BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Belakangan ini banyak perselisihan antar umat Islam khususnya di wilayah Indonesia umumnya di dunia antar umat Islam. Mereka menganggap golongan merekalah yang paling menunjukkan pada jalan kebenaran. Sehingga mereka cenderung mengkafirkan umat muslim lain yang tidak satu golongan dengannya. Padahal semua umat Islam berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadits. Karena perbedaan pendapat mereka mengenai penafsiran dari al-Qur’an dan Hadits, maka timbulah berbagai pertikaian dan setiap mereka membuat suatu golongan Islam yang baru.
Awal terjadinya perpecahan umat Islam adalah terbunuhnya Utsman bin Affan khalifah ketiga pada hari Jum’at tanggal 18 Dzulhijjah tahun ke 35 H (656 M) setelah rumahnya dikepung oleh lima ratus penduduk Mesir yang dipimpin oleh Udais selama empat puluh tujuh hari. Peristiwa itu oleh para sejarawan disebut al-fitnah al-kubra juga disebut albab al-maftuh yang berarti terbukanya pintu perang saudara. Dari situlah muncul beberapa golongan yang hingga kini masih eksis di dunia Islam, salahsatunya yaitu syi’ah, Khawarij, dll.
Sejak munculnya kelompok-kelompok tersebut sampai dengan periode kekhalifahan tinggi (tahun 945) inilah yang melahirkan diskursus keilmuan Islam sekaligus melahirkan kelompok atau aliran fase pertama yang mengerucut pada empat tradisi keilmuan klasik yaitu ilmu kalam, fiqih, filsafat dan tasawuf, atau dalam terminologi Mohammad ‘Abid al-Jabiri disebut sebagai formasi akal Arab yaitu al-‘aql al-bayani (akal retorik) yaitu tumbuh kembangnya ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, balaghah, fiqh, usul fiqh, dan ilmu kalam, al-‘aql al-‘irfani (akal gnostik) yaitu tumbuh kembangnya filsafat iluminasionisme dan tasawuf, dan al-‘aql al-burhani (akal demonstratif) yaitu tumbuh kembangnya filsafat.
Diskursus keilmuan dan muncul aliran kelompok fase kedua adalah pada periode Islam Pertengahan Kemudian (1258-1503) dan periode Kekaisaran Mesir Serbuk (1503-1789), yaitu diawali dengan runtuhnya kekhalifahan Bani ‘Abbasiyah akibat ditaklukkan oleh kerajaan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M.
Rumusan Masalah
- Apa saja latar belakang terbentuknya Islam Tradisional, Modern, dan Fundamental ?
- Apa Itu Islam Tradisionalis ?
- Apa Itu Islam Modernis ?
- Apa Itu Islam Fundamentalis ?
Tujuan Makalah
- Mengetahui latar belakang terbentuknya Islam Tradisional, Modern, dan Fundamental.
- Mengetahui apa itu Islam Tradisionalis.
- Mengetahui Apa Itu Islam Modernis.
- Mengetahui Apa Itu Islam Fundamentalis.
BAB II PEMBAHASAN
LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA ISLAM TRADISIONAL, MODERN, DAN FUNDAMENTAL
Awal terjadinya skisme umat Islam adalah terbunuhnya Utsman bin Affan khalifah ketiga pada hari Jum’at tanggal 18 Dzulhijjah tahun ke 35 H (656 M) setelah rumahnya dikepung oleh lima ratus penduduk Mesir yang dipimpin oleh Udais selama empat puluh tujuh hari. Peristiwa itu oleh para sejarawan disebut al-fitnah al-kubra juga disebut albab al-maftuh yang berarti terbukanya pintu perang saudara.
Sepeninggal Utsman, Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah keempat. Diangkatnya Ali tidak mampu meredam konflik internal umat Islam. Dengan mengatasnamakan penuntasan pengusutan dalang di balik pembunuhan Utsman, mereka kemudian melakukan pemberontakan-pemberontakan, diantaranya yang dilakukan Aishah, Talhah, dan Zubair dalam perang Jamal, serta yang dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan gubernur Syiria dalam perang Shiffin.
Perang shiffin, berakhir dengan tahkim (arbitrasi, perwasitan) oleh para juru runding di Adhruh pada bulan Januari 659 M menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain bahwa pembunuhan Utsman tidak dapat dibenarkan dan akan dibentuk lembaga syura untuk pemilihan seorang khalifah yang baru.
Keputusan itu tidak tersampaikan kepada umat Islam saat itu, dan justru yang terjadi adalah pemihakan kepada Mu’awiyah yang mengakibatkan kekecewaan banyak pihak sehingga umat Islam saat itu terpecah menjadi empat kelompok yaitu pertama, ahl-shura atau yang lebih dikenal dengan Khawarij. Kelompok ini awalnya pendukung Ali, tetapi karena Ali menerima tawaran Mu’awiyah berdamai dengan cara tahkim maka mereka menyatakan ke luar dan menentang Ali sekaligus Mu’awiyah. Kedua, Syi’ah yaitu kelompok yang setia pada Ali dan menganggap Ali masih sebagai khalifah yang sah, bahkan kelompok ini berkeyakinan bahwa Ali-lah yang seharusnya sejak awal menggantikan Rasul SAW ketika wafat sebagaimana yang pernah dikatakan beliau di Ghadir Khum. Ketiga, kelompok Mu’awiyah yaitu mereka yang berasal dari Damaskus yang menganggap Mu’awiyah sebagai khalifah yang sah karena menang dalam diplomasi. Keempat, kelompok moderat atau netral yang menarik diri dari peraturan politik dengan personifikasi Hasan al-Basri (64-728).
Sejak munculnya kelompok-kelompok tersebut sampai dengan periode kekhalifahan tinggi (tahun 945) inilah yang melahirkan diskursus keilmuan Islam sekaligus melahirkan kelompok atau aliran fase pertama yang mengerucut pada empat tradisi keilmuan klasik yaitu ilmu kalam, fiqih, filsafat dan tasawuf, atau dalam terminologi Mohammad ‘Abid al-Jabiri disebut sebagai formasi akal Arab yaitu al-‘aql al-bayani (akal retorik) yaitu tumbuh kembangnya ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, balaghah, fiqh, usul fiqh, dan ilmu kalam, al-‘aql al-‘irfani (akal gnostik) yaitu tumbuh kembangnya filsafat iluminasionisme dan tasawuf, dan al-‘aql al-burhani (akal demonstratif) yaitu tumbuh kembangnya filsafat.
Gambar 1 : Polarisasi Pemikiran Islam Fase Pertama dalam perspektif al-Jabiri
Diskursus keilmuan dan muncul aliran kelompok fase kedua adalah pada periode Islam Pertengahan Kemudian (1258-1503) dan periode Kekaisaran Mesir Serbuk (1503-1789), yaitu diawali dengan runtuhnya kekhalifahan Bani ‘Abbasiyah akibat ditaklukkan oleh kerajaan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M.
