Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan Perubahannya

PENGANTAR

Sebetulnya, niatan saya hendak membagikan beberapa materi hukum secara sistematis dan komprehensif. Akan tetapi, berhubung terbatasnya waktu dan belum tepatnya jadwal yang telah direncanakan, saya akan membagikan materi yang penting-penting terlebih dahulu. Seperti pentingnya penggunaan istilah Amendemen dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan Perubahannya ini. Adapun alasan saya menjadikan materi dalam postingan ini sebagai salah satu -yang penting- karena kami (mungkin juga Anda) akan ditanya mengenai hal ini. Seperti, bagaimanakah kedudukan konstitusi, bagaimanakah kedudukan undang-undang, dsb. Khususnya bagi saya selaku mahasiswa hukum, saya -dkk- sering ditanya mengenai tata urut peraturan perundang-undangan. Adapun urgensinya terletak pada asas hukum yang berlaku yakni, peraturan -hukum- yang berada dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan -hukum- yang berada diatasnya (Lex Superior Derogat Legi Inferiori). Untuk memenuhi pemahaman kita mengenai hal ini, maka saya merasa perlu untuk membagikan hal ini kepada pembaca sekalian. Kurang lebihnya, saya memohon saran dan kritik yang konstruktif.

MATERI

Dimanakah kita dapat menemukan hukum? Dimanakah kita dapat menggali hukum? Bagaimanakah hukum dapat memiliki kekuatan hukum mengikat? Bagaimanakah hukum dapat memiliki kekuatan memaksa? Rasa-rasanya pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan alamiah yang akan diajukan oleh segenap orang yang hendak memaknai hukum sebagai sebuah peraturan. Secara jujur, kita tak dapat memaknai hukum sebagai suatu aturan yang dipatuhi tanpa memahami alasan dari kepatuhan kita. Apabila kita mau belajar dan memahami, maka kita akan mengetahui dengan gembira karena kita telah menemukan esensi dari segala hal, termasuk hukum itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang penulis cantumkan sebelumnya merupakan jalan bagi kita untuk sampai pada apa yang dinamakan dengan Sumber Hukum. Penulis tidak akan -tidak berniat- untuk membahas mengenai materi Sumber Hukum, karena itu sudah direncanakan masuk pada pembahasan lain. Adapun masuknya materi tersebut karena tidak lain bahwa Peraturan Perundangan-undangan merupakan salah satu sumber hukum, baik secara positif (di Indonesia) maupun universal (di negara hukum).

Sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukum. Alga membagi sumber hukum menjadi dua, yakni sumber hukum Materil dan sumber hukum Formil. Sumber hukum materil merupakan tempat darimana materi hukum itu diambil. Berkaitan dengan muatan atau isi yang menjadi objek studi penting sosiologi hukum. Sedangkan sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku formal. Undang-undang sendiri merupakan salah satu contoh sumber hukum formil, karena dilihat dari bentuk dan cara terjadinya merupakan ketetapan penguasa (Legislatif dan Eksekutif) yang memperoleh sebutan “undang-undang”.

Bahasan tidak akan meluas hingga pengertian Undang-undang, Proses pembuatan undang-undang ataupun hal ihwal lainnya. Disini, pembahasan akan berlanjut kepada hierarki peraturan perundang-undangan itu sendiri. Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarchie (urutan). Tata urutannya berjenjang dan sesuai tingkatannya. Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah (misalnya: Grondwet, Wet, A.M.v.B, Ordonnantie, Regeringsverordening, UUD, UU, PP, dll). Tata urutan peraturan tersebut tidak menghendaki adanya konflik atau pertentangan satu sama lain. Tidak lain diadakannya hierarki itu sendiri, karena memang tujuannya tidak dikehendakinya suatu ketidakpastian hukum, dimana setiap aturan memiliki porsinya, memiliki kekuatannya. Adapun dalam prosesnya, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi; mengenai aturan yang sama. Apabila terjadi konflik, munculnya dua aturan mengenai hal yang sama, maka peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Hakikatnya, peraturan yang rendah tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini dikenal dengan asas hukum Lex Superior Derogat Legi Inferiori.

Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3, UUD’45) tentulah -harus- memiliki peraturan perundang-undangannya. Dalam perkembangannya, aturan perundang-undangan tersebut masuk dalam beberap fase. Hal itu tidaklah terlepas dari sejarah Indonesia itu sendiri. Rupanya, sejarah memang menentukan hukum suatu negara, suatu bangsa. Maknanya, sejarah disini memberikan pengetahuan bahwa pentingnya kita untuk menelisik lebih dalam kedalam suatu peraturan yang diberlakukan dimasanya (hukum positif pada saat itu). Mengapa penulis menyinggung hal ini, karena untuk masuk kedalam fase-fase perubahan hierarki peraturan perundang-undangan, mau tidak mau kita harus membuka kembali sejarah. Sejauh ini, perubahan tata urutan perundang-undangan, berkaitan dengan perubahan rezim kepemimpinan. Diantaranya masa orde lama (Surat Presiden Tanggal 20 Agustus 1959), masa transisi orde lama-orde baru (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966), masa transisi reformasi (TAP MPR No. III/MPR/2000), masa reformasi (UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011). Adapun untuk penjabarannya akan dijelaskan dibawah ini.

A. Berdasarkan Surat Presiden No.3639/Hk/59 Tanggal 26 November 1959

Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 dalam kurun waktu 5 juli 1959 sampai dengan 1966 atau masa orde lama, Presiden Soekarno dalam suratnya kepada ketua DPR No. 2262/HK/59 Tanggal 20 Agustus 1959 yang selanjutnya dijelaskan dengan surat Presiden No.3639/HK/59 Tanggal 26 November 1959, menyebutkan bentuk-bentuk peraturan negara setelah Undang-Udang Dasar adalah:

  1. Undang-Undang 
  2. Peraturan pemerintah 
  3. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) 
  4. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
  5. Peraturan presiden didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, untuk melaksanakan penetapan Presiden
  6. Peraturan pemerintah untuk melaksanakan peraturan presiden (ini lain daripada peraturan pemerintah ex Pasal 5 ayat 2 UUD 1945)
  7. Keputusan presiden untuk melaksanakan pengangkatan
  8. Peraturan/keputusan Menteri. 

Di sini tidak dicantumkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai bentuk peraturan perundang-undangan karena menganggap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan perwujudan dari Undang-Undang Dasar.

B. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XX/MPRS/1966

Pada saat berakhirnya masa pemerintahan Orde lama dan memasuki masa Orde Baru, Presiden Soekarno menyurati Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) untuk perubahan tata urutan peraturan perundang-undangan. Kemudian, dikembangkan oleh DPR-GR dan hasilnya di awal Orde Baru dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia disingkat TAP MPRSNo.XX/MPRS/1966. Dalam lampiran II (pokok Pikiran IIA) TAP MPRS tersebut disebutkan Bentuk dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 :

  1. Undang-undang Dasar 1945 peraturan perundang-undangan yang tertinggi, yang pelaksanaannya dengan ketetepan MPR, atau keputusan presiden
  2. Ketetapan MPR. Menurut TAP MPR No. I/MPR/1973 tentang Tata Tertib MPR, bentuk keputusan MPR ada dua macam, yaitu TAP MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan undang-undang dan TAP MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang dilaksanakan dengan keputusan presiden.
  3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk melaksanakan UUD atau TAP MPR. Dalam kepentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan sebagai pengganti undang-undang. Peraturan ini harus mendapat persetujuan DPR. (Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945)
  4. Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan undang-undang
  5. Keputusan Presiden. Ini merupakan keputusan yang bersifat khusus (einmalig) untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan UUD, TAP MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah
  6. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:
  • Peraturan Menteri;
  • Instruksi Menteri;
  • Dan lain-lain-nya.

Menurut Ass Tambunan dalam bukunya yang berjudul MPR, Perkembangan dan Pertumbuhannya, Suatu Pengamatan dan Analisis, mengatakan bahwa bentuk/ jenis peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 diilhami oleh tulisan Mohammad Yamin dalam bukunya yang berjudul : Naskah Persiapan Undang-undang Dasar, Mohammad Yamin mengatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan Negara adalah sebagai berikut:

