Presiden Joko Widodo menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama dalam pemerintahannya. Berbagai upaya dilakukan untuk mensukseskan pembangunan infrastruktur.
Salah satu yang paling kentara, yakni mendesak perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terutama sektor konstruksi untuk ikut terlibat.
Sekadar mengingatkan, mungkin, masih segar di ingatan manajemen PT Adhi Karya (Persero) Tbk saat pemerintah memaksa perseroan memarkir dana dalam proyek Light Rail Transit (LRT) pada awal tahun ini.
Langkah itu diambil, karena isi dompet negara tidak mampu menopang pembiayaan LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) sepanjang 43 kilometer bernilai Rp27 triliun itu.
Menurut Pengamat BUMN Said Didu, seharusnya, pemerintahan Jokowi mendanai proyek menggunakan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) ketimbang memaksa BUMN.
"Sebenarnya tidak salah, tetapi akan menurunkan tingkat kesehatan dari bisnis BUMN itu sendiri," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/10).
Kalau tingkat kesehatan bisnis BUMN menurun, ia melanjutkan, bukan tak mungkin efek dominonya merembet. Misalnya, proyek pembangunan terancam molor dan arus kas perusahaan BUMN megap-megap.
Lihatlah, piutang usaha Adhi Karya yang meningkat pada semester I 2017 tercatat sebesar Rp1,16 triliun dengan pihak berelasi atau meningkat 20,5 persen dibandingkan akhir tahun lalu yang hanya Rp964,22 miliar.
Tak cuma itu, piutang usaha perusahaan konstruksi pelat merah ini dari pihak ketiga juga naik 2,57 persen. Posisi pada akhir tahun lalu sebesar Rp1,94 triliun menjadi Rp1,99 triliun pada semester I tahun ini.
Beruntung, pada Agustus lalu, pemerintah akhirnya mengurungkan niat ‘memaksa’ emiten berkode ADHI itu setelah melakukan beragam kajian.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Panjaitan bilang, sekitar 70 persen pendanaan proyek LRT akan diperoleh dari pinjaman perbankan yang dijamin oleh negara.
"Tapi, lihat dulu siapa yang memberikan pinjaman? Lagi-lagi bank BUMN juga kan," kata Said.
Memang, pembiayaan sindikasi ini mayoritas berasal dari bank BUMN, di antaranya, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Adapun untuk bank swasta terdiri dari PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), serta PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA).
Lebih lanjut Said mengungkapkan, proyek pemerintah lainnya yang juga bergantung pada BUMN, yakni pembangunan berbagai ruas jalan tol, mulai dari Trans Sumatra hingga Trans Jawa.
"Jadi, sebenarnya BUMN bukan lagi jadi sapi perah pemerintah, tapi sudah diperah, lalu ditunggangi pula," tutur Said.
Berbagai proyek jalan tol yang dilimpahkan kepada BUMN di era 3 tahun Jokowi ini mengharuskan perusahaan memutar otak untuk mendapatkan pembiayaan. Skema sekuritisasi aset pun ditempuh oleh operator jalan tol terbesar PT Jasa Marga Tbk (JSMR) demi mengantongi dana segar yang bisa digunakan untuk membangun ruas jalan tol lainnya.
"Saya melihat, ada langkah sistemik untuk mempersekusi BUMN secara radikal dan juga untuk mengkerdilkan BUMN," tegas dia.
Ia menyayangkan konsep memanfaatkan aset BUMN yang selama ini dianggap memberikan keuntungan kepada pemegang saham. Padahal, ia menilai, belum tentu ruas tol baru yang akan dibangun nantinya akan menguntungkan bagi perusahaan.
Bahkan, menurut Said, dampak negatif mulai dirasakan perusahaan-perusahaan pelat merah. Dari harga saham, misalnya. “Arus kas memburuk, piutang banyak. Publik juga tahu ini karena harga saham konstruksi juga anjlok kan,” tegas dia.
Berdasarkan catatan CNNIndonesia.com, harga saham PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) terkoreksi hingga 26,28 persen, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) turun 26,57 persen, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) merosot 26,66 persen, dan Adhi Karya stagnan di level Rp2.070 per saham.
