Gara-gara Gus Dur, Gus Mus Jadi Penyair

Siapa sangka ternyata kepiawaian Mustofa Bisri dalam merangkai kata-kata menjadi puisi dan melantunkannya dengan indah datang karena terpaksa.

Permintaan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang membuat Gus Mus sapaan akrabnya terpaksa dan tak enak hati menolaknya.

"Saya diminta Gus Dur untuk membaca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Padahal saya hanya orang desa dan santri sarungan yang tak mengerti sastra dan puisi kok diminta tampil di Ibu Kota," kata Gus Mus dikutip dari buku "Gus Dur Dalam Obrolan Gus Mus" karya Husein Muhammad (2015).

Saat itu, Gus Dur menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang akan menyelenggarakan acara Malam Solidaritas untuk Palestina.

Mustofa BisriKOMPAS.com/SABRINA ASRIL Mustofa Bisri
Acara itu diisi pembacaan puisi-puisi karya penyair mashur Palestina. Banyak penyair, sastrawan dan cendekiawan Indonesia kondang nan terkemuka yang ikut ambil bagian dalam acara itu seperti Taufik Ismail, Subagyo Sastrowardoyo, WS Rendra, Zamawi Imroan.

Sayangnya, dari sekian banyak tokoh itu, tak ada satupun yang mampu membaca puisi dalam bahasa Arab.

Gus Dur akhirnya mengajak Gus Mus ikut unjuk gigi.

"Gus Dur menelepon dan meminta saya membaca puisi dalam bahasa Arab di arena bergengsi itu. Eh, saya malah bingung lagi. Apa yang akan saya bacakan?" kata Gus Mus.

Usai membongkar lemari kitab dan buku, ia menemukan sebuah puisi yang pas.

Gus Mus malah pusing kepalang ketika itu. Ia bingung bagaimana cara membacanya, bagaimana gayanya, aktingya seperti apa, dan tangannya harus bagaimana?

Akhirnya malam itu tiba. Gus Mus bersyukur karena gilirannya yang terakhir. Namun, tiba-tiba puisi dengan bahasa Arab-lah yang harus tampil pertama.

Grogi, gugup dan cemas menyelimuti dirinya. Usut punya usut, ternyata, Gus Mus sempat menyontek cara penyair kondang Subagyo Sastrowardoyo membaca puisinya.

"Nah kok ya, tibane (ternyata) biasa-biasa saja, seperti membaca tulisan biasa, datar-datar saja, tak belagu dengan intonasi naik-turun," aku pria jebola Universitas Al-Azhar, Mesir itu.

"Tetapi yang penting, ternyata membaca puisi itu iso sa'karepe dewe, ga ono aturane (bisa semaunya sendiri, tidak ada aturannya)," tambahnya.

Sejak saat itu lah, Gus Mus dikenal sebagai penyair. Gara-gara itu, sampai sekarang ia diundang ke sana kemari, bahkan sampai luar negeri untuk membaca puisi dan ceramah agama.

GUS DUR DIANGGAP DALANG KETOPRAK

Gus Mus bercerita, banyak para kiai dan para ulama tak suka dengan jabatan yang diemban Gus Dur sebagai ketua DKJ.

Katanya, masak anak kiai besar dan ketua PBNU jadi dalang ketoprak. Ramai-ramai para kiai dan ulama itu meminta Gus Dur mundur dari DKJ.

Gus Dur mendengar dan mempertimbangkan tuntutan itu.

"Saya ingin menyelesaikan tugas saya di bidang kebudayaan ini dalam beberapa bulan ini," kata Gus Mus menirukan ucapan Gus Dur.

Ternyata benar, Gus Dur menepati janjinya. Ia mundur. Padahal, kebudayaan dan sastra adalah bidang yang sangat dicintai Gus Dur.

Gus Dur pernah mengenyam kuliah sastra Arab dan menguasai sastra Arab serta hapal puisi-puisi penyair besar Arab klasik, juga kelas dunia seperti William Shakespeare.

Bahkan, Gus Dur adalah penggagum berat para penggubah dan maestro musik klasik terbesar sepanjang masa, seperti Beethoven, Mozart dan lainnya.

Gus Dur berbeda dengan para agamawan Muslim pada umumnya yang memandang musik sebagai perbuatan terlarang, musik adalah racun yang mematikan dan permainan yang tak berguna, yang sia-sia. Bahkan mendengarkan musik akan melalaikan Tuhan.

Kompas.com. 07/09/2017

Baca Juga: Pertemuan Terakhir Dua Sahabat, Gus Dur dan Gus Mus

* Gus Dur (Abdurrahman Wahid) adalah Presiden Republik Indonesia yang keempat; menjabat dari 1999 hingga 2001, menggantikan B.J. Habibie. Tokoh Muslim Indonesia ini adalah mantan Ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).