Pada masa ini dunia Islam menampilkan tiga wajah buram yaitu pertama, kehilangan kreatifitas yang ditandai dengan maraknya tradisi sharah dan hashiyah yaitu aktifitas menafsirkan atau menjelaskan karya-karya ulama terdahulu. Kedua, kehilangan daya kontrol terhadap akulturasi budaya luar Islam yaitu semakin maraknya adopsi Islam terhadap budaya lokal dan meningkatnya kebutuhan untuk melakukan ritual dan tawasul terhadap orang-orang suci yang dianggap sebagai wali. Ketiga, menyibukkan diri membangun kesalehan teologis dan menghindar dari dinamika kehidupan antropologis, dengan menyibukkan pada kehidupan kelompok sufi yang membangun jaringan yang disebut dengan tarekat. Ketiga hal tersebut mengidentifikasikan munculnya gerakan Islam Tradisional.
Kehadiran Islam tradisional direspon oleh beberapa tokoh Islam yang risih dengan perilaku umat Islam yang dianggap semakin menjauh dari nuansa al-Qur’an dan al-Sunnah, di antaranya adalah Ibn Taymiyah dengan membawa jargon kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta membuka kembali pintu Ijtihad, Ia ingin mengembalikan Islam sebagaimana pada masa Nabi SAW dan al-Salaf al-Salih. Gerakan yang dilakukan oleh Ibn Taymiyah ini diidentifikasi sebagai Islam Revivalis.
Diskursus keilmuan dan munculnya kelompok atau aliran fase ketiga adalah ketika Islam terutama di wilayah Turki ‘Utsmani bersentuhan dengan Barat pada tahun 1700. Disusul kemudian dengan kedatangan Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tahun 1798 yang membawa perubahan di segala bidang, di antaranya dengan membawa mesin cetak berbahasa Arab yang merupakan rampasan dari Vatikan ke Kairo yang dijadikan sebagai alat propaganda Prancis dengan menggunakan Bahasa Arab, dan diresmikannya academic literaire (akademi sastra) yang dilengkapi dengan perpustakaan menjadikan orang Arab yang pada umumnya menjalani kehidupan yang mandiri, tradisional dan konvensional serta tidak menghiraukan kemajuan dunia luar, secara tiba-tiba tersentak dengan kedatangan bangsa Barat yang membantu mereka terbangun dari tidur panjangnya, dan mengobarkan api intelektual yang membakar semangat umat Islam, sehingga tahun tersebut dijadikan sebagai batasan sejarah pemikiran Arab modern.
Persentuhan antara Islam dan Barat menimbulkan banyak persepsi di kalangan umat Islam yang pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok aliran. Adonis mengidentifikasi khususnya di wilayah Arab ada dua kecenderungan yaitu al-thabit, pemikiran yang berdasar pada teks, dan al-mutahawwil yang dapat dimaknai dengan dua pengertian. Pertama, sebagai pemikiran yang berdasarkan pada teks, namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan. Kedua, sebagai pemikiran yang memandang teks tidak mengandung otoritas, dan pemikiran didasarkan pada ‘aql dan bukan naql.
Kelompok al-thabit berpandangan bahwa pengetahuan tekstual tidak dapat disejajarkan dengan kriteria apapun di luar dirinya, dan tidak dapat dimajukan di luar pengetahuan dirinya, serta bahasa Arab (sebagai bahasa al-Qur’an) dan kreatifitasnya tidak dapat disejajarkan dengan kriteria apapun di luar dirinya. Sedangakan kelompok al-mutahawwil berpandangan dengan tiga prinsip yaitu kebebasan berkreasi tanpa batas, ketidakberhinggaan pengetahuan dan ketidakberhinggaan eksplorasi, serta kelainan, perbedaan dan pluralitas.
Charles Kurzman mengidentifikasikan ke dalam tiga kelompok tradisi. Pertama, Islam Adat (Customary Islam) yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di seluruh dunia Islam. Kedua, Islam Revivalis (Revivalist Islam) atau juga disebut Islam Fundamentalis yang mendefinisikan dirinya berbeda dengan Islam Adat dan menyerukan keutamaan Islam pada periode paling awal (al-salaf al-salih) untuk menegaskan ketidak-absahan praktek-praktek keagamaan masa kini yaitu praktek-praktek yang tidak islami yang berkembang beberapa abad setelah Islam diwahyukan, mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana pada masa jaya, menyerang interpretasi adat yang kurang memberi perhatian pada doktrin Islam, membersihkan pusat-pusat strategis tradisi Islam adat. Ketiga, Islam Liberal (Liberal Islam) berpandangan sebagaimana Islam Revivalis terhadap Islam Adat, dengan menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas.
Senada dengan Kurzman, Akbar S Ahmad mengidentifikasikan terdapat segitiga kesarjanaan muslim yaitu Tradisionalis, Radikalis, dan Modernis. Kelompok Tradisonalis adalah mereka yang memandang perlunya dialog antara Islam dan Barat karena di antara keduanya terdapat universalime pesan Tuhan dan dialog antar iman. Kelompok Modernis adalah mereka yang menganggap agama tidak lagi sebagai kekuatan atau bimbingan. Sedangkan kelompok Radikalis adalah mereka yang sudah kehilangan kesabaran terhadap Barat dan mengajak untuk melakukan revolusi.
Kelompok-kelompok aliran tersebut terus mengkristalisasi sehingga membentuk peta pemikiran Islam kontemporer23 yang dapat diklasifikasikan pada tiga tipologi.
Pertama, tipologi transformatik yaitu para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dengan kecenderungan mistik dan tidak berdasarkan pada nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang, karenanya harus ditinggalkan.
Kedua, tipologi reformistik yaitu para pemikir Arab yang melakukan reformasi dengan mengadakan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan cocok dengan tuntutan zaman. Kelompok ini mempunyai dua kecenderungan yaitu pertama, pemikir yang memakai metode rekonstruktif yaitu melihat tradisi (turath) dengan perspektif pembangunan kembali, yang berarti agar tradisi tetap hidup dandapat diterima, maka ia harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka modern dan pra-syarat rasional. Kecenderungan kedua, yang menggunakan metode dekonstruktif yang merupakan fenomena baru pemikir Arab. Para pemikir dekonstruktif dipengaruhi oleh sosiologi mazhab Prancis terutama gerakan Post-strukturalis dan Post-Modernisme.