Indikator lain yang menunjukkan bahwa pemerintah memanfaatkan BUMN untuk memuluskan proyek-proyek infrastrukturnya, yakni pembangunan pembangkit listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Mendesak BUMN Konstruksi Sukseskan Proyek Infrastruktur MBRGOPengamat BUMN Said Didu mengatakan, seharusnya, pendanaan proyek-proyek pemerintah menggunakan APBN ketimbang memaksa BUMN. (CNNIndonesia/Safir Makki).
Baru-baru ini, kekhawatiran Menteri Keuangan Sri Mulyani terhadap arus kas PLN yang tertuang dalam surat resmi terkuak. Dalam surat itu, Sri Mulyani mengaku khawatir perusahaan pelat merah tersebut tak mampu membayar utang jatuh temponya karena keterbatasan dana perseroan.
"Makanya, pemerintah harusnya memberikan penugasan itu sesuai dengan Undang-Undang BUMN pasal 66. Gunakan UU tersebut," imbuhnya.
Dalam UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN pada pasal 66 berbunyi, pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.
Kedua, setiap penugasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS/Menteri.
"Artinya, jika pemerintah memberikan penugasan dan ternyata tidak layak secara ekonomi, maka pemerintah wajib mengganti seluruh biaya dengan marjin yang layak," papar Said.
Penunjukan BUMN Tak Selalu Negatif
Menurut Said, bila BUMN terus dipaksa membangun proyek pemerintah dengan ekuitasnya yang tak seberapa, bukan tak mungkin perusahaan-perusahaan pelat merah gulung tikar.
"BUMN tidak bisa dieksploitasi. Dampaknya bisa ke kesehatan perusahaan. Kalau BUMN bangkrut siapa yang menghadapi asing masuk ke Indonesia?" tutur dia.
Berbeda dengan Said, Managing Director Lembaga Managemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Toto Pranoto menyebut, penugasan pemerintah bisa menjadi berkah bagi BUMN yang kreatif dalam mencari pembiayaan atau mengelola perusahaan.
"Misalnya saja, yang dikerjakan Waskita Karya yang fokus sama jalan tol, ada inovasi baru jadi tidak hanya andalkan pendanaan dari pemerintah, tapi juga sekarang menjadi investor," tutur dia.
Direktur Utama Waskita Karya M Choliq menerangkan, manajemen telah mengubah konsep bisnisnya sejak 2014 lalu dengan tidak hanya menjadi kontraktor, tetapi juga investor.
Dengan menjadi investor, tentu keuntungan yang diraih lebih tinggi. Pasalnya, perusahaan mendapatkan dua peran sekaligus untuk satu proyek, yakni investor dan kontraktor. Dengan kata lain, seolah-olah memiliki proyek sendiri.
Sementara itu, sambung Toto, pemerintah sebenarnya tidak melepas BUMN 100 persen dalam mencari pendanaan. Toh, beberapa skema, seperti sekuritisasi aset dan Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA) terus digalakkan.
"Jadi, pemerintah juga membantu mencarikan investor yang paling pas, misalnya rencana pembangunan bandara, cari siapa yang berminat," ucapnya.
Makanya, penugasan pemerintah perlu juga dilihat sebagai kesempatan perusahaan untuk lebih berkembang dari posisinya saat ini.
Hingga semester I 2017, Kementerian BUMN baru menyerap belanja modal (capital expenditure) sebesar Rp111 triliun dari total anggaran sebesar Rp470 triliun hingga akhir tahun 2017.
"Realisasi capex semester I 2017 sebesar 23,6 persen," kata Staf Khusus Menteri BUMN Devi Suradji.
Penyerapan itu terbagi dari beberapa sektor. Dalam hal ini, sektor listrik tercatat paling banyak yang menyerap capex sepanjang enam bulan pertama tahun ini, yaitu Rp32,4 triliun.
Sementara, sektor minyak bumi telah menghabiskan dana Rp19,8 triliun, jalan tol Rp15 triliun, dan telekomunikasi sebesar Rp13 triliun.
Dinda Audriene Mutmainah,
CNN Indonesia. Jumat, 20/10/2017