  1. UUD 1945
  2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
  3. Putusan MPR
  4. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit 5 Juli1959
  5. Peraturan Presiden, peraturan tertulis untuk mengatur kekuasaan presiden berdasarkan pasal 4 ayat (1) UUD 1945
  6. Keputusan Presiden, peraturan tertulis untuk menjalankan Peraturan Presiden atau Undang-Undang di bidang pengangkatan/pemberhentian personalia
  7. Surat keputusan presiden, penentuan tugas pegawai
  8. Undang-Undang
  9. Peraturan pemerintah untuk melaksanakan Penetapan Presiden
  10. Peraturan pemerintah untuk pengganti Undang-Undang
  11. Peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang
  12. Peraturan dan keputusan penguasa Perang
  13. Peraturan dan keputusan Pemerintah Daerah
  14. Peraturan tata tertib dewan dan peraturan/keputusan dewan. Yang di maksud dengan Dewan misalnya MPR, DPR, Dewan Menteri, DPA, dan Dewan Perancang Nasional.
  15. Peraturan dan keputusan Menteri, yang di terbitkan atas tanggungan seorang atau bersama Menteri.

Dari hal tersebut di atas, seperti yang disebutkan oleh Mohammad Yamin, menempatkan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR) berada diurutan ketiga setelah UUD 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dari inilah awal mulanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang kemudian dicantumkan kedalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966.

C. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.III/MPR/ 2000

Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No III/MPR/2000 yang menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan menempatkan kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat berada diurutan kedua setelah UUD 1945. Ketetapan tersebut merupakan perubahan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966. Dikatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila.

D. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak lagi menempatkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas. Adanya ketidakpastian terhadap eksistensi ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku tersebut keberadaannya tidak lagi diakui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat cenderung mengabaikan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku tersebut baik dalam proses pembentukan undang-undang maupun dalam perumusan kebijakan negara. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah mengandung kesalahan yang sangat mendasar. Akibat kesalahan ini maka Ketetapan MPR RI No I/MPR/2003 menjadi tidak jelas statusnya. Di masa dulu, pelanggaran terhadap ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang berujung pada impeachment, tetapi pasca amandemen UUD 1945 langkah politik semacam itu tidak bisa lagi digunakan. Sebab, Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau melakukan perbuatan tercela, dan atau apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Padahal ada 11 (sebelas) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sangat penting dan krusial jika diabaikan, apalagi dilanggar. Disana ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemamfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, TAP MPR No VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan TAP-TAP MPR lainnya yang sangat penting dan strategis. Tapi semuanya tidak ada sanksi dan konsekuensi apapun baik secara hukum, politik, maupun manakala dilanggar. Seperti halnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang tidak jadi dibentuk sehingga pelanggaran HAM seperti Kasus 1965, Tanjung Priok, Lampung, Kasus Orang Hilang, dan sebagainya kehilangan modus dan instrumennya untuk menyelesaikannya. Sebab, modus dan instrument yang sangat bijak seperti yang diamanatkan oleh TAP MPR No V/MPR/2000 diabaikan.

Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi tidak jelas. Karena dalam undang-undang ini posisi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dikeluarkan dari hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Nasib Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berjumlah 139 buah menjadi tidak jelas status hukumnya. Namun, kondisi ini berakhir setelah DPR dan Pemerintah telah sepakat memasukkan kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Hal ini terungkap dalam Rapat Panitia Khusus revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sehingga dari rapat tersebut, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dibahas kembali dalam sidang DPR sehingga direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam undang-undang terbaru hasil revisi ini Ketetapan MPR (S) kembali dicantumkan dalam tata urut peraturan perundangan Indonesia.

E. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru, yakni masuknya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hirarki peraturan perundang-undangan terdiri dari:

  1. UUD 1945
  2. Ketetapan MPR
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
  4. Peraturan pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Daerah Propinsi dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten.

Dari pasal di atas, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menduduki posisinya yang benar dalam sistem hukum di Indonesia dan kembali menjadi sumber hukum formal dan material. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat harus kembali menjadi rujukan atau salah satu rujukan selain UUD 1945 bukan hanya dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia, melainkan juga dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus memperhatikan ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Saya pelajar, kita pemelajar. Mari kita sama-sama belajar!

Terima kasih atas kunjungannya, kritik dan saran yang konstuktif amat berarti,

Salam keadilan,

oleh M. Fatwa Faturohman, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia)
Sumber: fatwarohman.blogspot.co.id.