Di sela-sela waktu rehat Pertemuan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) se-Eropa, yang diselenggarakan 22-24 Juni lalu di aula KBRI Den Haag, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada (UGM) Revrisond Baswir berbicara banyak tentang kondisi struktur perekonomian Indonesia yang menurutnya, banyak dikungkung Undang-undang pesanan kaum neokolonial yang kini bekerja dalam wujud kartel. Baik itu berupa G7, G8, World Bank, IMF, hingga Asian Development Bank. Celakanya, Indonesia tak punya pilihan lain kecuali manut. Berikut petikan wawancaranya dengan koresponden Rakyat Merdeka di Belanda A Supardi Adiwidjaya.
Bagaimana struktur ekonomi Indonesia sekarang ini?
Dalam menelaah perkembangan pemikiran terakhir, saya mencoba melihat apakah yang terjadi sebenarnya di Indonesia dari 1945 sampai sekarang. Menurut pendapat saya, merdeka itu tidak cukup hanya dengan statement, dengan proklamasi. Kolonialisme yang berlangsung tiga setengah abad itu pasti meninggalkan bekas, yakni struktur ekonomi yang berwatak kolonial. Itu bisa dilihat baik dari segi strata sosial, segi geopolitik, maupun dilihat dari segi penguasaan kapital dan sebagainya.
Jadi yang namanya proklamasi kemerdekaan itu jika dikaitkan ke ekonomi, agenda terpentingnya adalah mengoreksi struktur ekonomi yang berwatak kolonial itu. Founding fathers merumuskannya dengan bahasa sederhana, bahwa dalam mengoreksi struktur ekonomi yang berwatak kolonial itu, kita perlu melakukan demokratisasi.
Jawaban kita terhadap struktur ekonomi kolonial itu adalah demokratisasi ekonomi. Baik dalam bentuk penguasaan akses-akses produksi, pengembangan koperasi, termasuk juga penanggulangan kemiskinan, peluang kerja. Saya melihat persoalan demokrasi ekonomi itu bagi Indonesia, terutama bukan persoalan ideologis. Persoalannya sangat historis dan imperikal. Ibarat mengalami kecelakaan, mendapat cacat gara-gara kecelakaan itu. Struktur ekonomi kita ini adalah struktur yang berwatak kolonial itu, yang ditinggalkan kolonialisme. Dan Indonesia merdeka agendanya harus mengoreksi itu.
Lalu bagaimana Indonesia masa depan?
Saya mengajak, karena kita ini sudah 62 tahun sejak proklamasi, pertama, ingin saya ajak adalah nomor satu, coba deh pikirkan Indonesia masa depan itu dengan mematok tahun 2045. Jadi 100 tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Lalu kita lihat selama 62 tahun ini kita sudah mengisi kemerdekaan atau belum. Atau apa yang harus lagi dilakukan dalam sisa 38 tahun berikutnya, dengan target Indonesia dalam tahun 2045 harus merdeka 100%. Jadi tidak hanya politik tapi juga merdeka dalam bidang ekonomi.
Ini sebenarnya yang ingin saya ajak teman-teman pelajar atau mahasiswa-mahasiswa ini. Bagaimana punya visi, Indonesia yang tahun 2045, yang secara ekonomi juga merdeka. Misalnya itu bisa diterjemahkan, merdeka itu apa sih praktisnya, misalnya, Indonesia yang bebas dari utang luar negeri pada tahun 2045 itu. Ini contoh sederhana secara internasional. Ekonomi dalam negeri, Indonesia yang bebas dari kemiskinan, pengangguran, juga termasuk misalnya hal-hal lain, seperti hubungan keuangan pusat dan daerah. Jadi saya membayangkan contoh sederhana, misalnya, dalam konteks kewilayahan. Kita pergi ke Amerika Serikat, Washington di situ kota kecil, kota besarnya New York , California. Kita pergi ke Australia, Canberra kota kecil. Kotanya yang besar Perth, Melbourne dan lain-lain.
