“Revolusi Hijau tak sehijau lagi seperti dulu.... Kini sudah jadi cokelat dan makin pucat.”
Setiap pagi, Lester R. Brown menghabiskan waktu menyantap rupa-rupa berita dari pelbagai koran. Pada awal 1960-an, Lester bekerja sebagai analis pertanian untuk wilayah Asia di Departemen Pertanian Amerika Serikat.
Lester mencium ada yang tak beres di beberapa negara di Asia, salah satunya di India. Berbekal data-data, Lester meramal produksi pertanian di negara-negara itu tak akan mencukupi kebutuhan rakyatnya. India, dia meramal, bakal kekurangan 10 juta ton bahan pangan.
Brown memperingatkan Atase Pertanian Kedutaan Besar Amerika di New Delhi, supaya bersiaga menghadapi kemungkinan terburuk dan bersiap mengirimkan bantuan untuk India. “Jika ramalanmu benar, ini bakal jadi pengapalan bantuan terbesar dalam sejarah,” kata sang atase kepada Lester. “Tapi, jika prediksimu salah, kamu bakal jadi tukang ketik seumur hidupmu.”
Ramalan Lester tak meleset. Selama beberapa tahun, produksi pertanian India jeblok. Seperti hendak bersiap perang, pemerintah Amerika menggelar operasi besar pengiriman bahan pangan ke India. Kapal supertanker milik Esso, Manhattan, disewa dan dipakai sebagai pelabuhan terapung di Teluk Benggala lantaran kapasitas pelabuhan di India kurang memadai. “Operasi itu menjadi operasi pengiriman bahan pangan dalam sejarah kedua negara,” Lester menulis di bukunya, Breaking New Ground.
Supaya kelaparan tak datang kembali ke anak Benua India, Menteri Pertanian C. Subramaniam mengundang Norman Borlaug, yang sering disebut-sebut sebagai “Bapak Revolusi Hijau”. Ahli pertanian kondang dari Amerika itu memimpin tim peneliti untuk mencari bibit yang bisa menghasilkan gandum berlipat-lipat. Norman bersama timnya membuktikan hasil panen bibit gandum Lerma Rojo dan Sonora 64 di India jauh lebih tinggi ketimbang semua bibit lain.
Bibit unggul gandum dari Amerika, bibit unggul padi, IR-8, dari Institut Riset Padi Internasional (IRRI) di Los Banos, Filipina, taburan pupuk kimia, irigasi, dan semprotan pestisida jadi resep “Revolusi Hijau” untuk menggenjot produksi pangan di India. Resep serupa juga diterapkan di pelbagai negara, termasuk Indonesia.
Produksi pangan di negara-negara itu berlipat. Bahkan ada yang menjuluki IR-8 sebagai “benih ajaib”. Pada 1970, Norman Borlaug dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. “Lebih dari siapa pun dari masanya, Norman telah memberikan roti untuk dunia yang tengah kelaparan,” panitia Hadiah Nobel menulis.
Tapi, belasan tahun kemudian, suara-suara sumbang soal Revolusi Hijau mulai bermunculan. Salah satunya mengenai pemakaian pestisida secara berlebihan. “Para petani punya pemikiran yang salah, bahwa penyemprotan racun serangga secara teratur akan memberikan hasil panen yang tinggi,” kata Robert S. Ziegler, Direktur Jenderal IRRI.
Hasilnya malah jauh dari harapan. K.L. Leong, ahli hama dari IRRI, mengatakan 80 persen semprotan pestisida dilakukan pada saat yang salah dan menyerang target yang salah. Pekerjaan yang sia-sia. “Hasil panen tak akan berubah sekalipun semprotan itu tak dilakukan,” kata Leong. Alih-alih hama mati dan produksi padi tambah tinggi, menurut Robert, hama seperti wereng cokelat makin sering datang gara-gara pemakaian insektisida berlebihan. Musuh-musuh alami yang mestinya bisa menghambat dan mengurangi perkembangan hama ikut mati karena semprotan racun serangga.
“Revolusi Hijau tak sehijau lagi seperti dulu.... Kini sudah jadi cokelat dan makin pucat,” kata R.K. Mahajan, profesor ekonomi pertanian di Universitas Punjab, India.
***
Orang-orang dari Jiaozhi menjual semut dan sarang mereka menempel di ranting.... Tanpa semut-semut itu, tanaman jeruk di wilayah selatan bakal dihancurkan oleh hama serangga."
