SEPULUH tahun pascakrisis ekonomi, yang terjadi di republik ini adalah pematangan ke arah neokolonialisasi. alih-alih mengambil pembelajaran berharga dari krisis yang melanda dengan berbagai kebijakan yang sesuai dengan konteks Indonesia, justru yang terjadi adalah malapraktik dalam merumuskan dan mengambil kebijakan yang ”akhirnya” menguntungkan neokolonial tersebut.
Pandangan seperti itu disampaikan Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Drs. Revrisond Baswir, M.B.A., dalam menganalisis sepuluh tahun setelah terjadi krisis ekonomi melanda Indonesia.
Dia mengatakan, keliru kalau muncul pandangan bahwa terjadi paradoks perekonomian setelah krisis ekonomi dan itu lebih disebabkan oleh faktor kultural karena ketidaksiapan masyarakat. ”Masyarakat dan faktor kultural jangan dipersalahkan terjadinya paradoks pertumbuhan. Sebab, bagaimanapun yang salah itu adalah para elite di negeri ini sebagai lokomotif,” ucapnya.
Dalam membedah pascakrisis, Revrisond mencoba menggunakan pendekatan sejarah (history) untuk mengetahui apakah situasi yang terjadi di republik ini saat sekarang, punya tali-temali dengan sejarah masa lalu. Bahkan, dengan pendekatan itu, berbagai kebijakan, terutama kebijakan perekonomian, juga tidak terlepas dari rangkaian sejarah yang telah diwariskan kolonial.
Pertanyaan yang dilontarkan Revrisond, apakah warisan penjajah masih melekat di Indonesia dewasa ini? Sebagai ilustrasi, seseorang naik sepeda motor kemudian betisnya kena knalpot, meski hanya beberapa detik bisa meninggalkan bekas pada betis. Pertanyaan serupa, apakah penjajahan selama 3,5 abad tidak meninggalkan warisan?
Warisan struktural kolonialisme itu bisa dilacak dengan studi kasus terhadap Jakarta atau dulu disebut Batavia sebagai ibu kota negara. Saat ini, tidak bisa dimungkiri, hampir 60% – 80% perputaran uang ada di Jakarta. Padahal, kalau dilihat dari jejak rekam Jakarta, ternyata kota itu mulai berkembang pesat setelah tahun 1939. ”Sebelumnya, (pada) masa itu, Kota Surabaya lebih berkembang dibandingkan dengan Jakarta,” jelas Revrisond.
**
Perkembangan Kota Jakarta telah menjelma sebagai kota yang mengeksploitasi daerah lainnya. Penghasilan daerah lain, seperti daerah Bontang, Kalimantan Timur dengan sumber daya alamnya yang berlimpah, ternyata berbagai jenis pungutan atau jenis pajak, transaksinya dilakukan di Jakarta. Bahkan, kantor pusat perusahaan juga berada di Jakarta.
Eksploitasi terhadap daerah yang memiliki penghasilan sumber daya alam, PDRB yang tinggi seperti kasus Bontang atau Kediri, Jawa Timur, tidak serta-merta turut memengaruhi laju pertumbuhan perekonomian daerah.
Kenapa? Karena semua hak pungut negara atas rakyat diatur Jakarta. Hampir 97 % hak punggut mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (Ppn), Pajak Pertambahan Hasil (Pph), cukai, dan lainnya, dilakukan oleh pusat (dalam hal ini Jakarta). Daerah hanya mendapat bagian yang diatur oleh Jakarta.
Pola eksploitasi Jakarta terhadap daerah lain yang masih terjadi sampai sekarang, merupakan warisan struktural kolonial. Sebab, Batavia pada zaman penjajahan dijadikan sebagai pusat segala-galanya.
Bentuk pematangan kolonialisasi lainnya adalah menjadikan Jakarta sebagai pusat ketergantungan oleh daerah-daerah. Otonomi daerah (otda) memang telah dilaksanakan. Namun, dalam implementasinya, otonomi lebih mengedepankan kepada pelimpahan kewajiban yang mengakibatkan terjadinya ketergantungan yang tinggi.
Ketergantungan itu, papar Revrisond, secara kasat mata dapat terlihat bagaimana para pejabat daerah terpaksa berhubungan dan datang ke Jakarta untuk mengurus berbagai hal. Bahkan, daerah membuka kantor perwakilan di Jakarta dengan berbagai kelengkapannya. ”Otonomi yang seharusnya melahirkan desentralisasi, ternyata tidak. Melainkan, kecenderungan kepada sentralisasi dan kondisi ini semakin buruk,” kata Revrisond.
Bentuk kolonialisasi lain terlihat pula dalam kebijakan keuangan. Setiap daerah hadir berbagai bank. Namun, dalam kebijakan, bank yang ada di daerah hanya melakukan penyerapan uang semata. Sedangkan kebijakan untuk menggulirkan diatur oleh kantor pusat yang notabene berada di Jakarta. Perbankan yang ada di daerah, hanya diberikan kewenangan untuk mengucurkan kredit dalam batas-batas tertentu. ”Hal ini bisa terlihat bagaimana LDR (loan deposit ratio/nisbah simpanan dan pinjaman) lokal tidak bisa melampaui LDR nasional,” kata Revrisond.