Saya bayangkan Indonesia di tahun 2045 itu nggak bisa terus menerus mempertahankan kota Jakarta sebagai satu-satunya kota besar. Indonesia itu terlalu luas. Dari sejarah terbaru yang saya pelajari, ternyata Jakarta atau Batavia itu baru mem-by pass Surabaya baru setelah tahun 1939. Jadi saya bayangkan, sebenarnya masih ada waktu bagi kita 2045, Indonesia itu punya kota besar yang sebesar Batavia itu di Makassar, di Medan atau di tempat-tempat lain.
Bukankah Bung Karno sudah pernah memikirkan memindahkan ibukota RI ke Palangkaraya?
Itu dia. Apa yang saya katakan itu kan bukan soal baru. Inilah contoh keberadaan Batavia sebagai satu-satunya kota besar, ini adalah satu warisan kolonialisme yang belum dikoreksi. Bung Karno sudah ingin mengoreksi hal itu dengan memindahkan ibukota RI itu ke Palangkaraya, Kalimantan. Tapi okelah. Sekarang kita Indonesia sudah tahun 2007, kita ingin bicara Indonesia tahun 2045, saya bayangkan bagaimana menggeser aktivitas ekonomi keluar dari Jakarta, sehingga ada kota-kota besar baru di Kalimantan, di Sulawesi, di Sumatra, di Lombok, di Papua.
Sebenarnya sistem ekonomi apa sih yang ingin kita bangun di Indonesia ini?
Kalau saya kembali ke cita-cita founding fathers ya, melihat konstitusi, kita itu kan ingin melaksanakan demokrasi ekonomi. Tetapi kalau di-revers (diputar) ke sejarahnya ke belakang, saya kira tidak ada seorang pun yang bisa membantah, bahwa Bung Karno sebagai seorang marhaenis adalah seorang sosialis.
Bung Hatta, saya kira, seorang sosialis. Syahrir – seorang sosialis. Jadi dengan demikian UUD 1945 kita itu jelas, walau tidak menyebut kata-kata sosialisme, tapi dengan demokrasi ekonomi itu, dengan kalimat misalnya di ayat 2 pasal 33: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” itu jelas wataknya sangat sosialistik.–Jadi saya kira sebenarnya itu nothing wrong. Jadi saya bayangkan Indonesia tahun 2045 itu, ya Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Kira-kira begitulah. Dengan satu institusi yang berwatak demokratis itu.
Berbicara tentang konstitusi, dengan adanya empat kali amandemen atas UUD 1945, bagaimana pandangan anda mengenai hal itu?
Jadi memang begini, tentu pertama yang harus kita lihat adalah bahwa semua proses itu adalah merupakan bagian tidak terpisahkan upaya sistematis yang secara berangsur dilakukan oleh pihak kolonial.
Mereka tidak hanya menjerat Indonesia dengan KMB (Konferensi Meja Bundar), tidak hanya menjerat Indonesia dengan utang. Tetapi bahkan mereka juga ingin melakukan amandemen terhadap konstitusi. Nah, tapi kalau kita lihat apa yang terjadi ketika amandemen toh akhirnya terjadi, memang penjelasan dihilangkan. Hanya ayat 1, 2 dan 3 masih tetap seperti sediakala.
Jadi kalau bicara konstitusi ekonomi, ya tetap, yakni “perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas-azas kekeluargaan”: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Itu masih tetap seperti sediakala. Lalu, tinggal bagaimana itu harus ditafsirkan. Tetapi ayat 2 pasal 33 masih ada di situ.
Jadi persoalannya sekarang kemudian adalah, karena semuanya kan tidak statis, saya kira pihak-pihak yang ingin merombak itu akan terus juga bekerja. Jadi persoalannya di sini perlu juga adanya counter (aksi tandingan) untuk terus menerus mengawal bagaimana amanat konstitusi, cita-cita proklamasi itu diterjemahkan ke dalam produk-produk perundangan-undangan: undang-undang penanaman modal, undang-undang keuangan negara, undang-undangan mengenai hubungan pusat dan daerah, dan lain-lain. Proses ini harus terus menerus dikawal untuk mewujudkan Indonesia 2045 itu.
Dengan disyahkannya Undang-Undang Penanaman Modal, ada yang menilai Indonesia itu sudah dijual, atau paling tidak sudah dikuasi kepentingan pihak asing. Pandangan Anda mengenai UUPM tersebut?