Ketiga, tipologi ideal-totalistik yaitu kelompok yang hendak menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya dan peradaban, mereka menolak unsur-unsur asing dari Barat, menyerukan kepada keaslian Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan para khulafa’ al-rasyidin, dan kembali kepada sumber asli ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dari uraian para islamolog di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok aliran dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu kelompok islam tradisional, modernis, liberalis, dan fundamentalis.[1]
ISLAM TRADISIONALIS
Pengertian Islam Tradisionalis
Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris “tradition” yang artinya tradisi.[2] Sedangkan kata tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, dan ajaran yang turun temurun dari leluhur.[3] Dalam bahasa Arab kata tradisi merupakan salah satu makna dari kata “sunnah” selain makna norma, aturan, dan kebiasaan.[4] Sedangkan kata “sunnah” mempunyai arti segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat menjadi rasul atau sesudahnya.[5]
Islam Tradisional mengandung pengertian yang luas, karena tradisi pada umumnya difahami sebagai hasil perlembagaan praktik-praktik keagamaan yang diyakini bersumber pada syariah, maka tradisionalisme islam diyakini oleh para pendukungnya sebagai Islam murni.[6]
Atas dasar pengertian ini, maka kaum orientalis Barat menyebut kepada setiap orang yang berpegang teguh kepada al-Sunnah Rasulullah SAW. Bahkan kepada mereka yang berpegang teguh kepada al-Qur’an sebagai kaum tradisionalis. Hal yang demikian itu mereka dasarkan pada pandangannya, bahwa al-Qur’an merupakan warisan ajaran dari Tuhan yang bersifat abadi, sedangkan sunnah merupakan warisan ajaran dari Nabi Muhammad SAW.[7]
Baharuddin Ahmad (1994) mengatakan bahwa menurut masyarakat tradisional Tuhan adalah dasar atau asas dari segala-galanya. Secara teoritis golongan tradisional atau perennial menganggap bahwa kehadiran Tuhan itu sesuatu yang nyata, Tuhan hidup dalam segala tradisi, mengatasi sejarah dan masa. Manusia adalah tafsiran Tuhan dalam arti Tuhanlah yang merancang dan merencanakan kelahiran manusia dan alamnya melalui “tipe induk” atau a’yan tsabita dalam istilah Ibnu ‘Arabi.[8]
Realitas langit merupakan realitas objektif dan realitas bumi merupakan realitas subjektif. Karena itu jika berbicara mengenai tingkatan ilmu, ilmu keagamaan bagi masyarakat tradisional merupakan ilmu tertinggi (karena paling objektif), dan ilmu teknologi adalah ilmu terendah. Dalam pandangan tradisionalis, setiap yang modern bisa dicampuradukkan antara satu dengan yang lain (sintesis). Bagi yang spiritual atau tradisional tidak boleh dicampuradukkan, karena perlu diketahui mana yang lebih utama. Pencampuradukkan berarti menyamaratakan semuanya sekaligus. Padahal dalam perspektif tradisional terdapat hierarki, ada yang horizontal dan vertikal, ada pula yang luar dan yang dalam.[9]
Pada prinsipnya kaum tradisionalis yakin bahwa kebudayaan, pemikiran, dan kebudayaan modern adalah buruk, karena tidak berasaskan prinsip keagamaan dan keruhanian. Dimensi social adalah dimensi kedua, sedangkan individual adalah yang utama atau hakikat ada di dalam diri. Manusia bersosialisasi jika ada keperluan saja. Ulama tradisionalis tidak mau melakukan adaptasi dan kompromi termasuk menerima kemajuan IPTEK yang berasal dari barat karena mereka berpendapat bahwa barat adalah musuh islam, maka baik politik maupun budyanya harus ditolak. Mereka berpandangan bahwa umat islam tidak perlu mengikuti pemikiran barat, karena islam adalah agama yang sempurna. Ulama tradisionalis lebih cenderung kembali ke masa lalu dalam usaha mencari jawaban Islam terhadap tantangan masa kini. Mereka yakin bentuk kehidupan umat Islam abad ketujuh sudah sempurna dan tidak perlu diubah dan disesuaikan dengan abad baru.[10]
Dari sini terlihat bahwa filsafat tradisi atau perennialis menentang segala bentuk kemodernan terutama dalam hal teknologi dan estetika. Hal itu dikarenakan kedua hal tersebut telah memberikan kerusakan pada roh manusia sehingga merupakan manifestasi atau kenyataan zaman gelap, zaman akhir, iron age, zaman tanzibah, zaman penghisaban, yaitu zaman manusia kehilangan Tuhan dan makna.[11]
Dalam perkembangan selanjutnya, Islam tradisionalis tidak hanya ditunjukkan kepada mereka yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah saja, tetapi juga kepada produk-produk pemikiran (hasil ijtihad) para ulama yang dianggap unggul dan kokoh dalam berbagai bidang keilmuan. Pemikiran para ulama dalam berbagai bidang yang pada hakikatnya merupakan hasil penalaran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut harus dipegang teguh dan tidak boleh diubah. Dalam hal demikian Islam tradisionalis tidak lagi membedakan antara ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dengan ajaran yang merupakan hasil pemahaman terhadap keduanya.[12]
Ciri-Ciri Islam Tradisionalis
Berikut ini adalah ciri-ciri dari Islam Tradisionalis, yaitu[13] :
- Bersifat eksklusif (Tertutup), yaitu maksudnya Islam Tradisionalis tidak mau menerima pemikiran, pendapat, saran yang berasal dari luar terutama dalam bidang keagamaan.
- TIdak dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat ajaran dengan yang non ajaran. Maksudnya Islam tradisionalis menganggap semua hal yang ada hubungannya dengan agama sebagai ajaran yang harus dipertahankan.
- Berorientasi ke belakang. Maksudnya Islam tradisionalis menilai bahwa berbagai keputusan hukum yang diambil oleh para ulama di masa lampau merupakan contoh ideal yang harus diikuti.
- Cenderung tekstualis-literalis. Maksudnya Islam Tradisionalis cenderung memahami ayat-ayat al-Qur’an secara tekstualis tanpa melihat latar belakang serta situasi sosial yang menyebabkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut diturunkan. Akibatnya jangkauan pemakaian suatu ayat sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu saja, tanpa mampu menghubungkannya pada situasi lain yang memungkinkan dijangkau oleh ayat yang dimaksud. Sedangkan dengan cirinya yang literalis, Islam tradisionalis kurang dapat menangkap pesan atau makna yang terkandung di belakang suatu ayat. Akibatnya mereka meniru segala macam yang dicontohkan Nabi dan ulama masa lampau, seperti cara Nabi berpakaian berikut modelnya seperti mengenakan jubah, berjanggut, memakai sorban, dll.
- Cenderung kurang menghargai waktu, maksudnya Islam Tradisionalis cenderung melakukan sesuatu tanpa memperhitungkan waktu yang dikeluarkan.
