Liberalisme vs Fundamentalisme Islam dan Pembaharuan Tafsir

Al-Qur’an, menurut Arkoun, belum pernah sebelum masa ini begitu banyak dipakai oleh jutaan kaum mukminin untuk mengabsahkan perilaku, mendukung peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, melestarikan keyakinan, dan memperkukuh identitas kolektif dalam menghadapi berbagai kekuatan penyerangan dari peradaban industri.[1] Banyaknya penggunaan al-Qur’an untuk berbagai tendensi ini tentu mengakibatkan banyak pula usaha penafsiran terhadap al-Qur’an yang sesuai dengan cara pandang (paradigm) dan pendekatan (approach)nya. Akan halnya respon terhadap pendekatan penafsiran terhadap al-Qur’an, secara umum dapat dibagi pada dua kelompok yang berseberangan, yaitu kelompok tradisionalis dan modernis.

Dimaksud dengan kelompok tradisionalis, mengikuti pandangan Zamakhsyari Dhofir, ialah kelompok yang mengikuti pola pikir keislaman yang terikat pada hasil pemikiran ulama yang hidup antara abad ketujuh hingga ketiga belas.[2] Kelompok ini ialah kelompok yang secara historis mendominasi seluruh pendekatan perkembangan tafsir al-Qur’an masa awal. Tafsir pada masa ini, hingga abad pertengahan, bahkan masih digunakan hingga sekarang, menggunakan pendekatan tekstual, literal, normatif, atau meminjam istilah Fazlur Rachman, bersifat leksiografis.[3] Pendekatan ini berimplikasi terhadap produk pemikiran skriptualis dan formalistik yang kemudian menjadi ciri khusus kelompok Islam tradisional hingga sekarang, seiring kelompok ini berhasil mempertahan model dan pengaruhnya di lembaga pendidikan salafiyah.

Kelompok modernis ialah kelompok yang berpandangan bahwa adanya perkembangan ilmu pengetahuan, ditunjukkan oleh penemuan-penemuan baru dan berpengaruh terhadap perkembangan budaya kontemporer, mengharuskan umat Islam untuk menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama yang dianggap ortodoks, terutama yang berkaitan dengan permasalahan sosial yang diyakini sebagai produk akal manusia.[4] Berangkat dari pandangan ini, kalangan modernis menggunakan hampir seluruh keilmuan modern, seperti psikologi, sejarah, sosiologi dan antropologi, sebagai piranti analisis dalam menafsirkan al-Qur’an, yang kemudian disebut dengan pendekatan kontekstual. Implikasi dari pendekatan ini, tampak dalam produk pemikirannya yang kultural dan substansialis.[5] Kelompok ini semakin cepat bisa diterima di kalangan akademisi, seiring kelompok ini berhasil menguasai hampir seluruh pemikiran kalangan akademisi, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam.

Dalam ranah konseptual, perbedaan kedua pendekatan yang dikembangkan oleh kedua kelompok ini tidak tampak berpengaruh terhadap masyarakat, meski komunitas kedua kelompok ini, dalam berbagai hal memang sulit dipertemukan. Akan tetapi hasil pemikiran masing-masing aliran, baik secara langsung maupun tidak, berimplikasi terhadap konfrontasi religius dan terkadang konflik sosial, karena setiap komunitas dan entitas masyarakat, dengan pandangan hidupnya masing-masing, mempunyai kaum cendekia yang berfungsi sebagai “pemberi penjelasan” tentang pandangan hidup yang menjadi anjutan masyarakatnya,[6] dalam ranah tradisi keagamaan masyarakat disebut ulama.

