Gus Mus, Kiai Pejuang HAM

Kiai Haji Mustofa Bisri mendapat penghargaan pejuang hak asasi manusia (HAM), Yap Thiam Hien Award 2017. Penghargaan dari Yayasan Yap Thiam Hien itu diberikan Rabu (25/1/2018) malam di Aula Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat.

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang karib disapa Gus Mus itu menjadi kiai pertama yang mendapat penghargaan ini.

Penghargaan ini diberikan karena Gus Mus dinilai sebagai figur ulama yang memiliki perhatian besar terhadap perjuangan dan penegakan nilai-nilai HAM. Gus Mus juga dianggap punya keteguhan dalam membangun moralitas kemanusiaan di tengah keberagamaan.

Jauh sebelum mendapat penghargaan ini, Gus Mus dikenal sebagai tokoh berpengaruh, khususnya di lingkungan NU. Dikutip gusmus.net, Kamis (25/1), alumni Universitas Al Azhar Kairo, Mesir itu lahir di Rembang, Jawa Timur pada 10 Agustus 1944. Gus Mus dibesarkan dalam keluarga yang patriotis, intelek, dan progresif. Kakeknya, H. Zaenal Mustofa merupakan saudagar ternama.

Sampai saat ini, Gus Mus bersama saudara-saudaranya mengasuh pondok pesantren Roudlatuh Tholibin. Pesantren Taman Pelajar Islam itu didirikan ayahnya, KH Bisri Mustofa.

Sejak muda Gus Mus terbilang disiplin berorganisasi. Semasa kuliah di Al Azhar kairo, bersama KH Syukri Zarkasi (sekarang Pengasuh Ponpes Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur), Gus Mus menjadi pengurus Himpunan Pemuda dan Pelajar Indonesia (HIPPI) Divisi Olah Raga. Di HIPPI pula Gus Mus pernah mengelola majalah organisasi HIPPI berdua dengan KH. Abdurrahaman Wahid atau Gus Dur.

Tidak berbeda dengan para kiai lain yang memberikan waktu dan perhatiannya untuk NU, sepulang dari Kairo Gus Mus berkiprah di PCNU Rembang pada awal 1970-an, Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah (1977), Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, hingga Rais Syuriyah PBNU (1994, 1999).

Tetapi mulai tahun 2004, Gus Mus menolak duduk dalam jajaran kepengurusan struktural NU. Pada pemilihan Ketua Umum PBNU 2004-2009, Gus Mus menolak dicalonkan sebagai salah seorang kandidat.

Sebelum menuntut ilmu di Universitas Al Azhar Kairo pada 1964-1970, Gus Mus menempuh pendidikan di SR 6 tahun (Rembang, 1950-1956), Pesantren Lirboyo (Kediri, 1956-1958), Pesantren Krapyak (Yogyakarta, 1958-1962), dan Pesantren Taman Pelajar Islam (Rembang, 1962-1964).

Sementara di dunia politik, Gus Mus pernah menjadi anggota DPRD Jawa Tengah pada 1982-1992 dan anggota MPR RI periode 1992-1997.

Kritisi Aksi Tolak Ahok

Gus Mus kerap melontarkan kritik maupun memberi saran terhadap problem bangsa dan agama. Misalnya saja, saat aksi demonstrasi besar-besaran tolak Ahok menjelang Pilgub DKI 2017 silam.

Gus Mus mengkritik aksi yang dimulai 4 November 2016 (aksi 411). Gus Mus melihat kasus penistaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu 'digoreng' dengan mencatut agama demi kepentingan politik.

Gus Mus menilai beberapa kelompok Islam sudah mengarah pada kebencian dalam menyikapi perkataan Ahok tentang Surat Al Maidah yang berujung pada laporan dugaan penistaan agama.

Menurut Gus Mus, ekspresi kebencian itu terlihat dari banyaknya hujatan dan makian. Namun, sikap ini hanya dilakukan oleh segelintir dan sekelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam.

"Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Jangan kita memuji orang tapi dengan menjatuhkan atau menghujat orang lain. Emosi di hati jangan sampai menciptakan kebencian yang berlebihan, itu pasti akan memunculkan masalah, seperti yang terjadi sekarang ini di mana umat sudah terpancing membenci Ahok yang berlebihan," ungkap Gus Mus pada 10 November 2011.

Aksi tolak Ahok kemudian berlanjut pada 2 Desember. Aksi yang dikenal 212 ini juga mendapat sorotan dari Gus Mus karena hendak menggelar solat Jumat di jalan raya. Lewat akun twitternya, menurut Gus Mus rencana itu merupakan bid'ah besar. Bid'ah adalah perbuatan menambah-menambahkan dalam ibadah.

"Aku dengar kabar di ibu kota akan ada Jumatan di jalan raya. Mudah-mudahan tidak benar."

"Kalau benar, wah sejarah Islam sejak zaman Rasulullah SAW baru kali ini ada BID'AH sedemikian besar. Dunia Islam pasti heran."

Tak cuma aksi tolak Ahok, Gus Mus juga pernah menyindir para calon-calon kepala daerah yang setiap menjelang pilkada kerap mendadak relijius, bahkan mengklaim dekat dengan umat. Dia mengkritik beberapa kandidat tiba-tiba menyambangi tokoh agama demi meraih simpati menjelang pemilihan.

Gus Mus pun menyentil banyak kalangan yang suka berteriak Allahu Akbar ketika kampanye, tapi tak mengerti makna dari ucapan tersebut.

"Masak urusan Pilkada Gusti Allah diajak?" kata Gus Mus di Masjid Raya Bandung, Jawa Barat, Senin 13 Maret 2017.

"Saya tanya, apa arti sampean mengucapkan Allahu Akbar? Allah Maha Besar. Sebesar apa Allah, kok sampean mengatakan terbesar? Wong pengajian Akbar, Masjid Akbar, dan imam besar juga ada, apa Tuhan sebesar itu?".

Gus Mus juga hanya tertawa kalau ada pihak yang merasa apa yang diyakini dan dipelajari merupakan kebenaran mutlak yang sesuai dengan Tuhan. Gus Mus melihat, banyak pihak yang terlibat dalam pilkada selalu merasa lebih besar dari orang lain.

"Ada yang merasa seperti Gusti Allah. Kalau dia marah dipikir Allah juga marah. Kalau dia geram, dia pikir Allah juga geram. Allahu sebesar itu, tapi disuruh ngurusi Pilkada, berani sekali orang-orang Indonesia ini. Jangan mengatakan Allahu Akbar, tapi merasa dirinya lebih besar dengan yang lain," ucap Gus Mus dikutip situs resmi NU. (gil)

Sumber: cnnindonesia.com. 25/01/2018

PRANALA