehnya, rekruitmen calon anggota DPR saja oleh partai politik masih dipertanyakan kualitasnya. Tiba-tiba mereka menjadi “penguji” untuk jabatan-jabatan strategis negara. Sehingga yang terjadi adalah ‘sandiwara’ yang dibiayai negara. Tak ada yang salah dengan anggota DPR, tapi sitem kita yang aneh dimana untuk keanehan itu negara harus membayar.

Secara teoritis Presiden butuh grip (genggaman) yang kuat ke provinsi dan daerah dalam kerangka negara kesatuan dan  untuk menyukseskan program yang disampaikan saat kampanye. Namun oleh sistem otonomi dan demokrasi liberal, Presiden bisa berbeda partai dengan Gubernur, Bupati dan atau Walikota. Dalam banyak kasus kadang Gubernur atau Bupati lebih loyal kepada Ketua Partai daripada kepada Presiden. Bahkan seorang Bupati sering mengabaikan arahan Gubernur. Tidak tegas lagi rantai komando kepemimpinan. Lembaga  Kepresidenan menjelma menjadi lembaga yang bisa melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-Undang (UU) tanpa bisa diberi hukuman oleh MPR. Contohnya seperti terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), keputusan MK tentang pembubaran BP Migas tidak dipedulikan dan justru membentuk lembaga baru bernama SKK Migas yang persis dengan BP Migas. Begitu juga  keputusan MK tentang Sumber Daya Air yang tidak boleh diprivatisasi ternyata tidak dipedulikan oleh Presiden Joko Widodo. Dan untuk kasus ini pakar hukum tata negara  pun bungkam.

KPK dibentuk oleh DPR dan Presiden  dengan UU. Pada saat UU mau diperbaiki, terkesan KPK “melawan” dengan berbagai cara lewat LSM yang mereka bina. Bahkan pernah mempermalukan Presiden, ketika Presiden mengajukan calon Kapolri. Bagaimana bisa menjadi Presiden efektif kalau situasinya seperti itu. Lagi-lagi ini masalah ke-sistem-an.

MK dipilih oleh DPR dan disahkan dengan SK Presiden. Tapi 9 orang itu bisa membatalkan UU yang disahkan 560 orang anggota DPR dan disetujui Presiden. Ketika keputusannya tidak dijalankan oleh Presiden, MK tidak berdaya dan bungkam.  Sebuah Lembaga Tinggi Negara sering di-rumor-kan sebagai tempat sarang mafia hukum.Namun tak ada cara untuk membersihkan dan kita hanya mampu berbisik dan terus berbisik tentang mafia tersebut. BPK sebagai lembaga tinggi negara terhormat tapi bisa dihina oleh seorang Gubernur yang tidak mau terima hasil kerja BPK. Dan BPK seperti tak berdaya hadapi pembangkangan itu.

Indikasi Kegagalan Sistem

Banyak orang orang pintar dan baik tetapi tidak terserap oleh sistem ketatanegaraan kita. Tapi banyak orang yang biasa-biasa saja bahkan bermasalah bisa mendapat posisi menentukan. Salah satu sebabnya karena ada yang kurang baik dalam sistem kepartaian (sistem pendanaan, kaderisasi, rekruitmen, promosi). Sistem yang baik mestinya mendayagunakan secara optimal SDM terbaiknya di tempat yang cocok dan terhormat.

Sejak LoI (Letter of Intens) ditandatangani hingga lahir lebih kurang ratusan UU yang diarahkan asing (Bank Dunia dkk), Indonesia praktis tidak berdaulat lagi dalam SDA, perbankan, tanah, Air, retail dan lainnya. Ambil contoh perbankan, kalau Pemerintah mau membangun proyek besar, sementara bank-bank dikuasai asing, apa mungkin bisa dapat supporting dana. Padahal bank asing kerjanya menyedot sumber daya keuangan rakyat Indonesia bagaikan vacum cleaner menyedot debu. Seratus disedot paling banyak 15 yang diputar di Indonesia lagi. Selebihnya diputar di negeri yang lebih menguntungkan. Sehingga pembangunan bangsa diatur dengan mekanisme investasi. Padahal uang investasi itu dikuras dari obral SDA Indonesia sendiri.

Sekedar informasi, sistem ekonomi Neoliberal merusak sistem politik negara berdaulat. Mekanisme dan institusi demokrasi, seperti pemilihan umum, lembaga perwakilan rakyat dan partai politik, dimanipulasi sedemikian rupa sekedar sebagai alat menciptakan konsensus dengan rakyat. Sementara proses pengambilan keputusan politik secara real diambil alih oleh institusi-institusi global yang tidak pernah mendapat mandat rakyat, seperti IMF, Bank Dunia, WTO, dan lain-lain.