Dalam pengertian ini, ulama dipahami sebagai “firqah” yang  membentuk  sistem  nilai,  kelembagaan  dan  perilaku masyarakat,[7] yang oleh sebabnya setiap cara pandang, perilaku dan keberagamaan ulama akan berpengaruh terhadap cara pandang, perilaku dan keberagamaan masyarakat pengikutinya.[8] Beberapa hasil penelitian telah memperkuat kebenaran pernyataan ini, misalnya penelitian M. Syafi’i Anwar yang menjelaskan bahwa pada zaman kerajaan (abad ke-18) telah terjadi konflik antara elit agama dan kerajaan (priyai), yang juga beragama Islam.[9] Kemudian hasil penelitian Peeters di Palembang memperlihatkan sejak paruh pertama abad ke-20 (1925-1935) telah terjadi konflik antara kaum tua -tradisional dan kaum muda-modernis.[10]

Kedua hasil penelitian tersebut setidaknya cukup menunjukkan bahwa pada ranah-ranah tertentu suatu pendekatan dalam memahami doktrin Islam, terutama al-Qur’an, akan berpengaruh terhadap kehidupan keberagamaan masyarakat, khususnya dalam hubungan sosialnya. Oleh sebab itu, berbagai upaya reinterpretasi doktrin-doktrin Islam, terutama yang berkaitan dengan upaya pemulihan dan peningkatan hubungan sosial yang lebih adil, harmonis dan humanis, menjadi wacana yang paling banyak berkembang di Indonesia, seperti wacana kerukunan antarumat beragama.[11] Wacana ini merupakan salah satu isu penting dalam diskursus kerukunan umat manusia pada umumnya, sebab agama bisa menjadi salah satu legitimasi untuk mengabsahkan berbagai tindak kekerasan yang dilakukan umat beragama.

Di kalangan umat Islam, legitimasi semacam itu biasa dikaitkan dengan fundamentalisme Islam. Istilah fundamentalisme ini sekalipun berasal dari dan mungkin hanya cocok digunakan untuk memahami fenomena keagamaan di lingkungan Kristen Protestan dan Katolik,[12] belakangan banyak digunakan untuk dijadikan identitas atas fenomena keagamaan di kalangan Islam, terutama yang menunjukkan pada aliran pemikiran Islam yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (harfiah). Dalam konteks ini, fundamentalisme Islam dianggap sebagai reaksi terhadap modernisme (Islam).[13]

Dalam kaitannya dengan kerukunan antarumat beragama, kelompok fundamentalisme Islam melihat bahwa orang Kristen, Protestan maupun Katolik, dipandang sebagai umat yang gigih dan didukung oleh biaya yang besar untuk melakukan Kristenisasi.[14] Oleh sebab itu, kelompok ini ditengarai sebagai kelompok yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusuhan sosial yang bermotifkan konflik agama, atau kekerasan yang terjadi pada umat agama, seperti yang terjadi di Bali, Jakarta, Bandung, Poso, dan beberapa tempat lain di Indonesia.

Sejak sepanjang tahun 2002 yang lalu hingga sekarang publik, khususnya masyarakat akademik, banyak memusatkan perhatian pada perkembangan dua aliran Islam di Indonesia, yang menurut Yudi Latif, Kandidat Doktor di The Australian National University, Canberra, disebut dengan Fundamentalisme Literal dan Fundamentalisme Liberal. Kedua aliran ini, masih menurut Latif, memandang masalah keagamaan sebagai problem tekstual, yang pertama terobsesi untuk "dipeluk" (dibatasi) teks dan yang kedua bernafsu untuk "memeluk" (memerkosa) teks.

Bagi kalangan fundamentalis literal, semua persoalan bisa dituntaskan lewat formalisasi syariat Islam. Realitas sosial hanya dipandang sebagai realitas hukum. Hukum yang tak pernah aus karena panas dan tak pernah lekang karena hujan adalah hukum yang pernah dilembagakan dalam era kejayaan Islam. Di samping itu, sakralisasi dan politisasi masa lalu merupakan tema utama kalangan ini. Oleh sebab demikian, sikapnya terhadap perubahan sosial bersifat defensif, penerapan syariah dalam aspirasi mereka lebih bersifat simbolis ketimbang substantif. Segi-segi identitas Islam lebih menjadi kepedulian ketimbang bagaimana mengembangkan metodologi Islam untuk menjawab problem-problem sosial yang akut dalam masyarakat. Akibatnya, syariah lebih sering dihayati sebagai harapan milenarian (ratu adil), ketimbang kerangka interpretasi untuk emansipasi.