- Cenderung tidak mempermasalahkan tradisi yang terdapat dalam agama.
- Cenderung lebih mengutamakan perasaan daripada akal pikiran. Maksudnya mereka cenderung melakukan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk konsumsi perasaan, walaupun untuk itu mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dalam kaitan ini, Islam tradisionalis banyak terlihat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual keagamaan seperti memperbanyak dzikir, berdo’a, mengadakan selametan bersama, dan sebagainya tanpa diimbangi dengan usaha yang keras di bidang keduniaan.
- Cenderung bersifat Jabariyah dan teoritis, yaitu sikap pasrah, tunduk dan patuh pada Tuhan diiringi dengan keyakinan bahwa segala sesuatu jika Tuhan mengizinkan akan terjadi. Namun hal tersebut harus diimbangi dengan usaha yang berpengaruh terhadap keputusan Tuhan.
- Kurang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Maksudnya Islam tradisionalis sering melakukan pekerjaan dengan cara-cara yang mereka lakukan sejak dahulu kala, tanpa disertai dengan upaya untuk memperbaiki cara kerja yang lebih efisien, efektif, cepat, dan tepat.
- Jumud dan Statis, maksudnya adalah Islam tradisionalis cenderung tidak mau mengikuti perubahan dan mempertahankan apa-apa yang dipandangnya sudah baik sejak dahulu, tanpa mempertanyakan secara kritis apakah apa-apa yang mereka pertahankan itu masih cukup dan mampu bersaing dengan kekuatan lain.
Islam Tradisional di Indonesia
Pada beberapa gerakan Islam tradisional pengaruh kebudayaan lokal cukup kuat dalam implementasi ritual keagamaan, bahkan secara kultural dapat dikatakan bersifat sinkretik. Hal ini membuat tradisi pada wilayah tertentu melebur dengan praktik keagamaan masyarakat di daerah tersebut. Gerakan Islam di Indonesia yang pernah berada atau masih bertahan pada jalur tradisional diantaranya adalah Nahdhatul Ulama, tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah, dan gerakan Jama’ah Tabligh. Beberapa dari gerakan ini telah mengalami banyak perkembangan dan memiliki kecenderungan modernitas dalam aktivitasnya.[14]
Nahdhatul Ulama
Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) dipandang sebagai pelembagaan tradisi keagamaan yang sudah mengakar di wilayah Jawa. Kultur masyarakat Jawa sebagai tempat kelahiran NU memberikan banyak pengaruh pada karakteristik gerakan dakwah NU selanjutnya. Peleburan antara tradisi lokal dengan praktik keagamaan adalah salah satu karakteristik yang menjadi ciri khas masyarakat NU. Sejak awal berdirinya NU dipandang sebagai organisasi para ulama tua di daerah pedesaan yang secara agama bersifat kultural, secara intelektual sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politik bersifat oportunis. Namun anggapan ini berkembang sebelum tahun 1970-an. Perkembangan NU pada tahun 1970-an mulai menunjukkan bahwa NU telah menjadi sebuah organisasi yang progresif. Hal ini ditunjukkan melalui dinamika NU pada masa orde baru yang sudah dapat bereaksi terhadap kebijakan pemerintah pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa NU mengalami perubahan pada orientasinya.
Pada masa pembentukan awal NU adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang mengumpulkan ulama dari berbagai daerah untuk melawan kolonialisme, namun pada perjalanannya NU pun memasuki ranah politik dan bergabung dengan Masyumi hingga selanjutnya berdiri sendiri sebagai partai politik.
NU lahir dari kultur masyarakat penganut Ahlussunnah wal Jama’ah, upaya untuk melembagakan kulturnya didorong oleh situasi kolonialisme yang melahirkan gerakan sosial-politik. Pelembagaan kultur NU juga menjadi salah satu upaya untuk pembelaan kalangan Islam tradisional di Jawa terhadap arus pembaruan yang mulai masuk ke Indonesia.
Sejak awal terbentuknya NU merupakan penganut Ahlussunnah wal Jama’ah Sebuah paham keagamaan di kalangan NU yang bersumber pada kitab al-Quran dan al-Sunnah. Secara harfiah Ahlussunnah wal Jama’ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Secara ringkas berarti segolongan pengikut jejak Nabi Muhammad yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktikkan oleh sahabat Nabi.
K.H. Bisri Mustofa, seorang ulama asal Rembang, mengartikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai faham yang berpegang teguh kepada tradisi. Aspek yang mencerminkan hal tersebut terdapat dalam bidang hukum-hukum Islam karena Ahlussunnah wal jama’ah menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). Dalam praktik keagamaan, para kiai merupakan penganut kuat madzhab Syafi’i, sedangkan dalam hal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Aspek lainnya yang juga mencirikan paham Ahlussunnah wal Jama’ah adalah dalam bidang tasawuf yang menganut dasar-dasar Imam Abu Qosim al-Junaidi.
Operasionalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah seperti inilah yang membedakannya dengan kalangan pembaru yang juga mengatakan dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah, namun hanya berpegang pada al-Quran dan Sunnah. Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut oleh NU berbeda dengan yang dianut oleh umat Islam lain, hal ini karena ajaran yang diterapkan dan dipraktikkan oleh kiai NU disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Faham Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipegang oleh para kiai mempunyai arti yang lebih sempit dari pengertian faham yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dan Ijma’ para sahabat. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah di sini mencirikan konsep dari Islam tradisi. Ajaran agama berakulturasi dengan kehidupan kultural dan sosial masyarakat Indonesia.
Aspek tradisi pada keagamaan yang dipegang oleh NU akhirnya melahirkan sikap-sikap yang menjadi ciri khas normatif organisasi NU. Sikap-sikap tersebut diantaranya adalah sikap tengah yang berintikan tentang prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama, sikap toleran terhadap perbedaan, terutama hal-hal yang bersifat cabang dari sebuah pemahaman, serta dalam soal kemasyarakatan dan kebudayaan. Sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, manusia, lingkungan hidupnya, serta menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang, sikap selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dalam memandang dunia, NU menjadikan tasawuf sebagai salah satu ajaran yang bersatu dengan konsep keagamaannya. Tasawuf adalah pedoman bagi adanya perilaku berahlak. Bentuk perilaku ini adalah tarekat, yang didalamnya terdapat dzikir berulang-ulang. NU menjadikan tasawuf sebagai bagian dari ibadah, dan ibadah dipandang sebagai hal yang akan membawa seseorang menuju perjalanan akhirat. Karena itu seluruh kehidupan di dunia ini penuh dengan peribadatan. Meskipun demikian, faham keagamaan NU adalah sebuah nilai yang dinamis, tidak berhenti pada penyerahan diri kepada Tuhan, dan bukan faham keagamaan yang tidak menghiraukan kehidupan dunia. Namun sebaliknya, kehidupan dunia disubordinasikan dalam rangkuman nilai Ilahiah sebagai sumber nilai tertinggi.