Ji Han, ahli tanaman pada masa Dinasti Jin
Sejak ribuan tahun lalu, petani sebenarnya sudah punya resep melawan hama tanaman tanpa pestisida. Lebih dari 1.800 tahun lalu, petani di Cina sudah mempraktekkannya. Ji Han, ahli tanaman pada masa Dinasti Jin, menuliskan bagaimana cara petani di Daratan Tiongkok waktu itu melawan hama dalam bukunya, Nan Fang Cao Mu Zhuang, Tanaman-tanaman dari Wilayah Selatan.
Petani Tiongkok kala itu, menurut Peng Shijiang, sejarawan pertanian dari Universitas Pertanian Cina Selatan, Guangzhou, menggunakan semut untuk melawan hama yang menyerang tanaman. “Orang-orang dari Jiaozhi menjual semut dan sarang mereka menempel di ranting.... Tanpa semut-semut itu, tanaman jeruk di wilayah selatan bakal dihancurkan oleh hama serangga,” Ji Han menulis di bukunya.
Hingga ribuan tahun kemudian, teknik melawan hama jeruk dengan semut itu ternyata masih dipakai petani. Tertulis di buku Guangdong Xing Yu dari abad ke-17, “Para petani menaruh sarang semut besar di batang tanaman dan menghubungkan tanaman satu dan tanaman lainnya dengan bambu sehingga pohon jeruk tak dirusak hama.”
Foto: Biocontrol
Resep antihama dari Tiongkok kuno ini ternyata memang lumayan mangkus menumpas hama jeruk. “Semut Huang gan menangkap dan memangsa hama serangga jauh lebih baik daripada racun kimia,” kata Yang Shi, peneliti hama dari Universitas Zhongshan. Tak cuma memangsa hama, menurut Yang Shi, semut Huang gan juga mampu mengusir penyakit “Naga Kuning” pada pohon jeruk.
Setiap jenis hama punya lawannya sendiri. Tak cuma semut yang jadi pemangsa hama, beberapa abad silam di Cina, kodok pun “disayang” oleh petani. Peng Cheng menulis di bukunya, Mo Ke Hui Xi, pada abad ke-11, “Orang-orang Zhejiang gemar makan kodok, tapi Shen Wentong melarang mereka memburu dan memakan binatang yang berguna itu.”
Pada 1868, perkebunan jeruk di California nyaris hancur diserbu hama serangga Icerya purchasi. Serangga kecil berwarna putih ini menyedot getah yang ada di daun dan ranting jeruk sehingga menyebabkan kerontokan. Petani jeruk California puyeng tujuh keliling. Sebab, hama ini sangat bandel. Semprotan racun sianida pun tak bisa mengusir mereka. Sebagian petani yang putus asa memilih membakar tanaman jeruk di kebun mereka.
Charles Valentine Riley, yang baru beberapa tahun diangkat sebagai kepala ahli hama di Departemen Pertanian Amerika, menduga hama ini datang dari Australia. Setelah melewati “akrobat” administrasi, Riley mengirimkan asistennya, Albert Koebele, untuk mempelajari hama Icerya di Australia.
Di Australia, Koebele menemukan kawanan kumbang yang biasa memangsa koloni Icerya purchasi. Pada 1888, Riley mendatangkan 129 ekor kumbang Rodolia cardinalis. Beberapa bulan kemudian, datang lagi 385 ekor kumbang Rodolia dari Australia. Setelah dibiakkan, kumbang-kumbang itu disebar ke perkebunan-perkebunan di California. Hasilnya menakjubkan. Hanya dalam beberapa bulan, populasi hama Icerya turun drastis dan tak lagi jadi masalah.
BioBee, perusahaan asal Israel, menjadikan musuh alami hama ini sebagai bisnis utama mereka. Dua tahun, BioBee mengapalkan jutaan lalat ke Kroasia. Lalat-lalat steril dari Israel itu akan berpasangan dengan hama lalat yang merusak kebun jeruk di Kroasia dan memutus jalur keturunan mereka.
Pada November tahun lalu, BioBee “mengekspor” 600 juta laba-laba Phytoseiulus persimilis ke Kolombia. Pasukan laba-laba itu dikirim untuk menumpas hama serangga yang menggerogoti tanaman kopi di negara itu. Laba-laba Phytoseiulus persimilis rupanya sangat serbaguna.
Pasukan Phytoseiulus juga siap dikirim ke perkebunan stroberi untuk menumpas hama yang mengganggu pertumbuhan tanaman buah tersebut. “Sejak 1990, lebih dari 60 persen kebun stroberi di California memakai laba-laba ini untuk melawan hama,” kata Simon Steinberg, Kepala Riset BioBee, beberapa waktu lalu.
Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Foto: Seorang petani di CIna mempersiapkan padi untuk ditanam. Getty Images
Sumber: detik.com. Rabu, 6 April 2016