Pada ekstrem yang lain, menurut Latif selanjutnya, kalangan fundamentalis liberal seolah percaya bahwa liberalisasi penafsiran Islam merupakan solusi terhadap semua masalah sosial. Bagi kalangan ini, liberalisme adalah kebenaran itu sendiri, dan kekuatan hegemonik dalam peradaban dunia merupakan rujukan kebenaran. Jika respons fundamentalis literal terhadap krisis dan pluralitas nilai bersifat defensif, respons fundamentalis liberal bersifat permisif. Tipologi sosial dari pendukung fundamentalis liberal adalah kombinasi antara mereka yang terpaannya terhadap kultur keislaman terbatas dan mereka yang lama diasuh dalam lingkungan pendidikan Islam.

Kalangan pertama berkepentingan untuk bersinggungan dengan lingkungan keislaman untuk memperluas ruang pengaruhnya, namun tidak siap mengikuti kultur Islam yang ketat. Sebagian dari kalangan kedua, dalam perumusan jati diri dan persaingannya dengan keluaran pendidikan sekuler, terkesan ada hasrat untuk meyakinkan khalayak bahwa mereka pun well-informed dan well-adaptive terhadap pengetahuan dan peradaban modern. Pada tingkat yang ekstem, mereka bersifat permisif terhadap segala hal yang dipandang sebagai ikon kemajuan dan keberadaban.[15]

Dari deskripsi di atas tampak dengan jelas bahwa Latif memandang fundamentalisme menitikberatkan pada teks (wahyu), dengan kata lain fundamental di sini dipahami sebagai original oriented, yakni pandangan dan orientasi yang dianggap asli datang dari agama yang tercermin dari teks kitab suci. Dalam paradigma berbeda, Zuhairi Misrawi, Peneliti dan Koordinator Islam Emansipatoris P3M, Jakarta, membedakan kedua aliran tersebut. Menurut Misrawi, fundamentalisme merupakan sebuah komunitas sosial yang selalu diinspirasikan oleh eksperimentasi historis dan realitas empiris. Oleh sebab itu, trade mark gerakan Islam fundamentalis adalah; Pertama, fundamentalisme lebih merupakan keinginan untuk menghadirkan “masa lalu” dalam “masa kini.” Fundamentalisme bukanlah “masa lalu” itu sendiri, melainkan “masa kini” yang mendambakan kehadiran “masa lalu.”

Kalangan fundamentalis, masih menurut Misrawi, memaknai pemikiran ulama salaf (terdahulu) sebagai seperangkat pemikiran yang diandaikan dapat menyelesaikan problem kekinian. Doktrin yang melekat dalam tradisi fundamentalisme, kembali kepada masa lalu, kembali kepada teks, dan kembali kepada kebenaran. Kedua, selain mengimpikan masa lalu, kalangan fundamentalis juga menjadikan perlawanan terhadap modernitas (Barat) sebagai salah satu justifikasi untuk melegalkan aktivitas mereka. Karenanya, isu konflik Israel-Palestina dan ideologi modernisme menjadi sorotan utamanya untuk mengampanyekan gagasan mereka. Sementara itu, Misrawi selanjutnya berpendapat, liberalisme merupakan gerakan berpikir bebas tanpa harus ditekan oleh kekuatan tertentu, baik kekuatan teks, struktur, maupun identitas. Kebebasan berpikir seperti yang diteladankan Umar bin Khattab dengan ijtihad-ijtihadnya yang sangat progresif dapat dijadikan modal dasar untuk menggenjot lahirnya pemikiran-pemikiran yang bisa mendobrak kebuntuan pemikiran keagamaan, terutama menyangkut keadilan sosial, pluralisme, demokrasi, dan civil society.[16]