Pada persoalan-persoalan hukum, NU merupakan pengikut madzhab Imam Syafi’i yang dikenal sebagai “jalan tengah” dari dua Imam sebelumnya yakni Imam Hanafi dan Imam Maliki. Imam Hanafi adalah Imam yang terkenal dengan rasionalitasnya dalam menetapkan hukum-hukum, sedangkan Imam Maliki dikenal dengan tradisionalisnya. Penerimaan madzhab bagi NU tidaklah mutlak, melainkan melewati diskusi panjang yang pada akhirnya menghasilkan konsensus.
Kedudukan ulama pada NU sangatlah penting, penghormatan yang tinggi terhadap ulama merupakan refleksi dari tradisi berfikir yang menggunakan madzhab. Hal ini tidak terlepas dari sosok ulama itu sendiri, fungsi, dan tugasnya. Memiliki pengalaman atas ilmu yang diemban adalah salah satu hal yang membuat seseorang dikatakan sebagai ulama. Selain sebagai pengemban ilmu yang bermanfaat, seorang ulama haruslah sekaligus menjadi pelaksana dari ilmunya dan melakukan penyiaran terhadap ilmu yang diemban. Seorang ulama haruslah senantiasa mempunyai komitmen terhadap tugas menyiarkan dan memasyarakatkan ilmunya guna memberikan informasi, bimbingan dan tuntunan kepada masyarakatnya. Seorang ulama juga harus tunduk sepenuhnya kepada Al-Quran dan memiliki kesadaran terhadap kepastian terjadinya janji dan ketentuan Tuhan. Hal kutural lain yang harus dimiliki oleh seorang ulama adalah sikap rendah hati.
Untuk memperoleh gelar ulama memerlukan pengakuan dari masyarakat atas kepribadian seseorang secara utuh. Pada struktur sosial masyarakat pedesaan yang memiliki ulama, maka ulama tersebut memiliki posisi elite atau lebih tepatnya sebagai elite tradisional. Seorang ulama memiliki otoritas yang tinggi, hal ini tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya melainkan juga atas dasar keturunan dan kemampuan seseorang dalam menguasai sumber-sumber nilai dan pengetahuan yang menjadi dasar bagi bangunan dan kebudayaan masyarakat tersebut. Ada tiga sumber otoritas yang dimiliki ulama di pedesaan, ia adalah keturunan atau keluarga dekat dari ulama sebelumnya. Kedua adalah kedalaman ilmu serta perilakunya, dan yang ketiga ia adalah ”tuan tanah”. Lewat tiga sumber otoritas yang dimiliki ini ulama menjadi tempat bergantung masyarakat disekitarnya untuk mendapatkan jalan keluar bagi berbagai persoalan.
Beberapa aspek pada NU yang telah dijelaskan diatas seperti madzhab, tasawuf, dan kedudukan ulama merupakan hal-hal yang menggambarkan ciri tradisional. Akulturasi antara kebudayaan lokal dengan aktivitas keagamaan juga menjadi indikasi yang mencirikan NU sebagai sebuah gerakan Islam tradisional. Kondisi ini tidaklah statis, pada perjalanannya NU berdinamisasi dengan dunia Islam kontemporer. Progresivitas NU mulai terlihat pada tahun 1970-an, terutama setelah deklarasi “kembali ke khittah 1926”. Pemaparan mengenai NU pada masa awal pembentukan ini bermaksud memberikan gambaran mengenai aspek tradisional yang muncul di tubuh NU sebagai salah satu gerakan Islam di Indonesia.[15]
ISLAM MODERNIS
Pengertian Islam Modernis
Kata moderins yang berada di belakang kata Islam, berasal dari bahasa Inggris “modernistic” yang berarti model baru.[16] Selanjutnya dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata modern diartikan sebagai yang terbaru atau mutakhir.[17]
Selanjutnya kata modern erat pula kaitannya dengan kata “modernisasi” yang berarti pembaharuan atau tajdid dalam bahasa arab. Dalam masyarakat barat, modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, instituisi-instituisi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kata tersebut selanjutnya masuk ke dalam literature Islam. Dalam hubungan ini modernisasi mengalami perbedaan dengan modernisasi yang terjadi di Barat.
Dalam Islam, modernisasi berarti upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian yang diperbaharui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbaharui atau mengubah apa yang terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, tetapi merubah atau memperbaharui hasil pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits.[18]
Islam modernis sendiri adalah paham ke-Islaman yang didukung oleh sikap yang rasional, ilmiah serta sejalan dengan hukum-hukum Tuhan baik yang terdapat dalam al-Quran maupun alam raya. Islam modernis memiliki pemikiran yang dinamis, progressif dan mengalami penyesuaian dengan ilmu pengetahuan.
Islam modernis timbul di periode sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Gerakan Islam modernis timbul dalam rangka menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharapkan akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.
Gerakan Islam modernis juga timbul sebagai respon terhadap berbagai keterbelakangan yang dialami oleh umat Islam, seperti keterbelakangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan lain sebagainya. Keadaan ini dianggap tidak sejalan dengan Islam sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam kedua sumber ajaran tersebut, Islam digambarkan sebagai agama yang membawa kepada kemajuan dalam segala bidang untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia.
Beberapa hal yang menyebabkan kemunduran umat Islam diantaranya karena meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran yang datang dari luar Islam serta perpecahan umat Islam itu sendiri. Melalui kesadaran inilah akhirnya muncul berbagai gagasan yang bertujuan membawa masyarakat Islam pada kondisi yang lebih dinamis dan keluar dari lingkaran statis yang dianggap menjadi penyebab kemunduran Islam.
Salah satu bentuk pergerakan yang tumbuh dari proses modernisasi adalah konsep mengenai ”sosialisme Islam” dan kemudian ”Marxisme Islam.” Kelompok yang mengikuti pergerakan ini dipengaruhi oleh Soviet dan dunia sosialis yang pada saat itu pro-Arab dalam sengketa Arab-Israel. Penerimaan slogan ”Sosialisme Islam” merupakan pengaruh konsep keadilan sosial dari sosialisme dan karena keinginan kelompok ini untuk menyebarluaskan keadilan dalam masyarakat. Pandangan ideologis ini didukung oleh negara dan digunakan oleh kekuatan politis yang ada, yang bersimpati kepada Soviet. Sosialisme Islam di Wilayah Arab Timur telah menggantikan Sosialisme Arab, khususnya di negara Syiria dan Irak.