Kalau kami bertanya apakah bergabungnya Indonesia ke Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atas persetujuan rakyat? Pasti jawabannya bingung. Sejak kapan rakyat ditanya. Dalam kampanye Pemilupun tak ada caleg yang bertanya. Tahu-tahu rakyat di-cemplungin saja oleh pemimpinnya yang sudah menjadi antek neoliberal.

Cita-cita pendiri negara kita dengan dicapainya kemerdekaan antara lain untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan  bagi semua rakyat. Setelah 70 tahun kemerdekaan, cita-cita tersebut bukannya makin mendekat tapi malah makin menjauh dan meredup. Separuh penduduk Indonesia masih hidup dengan pendapatan di bawah  2 USD/hari/kapita. Segelintir manusia hidup dengan kemakmuran luar biasa. Ada 40-an orang punya kekayaan lebih dari Rp 1000 triliun. Era Soeharto indeks gini atau indeks kesenjangan lebih kurang 0,33 sekarang malah menjadi 0,43. Artinya kesenjangan yang ada ini sudah sangat rawan. Ini sebuah ironi dan tragedi ditengah melimpahnya kekayaan alam Indonesia.

Ada yang sering dikesampingkan oleh politisi dan ahli ekonomi karena dihantui tuduhan rasialis bahwa sesungguhnya dari berbagai catatan sejarah salah satu tujuan kemerdekaan itu adalah untuk mengangkat derajat kaum pribumi (bumi putera) karena nasib mereka yang dianiaya oleh penjajahan Belanda dengan menempatkan mereka sebagai warganegara kelas tiga di negerinya sendiri. Ini bukan soal rasialisme tapi ini menyangkut keadilan politik dan keadilan ekonomi bagi mereka. Namun apa yang terjadi nasib kaum pribumi tetaplah menjadi kelas tiga secara ekonomi meskipun sudah 70 tahun merdeka.

Apakah realitas itu hanya kesalahan kebijakan penguasa? Atau semata karena penyimpangan dalam penegakan aturan main? Saya kira bukan semata karena masalah masalah tersebut. Henry Veltemeyer pernah menyatakan, “Proses akumulasi kekayaan disatu sisi,  penghisapan serta pemiskinan disisi lain, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu desain kebijakan politik-ekonomi yang kini kita kenal sebagai neoliberalisme dan globalisasi kapitalis”. Jadi ada masalah-masalah mendasar berkaitan dengan faham dan sistem dalam kita melaksanakan amanat Konstitusi Proklamasi 1945 khususnya dalam bidang ekonomi. Kalau memang jalan, faham dan sistem yang kita pilih on the track maka seharusnya pemerataan kesejahteraan dan keadilan ini makin mendekat. Bukannya makin menjauh dan meredup, menjadikan mayoritas rakyat kehilangan harapan. Problem dan kontradilksi ini harusnya menjadi agenda utama kalau Trisakti mau dilaksanakan oleh penguasa baru secara konsekuen dan konsisten.

Makin banyak orang yang dipenjarakan makin meningkat jenis, kuantitas dan kualitas kejahatan di tingkat bawah maupun yang dilakukan elit (korupsi dan kejahatan krah putih). Secara teori mestinya  makin banyak yang masuk penjara  makin banyak yang  takut  berbuat jahat. Bagaimana menjelaskan realitas demikian? Ini sesuatu yang kompleks untuk dirinci dalam ruang terbatas ini. Secara sederhana kita bisa simpulkan telah terjadi kerusakan dalam sistem nilai karena ada yang keliru dalam pendidikan (termasuk pendidikan agama), kesalahan dalam sistem hukum dan penegakannya, sistem budaya dan lainnya sehingga outputnya menghasilkan manusia-manusia yang kehilangan kemanusiaannya.

Di negara yang relatif  sehat sistemnya,  ekonomi tumbuh dari hasil kerja keras rakyatnya secara produktif karena pertanian, pariwisata, industri dan lainnya tumbuh sehat. Misalnya di Korea Selatan, Jepang, China, Malaysia dan Thailand. Mayoritas rakyatnya makan dari keringat mereka sendiri secara benar-benar. Mereka tumbuh -memakai istilah (alm) Prof. Dr. Hartojo Wignyowijoto- dari ekonomi front office. Namun di Indonesia diduga sebagian rakyatnya hidup dari korupsi dan  perputaran uang korupsi (terutama saat Pileg, Pilpres, Pilkada dan Pilkades dimana banyak uang gelap berputar), sebagian hidup dari percikan jual beli narkoba, sebagian dari jual beli manusia (prostitusi dan TKW), sebagian dari uang penyelundupan, perjudian dan premanisme yang oleh Prof. Dr. Hartojo Wignyowijoto disebut sebagai ekonomi back office. Kita tidak tahu seberapa besar ekonomi back office ini menopang ekonomi Indonesia. Baru-baru ini sebuah lembaga menyiarkan uang gelap berputar di Indonesia terus meningkat. Tahun 2014 saja sekitar Rp 250 triliun. Ini menjelaskan bagaimana orang yang tidak kerja keras tapi bisa hidup makmur. Yang jelas makin besar sumbangan ekonomi back office berarti makin besar kerusakan moral dan kerusakan sistem dalam masyarakat Indonesia.