Dua pandangan tersebut merupakan salah satu contoh perbedaan pemahaman masyarakat terhadap fundamentalisme yang hingga saat ini masih belum menemukan kata sepakat. Oleh sebab itu, akademisi memandang fundamentalisme tetap mempunyai perbedaan sejak dari definisi, tipologi, hingga bermacam aliran yang berkembang. Perbedaan ini, salah satunya, sebagai akibat dari perbedaan para sarjana studi agama dalam mendekati term fundamentalis. Sebagian akademisi memandang realitas fundamenalisme dengan menggunakan pendekatan normatif, sedangkan yang lain melihat fundamentaslime dengan menggunakan pendekatan historis-sosiologis. Pendekatan normatif yang dimaksudkan di sini adalah sebuah pendekatan terhadap realitas dengan menitikberatkan pada fungsi dan posisi teks dalam kehidupan keberagamaan masyarakat. Sedangkan dimaksud dengan pendekatan historis-sosiologis merupakan suatu pendeketan yang melihat realitas sosial sebagai suatu kenyataan sosial yang tercipta secara alami, bukan ditentukan oleh teks agama.

Pada sisi lain, Jeffrey K. Hadden mengidentifikasi empat tipe fundamentalisme; Pertama, theological fundamentalism, yaitu  gerakan teologis Kristiani yang berusaha mempertahankan doktrin tradisional Kristiani melawan pemikiran modern. Kedua, Political fundamentalism, yaitu gabungan fundamentalisme teologis dan komitmen personal agama lain untuk melawan perbuatan jahat yang mengelabui. Manifestasi dari fundamentalisme politis termasuk aktifitas gerakan terkontrol atau anti komunisme yang sangat kuat dari Gerald L.K. Smith. Kedua tipe fundamentalisme ini digabung bersama-sama untuk menggabungkan karikatur individu-indvidu yang tak tercerahkan secara kultural untuk kembali mempertahankan tradisi dari ekspansi perkembangan.

Cultural fundamentalism ini, Hadden mendeskripsikan, secara sinis direpresentasikan oleh kritikus sosial seperti H.L. Mencken dan penulis novel semacam Sinclair Lewis. William Jennings Bryan menyajikan sebagaimana prototipe Mencken setelah tragedi eksperimen the Scopes di Tennessee. Aktifitas politik menduduki The political activity diambil bagian oleh fundamentalis untuk membandingkan dengan kelompok motivasi keberagamaan lain di sleuruh dunia. Oleh sebab itu, global fundamentalism sebagai sebuah fenomena mengindikasikan banyak keberagamaan, dimotivasi oleh kelompok aktif yang secara politis eksis dalam bermacam-macam tradisi agama dan sistim politik.[17]

Berbeda dengan pandangan tersebut, Martin E. Marty menyatakan bahwa sebuah sikap atau gerakan dapat dikategorikan sebagai gerakan fundamentalisme apabila memenuhi empat prinsip. Pertama, fundamentalisme yang bersifat oppositionalism (paham perlawanan), yaitu sikap atau gerakan yang selalu melawan terhadap hal (baik ide sekulerisme maupun modernisme) yang bertentangan dan mengancam eksistensi agama. Kedua, fundamentalisme bersifat penolakan terhadap paham hermeneutika, yakni penolakan terhadap sikap kritis atas teks dan interpretasinya. Ketiga, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham pluralisme dan relativisme yang keduanya dihasilkan dari pemahaman agama yang keliru. Keempat, fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham sosiologis dan historis, yakni perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.