Kemunculan Marxisme Islam dikaitkan dengan kelompok-kelompok ekstrem tertentu di Timur Tengah yang menggunakan ideologi politik Marxis beserta sarana pencapaiannya. Marxisme Islam diartikan sebagai kekuatan politik revolusioner, dalam pengertian bahwa revolusi dipahami dalam konteks Marxis dan aliran pasca-Marxis dalam sejarah Eropa. Pergerakan ini banyak mendapat dukungan dari Negara Ketiga macam sebab yang membawa kemunduran umat Islam tersebut dikemukakan oleh Jamaludin al-Afghani yang dikutip Harun Nasution, Eropa. Pemaparan di atas menggambarkan bagaimana Islam modern dapat muncul dan berkembang di Dunia Islam. Beberapa pemikiran Islam modern tersebut ada yang sampai ke Indonesia dan menjadi cikal bakal organisasi Islam modern di Indonesia.
Ciri-Ciri Islam Modernis
kelompok Islam Modernis yaitu kelompok Islam mutahawwil yang berpandangan bahwa interpretasi teks harus beradaptasi dengan realitas (menurut istilah Adonis), kelompok liberal-modernis (menurut istilah Charles Kurzmen) atau kelompok Islam reformistik (menurut istilah Issa J. Boullata).[19]
Ciri-ciri kelompok aliran ini yatiu[20] :
- Menggunakan teks dengan interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan.
- Menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas.
- Membangun tradisi secara baru dengan kerangka modern dan pra-syarat rasional.
Islam Modernis di Indonesia
Gerakan Islam modern di Indonesia muncul pada awal abad kedua puluh. Pada tahun 1906 kelompok muda di wilayah Sumatera Barat yang dipelopori oleh Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidi melakukan protes terhadap struktur kekuasaan adat yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk bergerak. Kelompok yang terdiri dari ulama dan cendekiawan ini bermaksud untuk merubah beberapa hal pada ketentuan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang mereka pahami. Minangkabau adalah daerah yang mempunyai peranan penting dalam penyebaran cita-cita pembaruan ke daerah-daerah lain. Di daerah inilah pertama kali muncul tanda-tanda pembaruan.
Pada masa awal modernisasi Islam di Indonesia muncul beberapa pergerakan di Indonesia yang membawa sifatnya sendiri-sendiri. Pada saat itu terdapat partai yang pro golongan kebangsaan seperti Persatuan Muslim Indonesia, serta terdapat juga organisasi yang bersifat toleran seperti Muhammadiyah. Berbeda dengan kelompok tradisi pada saat itu, golongan pembaru beranggapan bahwa pembaruan Islam ialah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Golongan pembaru berusaha untuk mengembalikan ajaran dasar dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam agama.
Sejak kemunculan kelompok ini, pembicaraan mengenai Islam tidak hanya di pesantren, langgar, dan masjid, melainkan dibawa ke tengah-tengah masyarakat secara terbuka melalui surat kabar, majalah, serta tabligh di gedung-gedung besar. Islam pun mulai masuk ke pelajaran di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda. Melalui organisasi kalangan modern ini Islam menjadi kekuatan sosial yang terorganisir dan bergerak pada tingkat nasional. Beberapa organisasi Islam Modern di Indonesia yang masih bertahan hingga saat ini yakni, Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).
Muhammadiyah
Salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo.
Pada awal pembentukannya, organisasi ini bertujuan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang bersifat permanen dan mengembalikan ajaran Islam kepada kemurniannya serta membuang kebiasaan-kebiasaan yang tidak perlu. Ahmad Dahlan melihat beberapa hal dalam masyarakat yang beragam belum sejalan dengan Islam yang bersifat egaliter. Karena hal inilah ia beranggapan bahwa dakwah dalam masyarakat perlu ditingkatkan. Apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini sejalan dengan Q.S Ali Imran ayat 104 yang artinya :
”Adakanlah diantara kamu satu golongan umat yang mengajak berbuat baik dan menyuruh berbuat ma’ruf, serta mencegah berbuat munkar. Mereka itulah yang akan beroleh kemenangan.”
Gagasan Ahmad Dahlan pada saat pembentukan Muhammadiyah memiliki ciri yang khas, yakni kaidah-kaidahnya yang mengikuti organisasi modern. Kegiatan Muhammadiyah tidak semata tumbuh dari buah pemikiran pemimpinnya saja. Pengaruh-pengaruh luar juga masuk dalam struktur Muhammadiyah seperti pembentukan Kepanduan yang disebut dengan Hizbul Wathan dan Aisiah. Pengaruh luar yang masuk ke pulau Jawa dianggap sebagai tantangan sekaligus contoh bagi pemimpin-pemimpin Muslim tersebut. Pada saat itu banyak misionaris kristen yang memasuki wilayah Jawa, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para misionaris inilah yang banyak dicontoh oeh Muhammadiyah. Perawatan fakir miskin dan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan serta pengumpulan zakat dilakukan sebagai sebuah inovasi dari sebuah organisasi. Demikian pula dengan pembangunan klinik kesehatan.
Bagian lain dari Muhammadiyah adalah Majelis Tarjih. Majelis ini didirikan atas keputusan kongres Muhammadiyah di Pekalongan pada tahun 1927. Fungsi dari majelis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu yang menjadi polemik masyarakat Muslim.
Masalah-masalah tersebut tidak semata-mata dalam bidang agama, namun juga ada berbagai masalah dalam arti luas. Karena setiap pendapat dari sebuah permasalahan harus dilandaskan atas syari’ah, seperti masalah sistem bank, pakaian, dan sebagainya. Dalam mengadakan kegiatan-kegiatan pada masa awal pembentukannya Muhammadiyah masih memilik ruang gerak yang terbatas. Namun setelah tahun 1917 Muhammadiyah mulai mengalalami perluasan wilayah ke seluruh wilayah Jawa.
Sebagai organisasi yang mengusung pembaruan dalam Islam, Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam modern yang berkembang hingga saat ini. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah memperluas geraknya dalam bidang politik, namun tetap memegang prinsip gerakannya yang berada pada jalur mengupayakan kesejahteraan masyarakat Islam. Muhammadiyah adalah salah satu contoh gerakan modern yang membuka dirinya terhadap perubahan dan berdinamisasi dengan kondisi masyarakat Islam sejak ide awal pembentukannya.
Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam modernis yang mengusung pembaruan dan peningkatan kesejateraan umat Islam melalui pendidikan dan kesehatan. Muhammadiyah menginginkan agar umat Islam kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara murni tanpa terkontaminasi hal-hal yang bersifat tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Hingga saat ini Muhammadiyah tetap bergerak dan merupakan salah satu organisasi dengan jama’ah yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Muhammadiyah adalah salah satu contoh gerakan Islam modern yang mengusung pembaruan dan berusaha menghilangkan nilai-nilai tradisi dalam agama. Hingga saat ini Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia terbesar bersama NU.[21]
ISLAM FUNDAMENTALIS
Pengertian Islam Fundamentalis
Kata “fundamentalis” berasal dari bahasa Inggris yang berarti pokok, asas, fundamental.[22] Sedangkan kata pokok atau asas dalam bahasa Indonesia berarti dasar, alas, pondamen, atau sesuatu yang menjadi pokok dasar atas tumpuan berfikir (berpendapat) dan sebagainya serta cita-cita yang menjadi dasar.[23]
Jika pengertian kebebasan dari dua kata tersebut disatukan, yakni Islam Fundamentalis, maka pengertiannya adalah Islam yang dalam pemahaman dan praktiknya bertumpu kepada hal-hal yang asasi. Dengan demikian secara harfiah semua orang Islam yang percaya kepada Rukun Iman yang enam dan menjalankan Rukun Islam yang lima dapat disebut sebagai Islam Fundamentalis, karena apa yang disebut ajaran fundamental dalam Islam tercakup dalam Rukun Iman dan Rukun Islam itu.[24]
Fundamentalisme Islam dalam pengertian dasarnya adalah sikap dan pandangan yang berpegang teguh kepada hal-hal yang dasar dan pokok dalam Islam dengan tidak mempertentangkannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.[25]
Ciri-Ciri Islam Fundamentalis
Kelompok Islam Fundamentalis yaitu kelompok Islam al-thabit (menurut istilah Adonis), kelompok Islam Revivalis (menurut istilah Charles Kurzmen dan Akbar S. Akhmad), atau kelompok Islam Ideal-Totalistik (menurut istilah Issa J. Boullata).[26]
Ciri-ciri kelompok aliran ini yaitu[27] :
- Tekstual,
- Menyerukan keutamaan Islam pada periode Nabi dan al-Khulafa. al-Rashidin (al-Salaf al-Salih),
- Kembali ke sumber pokok Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah),
- Menolak unsur-unsur asing dari Barat.
Islam Fundamentalis di Indonesia
Munculnya gerakan keagamaan yang berkarakter fundamentalis merupakan fenomena penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer di Indonesia. Istilah Islam fundamentalis sebagai sebuah kesatuan dari berbagai fenomena sosial keagamaan dari kelompok-kelompok muslim yang sedemikian kompleks.22 Hal ini disebabkan definisi yang dibuat tidak sepenuhnya mampu mendeskripsikan fenomena beragam atas gerakan-gerakan keagamaan yang muncul di Indonesia. Selain itu, dalam beberapa literatur, istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena kontemporer “fundamentalisme Islam” tidaklah seragam. Istilah Islam fundamentalis seringkali dipakai secara overlapping dengan istilah Islam radikal atau Islam revivalis.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik yang menjadi platformgerakan fundamentalis di Indonesia, terdapat beberapa kelompok yang diasumsikan sebagai kelompok Islam fundamentalis. Di antaranya adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad. Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah: Apa warna ideologi yang khas dari sebuah gerakan Islam fundamentalis?
Secara umum, meminjam terminologi Shireen T Hunter dapat diidentifikasi landasan ideologis yang dijumpai dalam gerakan-gerakan tersebut.
Pertama, konsep Din wa Daulah (agama dan negara). Dalam konsep ini, Islam dipahami sebagai sistem hidup total, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan, waktu dan tempat. Pemisahan antara agama (din) dan Negara (daulah) tidak dapat diterima oleh kelompok fundamentalis sehingga agama dan negara dipahami secara integralistik.
Kedua, mereka ingin kembali kepada al-Qur’an dan Sunah. Dalam konsepsi ini, umat Islam diperintahkan untuk kembali kepada akar-akar Islam awal dan praktik Nabi SAW yang puritan dalam mencari keaslian (otentisitas) dan pembaruan. Jika umat Islam tidak kembali ke ’jalan yang benar’ dari para pendahulu mereka, maka mereka niscaya tidak akan selamat. Mereka kembali kepada a l-Qur’an dan Sunah dipahami secara skriptual dan totalistik.
Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai dan budaya Barat ditolak karena dianggap sebagai sesuatu yang asing bagi Islam. Oleh karena itu, media massa diupayakan untuk menyebarkan nilai-nilai dan praktik Islam yang otentik ketimbang menyebarkan pengaruh-pengaruh budaya asing yang sekuler. Pemahaman ini menyaratkan adanya penegakan keadilan sosial ekonomi sehingga doktrin tentang zakat sangat ditekankan. Karena dalam hubungannya dengan kebijakan negara, maka dianggap dapat memajukan kesejahteraan sosial dan mampu memperbaiki kesenjangan kelas di kalangan umat.
Keempat, berpegang teguh pada kedaulatan syariat Islam. Tujuan utama umat Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi ini. Tujuan ini bisa dicapai dengan membangun tatanan Islam (Nizham al-Islam) yang memosisikan syariat sebagai Undang-Undang tertinggi. Dari pemahaman ini, maka agenda formalisasi syariat Islam menjadi entry point bagi terbentuknya negara Islam sehingga syariat Islam benar-benar dapat diperlakukan dalam hukum positif, baik hokum perdata seperti perkawinan, perceraian, waris, maupun hukum jinayatseperti potong tangan dan lain sebagainya.
Kelima, menempatkan jihad sebagai instrumen gerakan. Umat Islam diperintahkan untuk membangun masyarakat ideal sebagaimana telah digariskan dan sesuai dengan syariat Islam. Oleh sebab itu, diperlukan adanya upaya untuk menghancurkan kehidupan jahiliyah dan menaklukkan kekuasan-kekuasaan duniawi melalui jihad atau perang suci. Jihad tidak dilakukan dalam pengertian defensif semata, tapi memuat tujuan jihad untuk menaklukkan semua hambatan penyiaran Islam ke seluruh dunia, yang meliputi negara, sistem sosial dan tradisi-tradisi asing.
Keenam, perlawanan terhadap Barat yang hegemonik dan menentang keterlibatan mendalam dari pihak Barat untuk urusan dalam negara Islam, seperti yang terjadi di Irak, Libya, Bosnia, Afghanistan dan Palestina. Mereka merasa harus mendeklarasikan perlawanannya terhadap Barat karena umat Islam sudah diperlakukan dengan tidak adil, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Dominasi Barat atas negara Islam tidak dalam kapasitas saling bekerjasama melainkan memojokkan dan memusuhi. Pada gilirannya, ketidakadilan Barat dilawan dengan aksi-aksi kekerasan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ideologi-ideologi inilah yang menyatukan gerakan-gerakan Islam di berbagai negara termasuk Indonesia.