Pematangan kolonialisasi, bisa ditarik lebih jauh dengan mencermati fakta-fakta sejarah, bagaimana penjajah tidak mau melepaskan begitu saja Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Setelah diproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, yang terjadi setelah itu adalah Agresi I dan agresi II. ”Ini bentuk nyata, bagaimana penjajah tidak rela begitu saja melepaskan Indonesia,” ucap Revrisond.
Setelah agresi, terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Apa yang terjadi di KMB? Dalam penilaian Revrisond, selama ini telah terjadi pembutaan terhadap sejarah. Tidak diungkap, apa saja isi perjanjian dalam KMB. ”Dari catatan dan buku yang menulis tentang KMB, saya membaca bahwa Belanda tetap meminta Indonesia membayar utang-utang yang terjadi pada masa Hindia-Belanda,” jelasnya.
Syarat seperti itu, adalah suatu bentuk warisan kolonial. Namun, pada masa Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, utang-utang itu tidak dibayar, bahkan terjadi pembatalan sepihak terhadap perjanjian KMB. Apa yang terjadi berikutnya? Soekarno jatuh dan pemerintahan beralih kepada Soeharto tahun 1965.
Apakah warisan kolonial masih ada? Fakta, pada tahun 1969, terbentuknya IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia yang kemudian dibubarkan tahun 1992 akibat penolakan intervensi Belanda -red.), di mana Belanda menjadi ketuanya. Apakah ini suatu kebetulan atau masih dalam kontinuitas kolonialisme? Dari segi utang Indonesia pada zaman Hindia-Belanda diteruskan kembali yaitu Indonesia melunasinya dengan jumlahnya sekira 4 miliar dolar AS (sekitar Rp 36 triliun).
Berangkat dari satu rangkaian ke rangkaian sejarah itu, Revrisond menyimpulkan, proses kolonialisme di republik ini terus terjadi. Bahkan, krisis ekonomi pada tahun 1997/1998, terapi yang dilakukan juga tidak terlepas dari intervensi dan proses neokolonialisme itu.
**
Pendapat Revrisond, sepuluh tahun pascakrisis ekonomi, yang terjadi bukanlah terapi yang sesuai dengan watak negara ini, melainkan lebih jauh yaitu malapraktik. Ibarat dokter yang semestinya melakukan diagnosis secara cermat, kemudian memberikan terapi yang sesuai dengan penyakit yang diagnosis. ”Dokternya malah melakukan malapraktik,” ucap Revrisond.
Reformasi kelembagaan mencerminkan malapraktk itu. Pemerintah melakukan kebijakan privatisasi terhadap aset-aset yang ada. Penghapusan berbagai subsidi dan liberalisasi dalam kebijakan. ”Ini semua merupakan bentuk dari neokolonialisasi yang berkesinambungan,” kata Revrisond.
Malahan, Revrisond lebih mengkhawatirkan lagi, yang terjadi bukan saja pematangan terhadap neokolonialisasi itu, tetapi sudah terjadi krisis konstitusional. Lihat saja saat ini, bagaimana negara bersama-sama parlemen melanggar konstitusi seperti keputusan Mahkamah Konstitusi tentang dikabulkannya gugatan anggaran pendidikan 20 %, menangnya calon independen dan sebagainya. ”Anehnya, ketika eksekutif bersama legislatif melakukan pelanggaran, tidak ada sanksi yang diberikan. Seolah-olah, pelanggaran dianggap hal biasa. Sungguh menyedihkan,” ucap Revrisond.
Karena terjadi malapraktik, Revrisond menyimpulkan bahwa 10 tahun pascakrisis ekonomi, tidak terjadi perubahan apa pun. Sebaliknya, yang terjadi adalah pematangan terhadap neokolonialisme yang merupakan rangkaian dari warisan sebelumnya.
Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan? Revrisond berpendapat, semestinya terapi yang dilakukan sesuai dengan konteks Indonesia. Kemudian, harus ada orang-orang yang terpanggil untuk memperjuangkan agar Indonesia jangan terjerumus kepada neo-kolonialisasi tersebut. ”Kita memerlukan rezim yang memiliki reponsibilty (tanggung jawab) terhadap negara ini,” kata Revrisond.
Manakala kebijakan yang dilakukan masih seperti saat ini tidak berubah, bahkan menguntungkan neokolonialisme, Revrisond meramalkan bahwa apa yang terjadi di Uni Soviet (runtunya Uni Soviet -red.) dapat terjadi, sebab benih-benih semacam itu telah diperlihatkan dengan apa yang terjadi di Aceh, pengibaran bendera RMS di Ambon, dan apa yang terjadi di Papua. ”Orang-orang yang terpanggil itu bisa datang dari kalangan perguruan tinggi, media massa, dan lainnya,” ujar Revrisond. (Irwan Natsir/”PR”)***
(C) 2006 – Pikiran Rakyat Bandung