Hikmah dari Kasus Yusril vs Hendarman Supandji

Negara Indonesia adalah negara hukum. Seperti yang ada dalam ketentuan Undang-undang Dasar tahun 1945 pasal 1 ayat 3. Dengan demikian segala tindakan pemerintah yang direpresentasikan oleh pejabat publik harus berdasarkan aturan hukum yang sah.

Akhir bulan Juni 2010 ini masyarakat lagi-lagi harus mendapatkan tontonan yang seharusnya tidak perlu diumbar kepada masyarakat. Terkait polemik perseteruan antara mantan Menteri Hukum dan HAM YusriI Ihza Mahendra dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Seperti yang telah terjadi sebelumnya Rakyat Indonesia juga telah dipertontonkan tidakan buruk dari anggota DPR yang mengumpat dan berkata kotor di Lembaga terhormat DPR RI saat melaksanakan hak angket kasus Bank Century. Tindakan yang seharusnya sudah tidak layak tunjukkan oleh pemimpin rakyat.

Persengkataan antara dua orang pejabat tersebut bermula dari penetapan Yusril sebagai tersangka kasus Korupsi Sisminbakum oleh Kejaksaan agung yang dalam hal ini Hendarman sebagai orang yang berpengaruh terhadap penetapan ini. Karena tidak mau kalah dengan tindakan Hendarman pada saat dipanggil oleh Kejagung Yusril justru mempersalahkan bahwa Hendarman yang dalam hal ini sebagai Jaksa Agung sudah tidak lagi punya wewenang untuk menjadi Jaksa Agung.

Yusril menegasakan bahwa Jaksa Agung adalah pejabat Negara setingkat menteri. Dalam hal ini Hendarman diangkat sebagai Jaksa Agung pada waktu dilantiknya Kebinet Indonesia Bersatu I tahun 2004. Sehingga, karena jabatannya setingkat menteri otomatis seharusnya sudah pensiun pada saat Kabinet Indonesia Bersatu II 2010 dilantik.

Dari polemik yang menyita perhatian publik tersebut Ketua Mahkamah Konstitusi pun akhirnya angkat bicara. Yang pada intinya menegaskan bahwa sistem administrasi hukum di negara Indonesia masih belum rapi. Hal ini terlihat dengan belum dilakukannya pengangkatan Hendarman sebagai Jaksa Agung pada Kabinet Indonesia bersatu II.

Padalah seharusnya SK-nya dikeluarkan pada saat pelantikan Kabinet Indonesia bersatu II. Sehingga, dari apa yang dinyatakan Mahfud kasus ini adalah murni masalah administrasi bukan perkara pidana. Di lain pihak kasus yang menjerat Yusril adalah kasus Korupsi Sisminbakum yang masuk dalam ranah hukum pidana khusus yaitu korupsi. Sehingga, ranah penegakan supremasi hukumnya pun berbeda.

Mantan Ketua makhkamah Konstituis pun seakan-akan menegasikan apa yang dikatakan “adik di lembaga MK”-nya bahwa posisi status hukum Jaksa Agung Hendarman Supandji adalah kesalahan Administrasi paling fatal karena jabatan Jaksa Agung tersebut diangkat dengan satu Keppres bersama dengan Kabinet Indonesia Bersatu I. Sehingga, seharusnya jabatan Hendarman sekarang harus dibuatkan Keppres secara terpisah.

Terlepas dari permasalahan administrasi yang ada seharusnya permasalah pokok yaitu korupsi Sisminbakum harus tetap ditegakkan. Sebagai orang yang pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM Rebuplik Indonesia Yusril seharusnya turut serta dan memberikan contoh dalam upaya untuk menegakkan supremasi hukum yang ada. Bukan sebaliknya turut melakukan upaya untuk mengalihkan permasalahan yang menimpa dirinya dengan mempersalahkan sistem administrasi hukum yang ada.

Dengan dia tetap mengikuti alur penegakan yang ditentukan hukum mulai dari pemeriksaan sabagai tersangka, penuntutatn, sampai putusan, tindakannya akan dinilai lebih elegan sebagai tokoh masyarakat dan juga anggota majelis syuro salah satu partai politik yang berasaskan Islam. Dengan begitu ada kesempatan bagi dia untuk membuktikan pada waktu pemeriksaan pengadilan bahwa apa yang disangkakan oleh Jaksa Agung tidak benar setelah putusan pengadilan keluar. Maka kepastian hukum terhadapnya apakah bersalah melakukan korupsi atau tidak akan diketahui.

Memang penetapan sebagai tersangka membuat citra dirinya menurun. Akan tetapi jika penetapan sebatas sebagai tersangka belum dapat diartikan bahwa dia bersalah secara hukum. Ini yang harus menjadi dasar pemikiran karena semakin meningkatnya pemberitaan dirinya terkait dengan mempersalahkan sistem administrasi hukum status Hendarman pandangan masyarakat terhadap dirinya justru akan semakin menurun.

Masyarakat Indonesia sudah bosan dengan tindakan pemimpin bangsa ini yang tidak mencerminkan jiwa kepemimpinannya. Bosan dengan tidak adanya iktikad kuat dari pemimpin untuk menjadi contoh bagi rakyat yang dipimpinnya. Bosan dengan pengalihan isu yang dilakukan oknum tertentu.

Mereka tidak akan peduli dengan masalah sistem hukum yang tumpang tindih. Tidak peduli apakah dengan tidak adanya pengangkatan Jaksa Agung pada waktu Kabinet Indonesia Bersatu II dilantik berakibat pada sah atau tidaknya status hukum Jaksa Agung beserta penetetapan dan tindakan yang dilakukannya. Mereka akan lebih peduli dengan negara dengan sistem hukumnya yang tertib dan ditegakkan oleh aparat yang tidak korupsi.

Harapan besar yang diharapkan terjadi pada level masyarakat untuk patuh terhadap hukum harus dimulai dari kesadaran dari pemimpin untuk memulai patuh dalam penegakan supremasi hukum. Karena dengan pemimpin yang mencontohkan untuk patuh terhadap aturan hukum akan memberikan efek domino terhadap 230 juta lebih manusia indonesia yang dipimpinnya. Sudah saatnya bangsa ini bangkit dari keterpurukan dan terjerembab dalam berbagai permasalahan untuk menuju indonesia yang lebih baik dan bermartabat. (msh/msh)

Nurudin Yusuf
Jalan Dharmahusada Utara No 39 Surabaya
nurudin.yusuf@gmail.com
08563160614
Detik. Selasa 13 Juli 2010