Biaya Produksi Padi Indonesia Lebih Mahal 2,5 Kali Lipat dari Vietnam
Biaya produksi pertanian seperti padi, yang masih mahal menjadi ganjalan pemerintah dalam mencapai target lumbung pangan dunia di tahun 2024. Ongkos produksi padi di Indonesia misalnya masih cukup tinggi di Asia melampaui Vietnam, Thailand, Cina dan India.

Ketua umum kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun International Rice Research Institute (IRRI), ongkos produksi padi di Indonesia pada tahun 2016 – 2017 lebih mahal dibanding Thailand, Vietnam bahkan India dan Cina.

“Indonesia lebih mahal 2,5 kali lipat dibanding Vietnam,” kata Winarno saat seminar peningkatan produktivitas padi di PT Pupuk Kujang Cikampek, Kamis, 20 Juli 2017.

Winarno mengatakan, ongkos produksi padi di Indonesia mencapai Rp 4.079 per kilogram. Jauh melampaui Vietnam yang hanya Rp 1.619 per kilogram. Indonesia juga melampaui Thailand dengan Rp2.291 per kilogram, India Rp 2.306 per kilogram bahkan Cina Rp 3.661 per kilogram.

Meski pada 2017 pemerintah bisa menurunkan ongkos produksi padi hingga Rp 3.400 per kilogram, Winarno menilai hal itu belum bisa mensejahterakan petani.

“Bila dibandingkan dengan harga pokok penjualan padi yang mencapai Rp 3.700, tentu keuntungan petani sangat kecil. Hanya Rp 300 per kilogram,” kata Winarno.

Menurut Winarno, jika Indonesia tidak bisa menekan biaya produksi padi yang tinggi, pasar dalam negeri akan dimasuki produk negara lain. “Beras kita lebih mahal dari mereka sehingga prodak mereka banyak masuk ke kita. Beras Vietnam misalnya pernah membanjiri Indonesia secara legal bahkan ilegal,” kata Winarno.

Winarno mengatakan untuk melawan serbuan beras asing tersebut, petani Indonesia perlu bertani secara efektif dan meninggalkan cara tanam yang mahal.

Berdasarkan riset yang dilakukan KTNA, yang kerap membuat ongkos produksi padi di Indonesia mahal adalah cara penggunaan air sawah dan cara membasmi hama. Menurut Winarno petani Indonesia harus mulai meninggalkan kebiasaan menggenangi sawah secara berlebihan. Ia menyarankan para petani meniru sistem tanam di Jepang yang hanya menggunakan sedikit air di sawah.

“Menggenangi sawah dengan air itu biayanya mahal, apalagi di musim kemarau, ongkos pompa air merepotkan,” ungkap dia. “Padahal di Jepang tidak pernah sawah tergenang. Sawah di sini kelebihan air,” kata dia.

Hal lain yang membuat mahal adalah penggunaan bahan kimia untuk membasmi hama. Winarno menyarankan para petani menggunakan teknologi refogia untuk membasmi hama.

Refogia adalah menanami bunga berwarna – warni di pematang sawah. “Bunga – bunga itu akan menjadi tempat hidup predator alami hama. Serangga di bunga secara alami akan memakan hama padi,” kata dia.

Hisyam Luthfiana
Tempo.co. Kamis, 20 Juli 2017 17:38 WIB
Foto: allplantprotection.blogspot.com