Adapun yang membedakan di antara mereka terletak pada bentuk artikulasi gerakan. Dalam hal ini, mereka sangat tergantung pada problem yang dihadapi di negara masing-masing. Di Indonesia misalnya, antara Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia dan Front Pembela Islam (FPI) memiliki kesamaan ideologi, namun cara menerjemahkan ideologi dan praktik gerakannya satu sama lain memiliki perbedaan.
Dari paparan di atas, menjadi penting untuk dikembangkannya ideologi agama yang bercorak inklusif, yang tidak saja memberi penyadaran kepada umat Islam bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan, tetapi juga mengajarkan perdamaian di muka bumi ini. Ideologi agama yang bersifat inklusif jelas memfasilitasi perbedaan dan keanekaragaman perbedaan pemahaman keagamaan, baik internal, maupun eksternal. Pemahaman ini dapat memengaruhi gerakan-gerakan Islam untuk tidak lagi dituding sebagai pelaku terjadinya aksi kekerasan atau terorisme.[28]
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Awal mula terjadinya perpecahan umat Islam adalah terbunuhnya Utsman bin Affan khalifah ketiga pada hari Jum’at tanggal 18 Dzulhijjah tahun ke 35 H (656 M) setelah rumahnya dikepung oleh lima ratus penduduk Mesir yang dipimpin oleh Udais selama empat puluh tujuh hari. Peristiwa itu oleh para sejarawan disebut al-fitnah al-kubra juga disebut albab al-maftuh yang berarti terbukanya pintu perang saudara. Dari situlah muncul beberapa golongan yang hingga kini masih eksis di dunia Islam, salahsatunya yaitu syi’ah, Khawarij, dll.
Sejak munculnya kelompok-kelompok tersebut sampai dengan periode kekhalifahan tinggi (tahun 945) inilah yang melahirkan diskursus keilmuan Islam sekaligus melahirkan kelompok atau aliran fase pertama yang mengerucut pada empat tradisi keilmuan klasik yaitu ilmu kalam, fiqih, filsafat dan tasawuf, atau dalam terminologi Mohammad ‘Abid al-Jabiri disebut sebagai formasi akal Arab yaitu al-‘aql al-bayani (akal retorik) yaitu tumbuh kembangnya ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, balaghah, fiqh, usul fiqh, dan ilmu kalam, al-‘aql al-‘irfani (akal gnostik) yaitu tumbuh kembangnya filsafat iluminasionisme dan tasawuf, dan al-‘aql al-burhani (akal demonstratif) yaitu tumbuh kembangnya filsafat.
Diskursus keilmuan Islam itulah yang menyebabkan munculnya golongan-golongan baru yang kini dibagi menjadi empat golongan, yaitu Tradisionalis, Modernis Liberalis, dan Fundamentalis.
Islam tradisionalis tidak hanya ditunjukkan kepada mereka yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah saja, tetapi juga kepada produk-produk pemikiran (hasil ijtihad) para ulama yang dianggap unggul dan kokoh dalam berbagai bidang keilmuan. Pemikiran para ulama dalam berbagai bidang yang pada hakikatnya merupakan hasil penalaran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut harus dipegang teguh dan tidak boleh diubah. Dalam hal demikian Islam tradisionalis tidak lagi membedakan antara ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dengan ajaran yang merupakan hasil pemahaman terhadap keduanya.
Islam modernis adalah paham ke-Islaman yang didukung oleh sikap yang rasional, ilmiah serta sejalan dengan hukum-hukum Tuhan baik yang terdapat dalam al-Quran maupun alam raya. Islam modernis memiliki pemikiran yang dinamis, progressif dan mengalami penyesuaian dengan ilmu pengetahuan.
Ciri-ciri kelompok aliran ini yatiu :
- Menggunakan teks dengan interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan.
- Menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas.
- Membangun tradisi secara baru dengan kerangka modern dan pra-syarat rasional.
Fundamentalisme Islam dalam pengertian dasarnya adalah sikap dan pandangan yang berpegang teguh kepada hal-hal yang dasar dan pokok dalam Islam dengan tidak mempertentangkannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ciri-ciri kelompok aliran ini yatiu :
- Tekstual,
- Menyerukan keutamaan Islam pada periode Nabi dan al-Khulafa. al-Rashidin (al-Salaf al-Salih),
- Kembali ke sumber pokok Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah),
- Menolak unsur-unsur asing dari Barat.
DAFTAR PUSTAKA
- Baalbaki, Munir. Kamus Al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia. Surabaya : Halim Jaya. 2006.
- Echols, John M.. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : Gramedia. 1979. cet.VII.
- Huda, Khoirul. Ebook Islamica. 2009 vol. 3
- Kemala, Intan Dwi. Gerakan Islam Literatur. Jakarta : FIB UI. 2008.
- Nata, Abuddin. Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2001.
- Ngadimah, Mambaul. Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia. Ponorogo. 2008,
- Poerwadarminta, W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 1991. cet.XII
- Ratnasari, Dwi. Komunika : Jurnal Dakwah dan Komnikasi. Purwokerto : STAIN Purwokerto. 2010.
- Solahudin, M. Agus. Ulumul Hadis. Bandung : Pustaka Setia. 2013. cet.III.
- [1] Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 20-25
- [2] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1979, cet.VII, Hal. 599
- [3] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1991, cet.XII, Hal. 1088
- [4] Munir Baalbaki, Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Surabaya : Halim Jaya, 2006, Hal..483
- [5] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag., Ulumul Hadis, Bandung : Pustaka Setia, 2013, cet.III Hal. 19
- [6] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal. 270
- [7] DR. H. Abuddin Nata, M.A., Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, Hal. 141
- [8] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal. 270
- [9] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal. 270
- [10] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal. 270
- [11] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal..270
- [12] DR. H. Abuddin Nata, M.A., Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, Hal. 141-142
- [13] DR. H. Abuddin Nata, M.A., Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, Hal. 142-145
- [14] Intan Dwi Kemala, Gerakan Islam Literatur, Jakarta : FIB UI, 2008, Hal.39-40
- [15] Intan Dwi Kemala, Gerakan Islam Literatur, Jakarta : FIB UI, 2008, Hal.40-46
- [16] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1979, cet.VII, hal. 384.
- [17] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1991, cet. XII, hal. 653.
- [18] Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hal.154-155
- [19] Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 25
- [20] Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 26
- [21] Intan Dwi Kemala, Gerakan Islam Literatur, Jakarta : FIB UI, 2008, Hal. 60-64
- [22] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1979, cet.VII, hal. 260.
- [23] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1991), cet. XII, hal. 61.
- [24] Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hal.11
- [25] Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hal.16
- [26] Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 27
- [27] Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 27
- [28] Dwi Ratnasari, Komunika : Jurnal Dakwah dan Komnikasi, Purwokerto : STAIN Purwokerto, 2010, Hal. 6-7
Sumber: tahdits.wordpress.com