Kalau ditulis semua tentang keanehan-keanehan dan masalah sistem ketatanegaraan pasca reformasi ini pasti tidak cukup 50 halaman.  Tidak tahu apakah para Profesor perancang amandemen UUD 1945 menyadari atau tidak fakta-fakta ini. Kami  sudah mencoba mengumpulkan ahli-ahli tatanegara untuk mendiskusikan dan mencari solusi atas problem sistem konstitusi ini tetapi mengundang mereka itu bagaikan mengangkat batu besar ke atas bukit. Hanya sedikit Profesor tata negara  yang rendah hati dalam urusan ini.  Problem konstitusi berat ini mengganjal kinerja Presiden siapapun Presidennya, sehebat apapun Presiden itu. Inilah agenda prioritas kita kalau Indonesia sungguh mau berubah.

Catatan Penutup

Atas realitas tersebut maka menjadi jelas kita sudah tersesat  dalam menerapkan sistem kenegaraan kita sehingga menjadi  kebutuhan mendesak untuk kembali ke jati diri dan cita cita pendiri bangsa yakni dengan menempatkan Pancasila dan UUD 1945 proklamasi sebagai landasan dan arah perjuangan bangsa demi tegaknya NKRI.

Pengalaman kita berkonstitusi dengan UUD 1945 telah kita jalani sejak 1945 s/d 1950, terputus selama lebih kurang 10 tahun karena menggunakan UUD Sementara 1950, lalu kita kembali lagi UUD 1945 sebagai hasil Dekrit Presiden tahun 1959. Selama lebih kurang 6 tahun kita merasakan praktek UUD 1945 “rasa Soekarno” . Meskipun mendapat kritik dari Bung Hatta dan Liga Demokrasi , Soekarno jalan terus. Dan hasilnya Soekarno dijatuhkan oleh  konspirasi besar dan sejak itu Indonesia mulai dalam kendali kapitalisme global.

Soeharto mencoba memberi tafsiran atas praktek kekuasaannya dengan label UUD 1945 dan Pancasila. Oleh rekan sesama angkatan 45-nya seperti Nasution dan Ali Sadikin dkk , Soeharto dikritik melakukan penyimpangan atas UUD 1945 dan Pancasila. Seiring kejatuhan Soeharto maka kelompok-kelompok yang merasa terdidik dan mengerti hukum tata negara seperti Adnan Buyung, Jimly dan lainnya memelopori Amandemen UUD 1945 dengan support dana dan ahli dari asing. Hasilnya? Sekarang kita rasakan 17 tahun Reformasi Indonesia makin tidak karuan.

Jika di era Soekarno kapitalisme bermain di halaman rumah kita, di era Soeharto kapitalisme masuk ke ruang tamu rumah kita, maka di era Reformasi kapitalisme masuk sampai dapur dan ruang tidur kita. Bahkan mendikte kita dalam soal politik, ekonomi dan aspek lainnya sehingga sebagai bangsa kita sudah tidak berdaulat lagi.

Praktek dan pengalaman kita ber UUD 1945 penuh suka duka, penuh dialektika tetapi kita tidak boleh kehilangan harapan untuk terus berbenah sehingga pada suatu saat kita menemukan cara dan rumus yang pas kita ber-UUD 1945 tanpa kehilangan ruh dan jiwa dari apa yang tertera dalam Preambule UUD 1945 yang merupakan hasil perjuangan dan perenungan yang panjang para pendiri bangsa.

Tidak mudah mewacanakan UUD 1945. Beberapa pemikiran berkembang dimana ada 2 garis besar pemikiran dengan variannya masing-masing. Pertama, pemikiran yang seuju kembali ke UUD 1945 dengan varian tanpa ada kompromi; dengan sedikit penyempurnaan dan amandemen dengan dasar UUD 1945 asli yang artinya amandemen 1 hingga 4 dianggap tidak ada.

Kedua, pemikiran yang tidak setuju kembali dengan varian UUD 1945 sudah bagus tapi konsep penyempurnaannya dulu disiapkan; melanjutkan amandemen ke-5 dengan dasar sebagai kelanjutan amandemen 2002; dan sama sekali tidak setuju kembali ke UUD 1945 yang asli karena hasil amandemen sudah dianggap bagus tinggal perbaikan pelaksanaannya saja yang perlu dilakukan.

Oleh karena konstitusi bukan semata mata masalah aturan bernegara tetapi juga strategi dan arah perjuangan negara, maka kita semua berkepentingan untuk membahasnya bukan ekslusif menjadi urusan ahli hukum tata negara. Mari kita berkonsolidasi berjuang bersama ke arah itu.

M. Hatta Taliwang
Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH)
Sumber: cakrawarta.com