Nah itu dia. Memang, bukan hanya UUPM, tetapi sudah terlampau banyak undang-undang terutama sejak “era reformasi” (dalam tanda petik) ini, yang dibuat sesuai dengan pesanan kaum kolonial, tepatnya kaum neokolonial.
Kaum neokolonial itu sekarang, kalau kita bicara satu persatu bisa disederhanakan. Itu dalam bahasa Bung Karno dulu disebut imperialisme internasional. Jadi pihak kolonial itu sekarang tidak bekerja sendiri-sendiri lagi, tetapi mereka membentuk kartel.
Mungkin dalam bahasa yang sederhana sekarang ini misalnya ya, G7, G8. Tetapi mereka bekerja melalui institusi yang namanya World Bank, IMF, Asian Development Bank. Undang-undang kita itu kebanyakan mereka itu yang membuat, misalnya Undang-undang Migas, di situ jelas peranan World Bank; Undang-undang BUMN di situ memain peranan Price Waterhouse Cooper, Undang-undang kelistrikan – di sini lagi-lagi ketemu peranan Asian Development Bank.–Nah, mereka-mereka itulah yang bermain.
Jadi yang saya lakukan selama ini, sampai hari ini adalah mencoba melakukan sosialisasi,–social movement (gerakan sosial), untuk meng-counter (menghadapi) itu. Dan satu persatu undang-undang itu kita bawa ke Mahkamah Konstitusi. Lalu di sini kita coba memperkarakan. Beberapa kali berhasil.
Kita bisa membatalkan Undang-undang Kelistrikan, kalau tidak salah pada awal Januari 2005. Seminggu kemudian kita bisa membatalkan beberapa pasal dalam UU Migas. Sekarang saya dan beberapa teman di Jakarta lagi membangun koalisi untuk mencoba membawa UUPM ini ke Mahkamah Konstitusi. Jadi porses ini yang terus menerus kita lakukan.
Sekarang ini kita dihadapkan pada berlakunya ekonomi pasar. Ekonomi Indonesia sekarang ini dipengaruhi sekali, atau bahkan dikuasai ekonomi neoliberal. Dalam menghadapi ini, bagaimana menurut Anda, apa yang bisa dilakukan? Sebenarnya Agenda itu bisa disebar. Kenapa? Seperti sudah saya katakan tadi, agenda-agenda neoliberal dalam bentuk undang-undang (kelistrikan, migas dan segala macam), misalnya kita hadapi dengan bekerjasama dengan teman-teman yang secara sektoral menjadi korban.
Misalnya, dalam menghadapi Undang-undang Kelistrikan, saya bekerja dengan teman-teman Serikat Pekerja PLN. Dengan mereka, ada sosialisasi, pencerahan, kemudian kita bawa ke Mahkamah Konstitusi agar dibatalkan. Kita juga bekerjasama dengan Serikat Pekerja Pertamina. Setelah ada sosialisasi, pencerahan mengenai UU Migas, kemudian kita bawa ke Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan.
Jadi yang bisa dilakukan, menurut saya, mencoba kembali melakukan gerakan sosial, melalui edukasi publik, terutama kepada victim (korban) masing-masing agenda ekonomi neoliberal itu. Tentu, kalau bisa lebih jauh lagi, kita akan masuk ke lembaga-lembaga yang sifatnya lebih politik. Misalnya, bagaimana melakukan kaderisasi partai politik yang mengerti apa itu neoliberalisme dengan segala konsekuensinya.
Sehingga nanti dari luar akan ada social movement (gerakan sosial), apakah itu NGO (LSM), apakah serikat pekerja, apakah itu mahasiswa. Tetapi di dalam parlemen itu ada partai-partai politik yang sudah mengerti agenda-agenda begini. Jadi saya kira, kerjanya, baik itu yang sifatnya ke akar rumput – gerakan sosial tadi, maupun kerja-kerja politik, bicara dengan parlemen, dengan partai-partai politik dan seterusnya. Dan tentu saja tidak bisa dalam waktu cepat, butuh waktu lama sekali.
Sumber: Rakyat Merdeka, Minggu, 15 Juli 2007.Foto: Refrison Baswir, republika.co.id.