Berkaitan dengan penggunaan istilah fundamentalisme untuk Islam, sebagian sarjana memberikan argumentasi bahwa term ini begitu mengakar pada suatu bentuk khusus dari Kristen Protestan yang tidak mudah untuk digunakan dalam hubungannya dengan Islam, Yahudi, Hindu dan sebagainya. Sebab, tidak ada keraguan bahwa istilah fundamentalisme dimaksud sejak awalnya merupakan sebutan yang diambil dari kelompok Evangelis Amerika, salah satu sekte Protestan, yang melakukan tindakan bunuh diri secara bersama-sama untuk mempertahankan iman mereka dengan tujuan untuk melawan gerakan liberalisme setelah Perang Dunia pertama.[18]

Dengan statemen dan argumentasi yang berbeda, This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.">Macksood Aftab, Manajer Editor dari The Islamic Herald, menyatakan bahwa penggunaan istilah fundamentalisme tidak sesuai untuk dilabelkan pada umat Islam, sekalipun beberapa dekade yang lampau hampir semua pergerakan Revivalis Islam telah diberi label fundamentalis, baik radikal maupun moderat. Dampak pelabelan ini terlihat nyata dan kemudian tersebar secara luas dari Encyclopedia di bawah judul 'the Fundamentalist'. Mengapa media menggunakan kata ini untuk umat Islam? Sebelum istilah fundamentalist dilabelkan untuk umat Islam, menurut Aftab selanjutnya, sudah digunakan terlebih dahulu untuk pelabelan umat Kristen tertentu, di antaranya golongan Lutheran dan Presbyterian. The Southern Baptist Convention adalah satu kelompok yang merasa bangga disebut "the Fundamentalist." "Sebab, mereka sudah kembali kepada dasar ke-Kristen-an." Aftab memberikan alasan.

Kebanyakan kalangan, menurut Aftab lebih jauh, tidak menyadari bahwa istilah Fundamentalis benar-benar diperoleh dari satu rangkaian esei yang diterbitkan antara 1910 hingga 1915 di bawah judul The Fundamentals by British and American evangelists. Tujuan koleksi 12-volume ini ialah untuk menentukan Gereja mana yang memegang doktrin Kristen asli dan Gereja mana yang tidak. Meskipun demikian, istilah Fundamentalist, di (dalam) Dunia Kristen, adalah bersinonim dengan 'Alkitab Thumpers' dan pengabar Injil terakhir.

Oleh karenanya, Aftab berargumen, untuk menerapkan istilah yang sama pada umat Islam tidak sah dan tidak adil, sebab di dalam kasus Islam semua umat Islam percaya akan kemutlakan al-Quran, sebagai dasar ajaran Islam. Haruskah media menggunakan kata fundamentalis untuk semua umat Islam, yang mana  hal itu tidak dilakukan! Penggunaan kata 'fundamentalis' ini untuk kelompok teroris dan ekstrimis, dan gerakan revivalis Islam moderat. Kedua definisi ini, masih menurut Aftab, tidak sesuai satu sama lain, menggunakan kata fundamentalis untuk yang terdahulu (Kristen) mungkin bisa diterima, karena paralel dengan definisi Kristen. Tetapi jika definisi itu diharapkan untuk digunakan, kemudian menggunakan kata yang sama, untuk menguraikan yang belakangan (Islam), sepenuhnya tak dapat diterima dan salah. Oleh karena itu, media hendaknya berhenti menggunakan kata Fundamentalist untuk menguraikan semua organisasi Islam, atau lebih saksama dalam  pemakaiannya.[19]

Berhubungan dengan penggunaan term fundamentaslime Islam ini, Martin E. Marty, seorang sarjana yang mengedit lima volume studi fundamentalisme, memberikan argumentasi bahwa fundamentalisme Islam sungguh mempunyai perbedaan yang jelas, sekalipun mungkin ada tanda-tanda kesamaan. Fundamentalis dalam berbagai tradisi yang beraneka ragam menunjukkan bahwa ada suatu momen tertentu yang dicoba untuk ditemukan kembali (recovery). Akan tetapi, apabila yang ideal itu secara aktual tidak pernah dapat eksis, dalam upaya merealisasikan even ideal ini sering memunculkan reaksi terhadap semua tantangan.

Martin E. Marty juga menyatakan bahwa dalam hal seleksi kelompok islamis (Misalnya Hizbullah, Hamas, dan Jihad Islam), realisasi visi mereka tentang negara Islam tidak dipuaskan oleh kepemimpinan yang korup dalam negara-negara yang mayoritas pendudukanya beragama Islam. Dominasi kekerasan dari kekuatan eksternal, kebanyakan khususnya USA, juga dilihat sebagai polusi budaya Islam dan mekanisme eksploitasi. Pada dekade belakangan ini, beberapa kelompok telah berkeinginan untuk mengerjakan sistim politik khusus; sebagian telah memilih jalan kekerasan ekstremisme. Untuk memahami kelompok-kelompok khusus ini, katanya selanjutnya, membutuhkan analisis kontekstual yang hati-hati.[20]

Dalam sebuah kesimpulan yang bertentangan, George R. Trumbull, berdasarkan penelitian tentang fundamentalisme Islam di Aljazair, di antaranya menyimpulkan bahwa fundamentalisme Islam bukan hasil dari interpretasi teologis tertentu dari al-Qur'an, melainkan sebuah interpretasi teologis dalam merespon sosio-politik dengan perasaan tidak senang (discontent). Dalam pemilihan Aljazair tahun 1992, menurutnya, aliansi militer birokrat yang sudah berlaku lagi, telah mengembalikan kekuatan mayoritas fundamentalis Islam, dimana hasilnya kemudian direfleksikan dalam perasaan tidak senang yang menyebar secara luas terhadap korupsi dalam, dan tidak mungkin dirubah oleh, dua partai sekuler di Aljazair. Disebabkan kekurangan dari yang ketiga, kemungkinan yang dapat dipraktekkan dari partai sekuler, para pemilih memprotes dan berbalik pada partai fundamentalis Islam yang menjanjikan keterbukaan dan efisisensi.[21]

Sementara itu, Olivier Roy, Direktur Penelitian pada Centre National de la Recherche Scientifique, Paris, dalam penelitiannya tentang beberapa aksi di dunia Islam masih tetap menggunakan istilah fundamentaslime Islam dan kemudian menemukan munculnya gerakan neo-fundamentalisme di beberapa negara Islam. Menurut Roy, lebih dari dua puluh tahun setelah kesuksesan Revolusi Islam di Iran, gelombang Radikalisme Islam di Timur Tengah sejak tahun 1970-an membawa suatu wacana yang berbeda dari masa sebelumnya.

Penekanan pergerakan Islam, masih menurut Roy, juga sudah bergeser dari perjuangan komunitas Muslim supra-nasional ke suatu gerakan Nasionalisme Islam. Mereka ingin secara utuh diakui sebagai pemegang kekuasaan politik yang sah, dan sebagian besar sudah membuat agenda supranasional yang menjadi bagian dari ideologinya. Pada sisi lain, kebijakan reislamisasi konservatif yang diterapkan banyak negara (Islam), sekalipun negara sekular, dalam rangka memotong gerakan oposisi Islam ortodoks dan untuk memperoleh kembali hak kekuasaan religius yang telah musnah. Hal tersebut selanjutnya mengakibatkan timbulnya neo-fundamentalisme Islam yang secara idiologis konservatif tetapi secara politis radikal.

Neo-fundamentalisme ini sebagian besar tidak berhubungan dengan kebijakan dan strategi negara. Pada mulanya ia lebih sedikit diingat jika dibandingkan Islam ortodoks yang lebih sedikit melakukan gerakan yang terkait dengan Negara Islam dibanding dengan implementasi syariat ( Hukum Islam). Sekalipun pergerakan ini pada dasarnya merupakan gerakan fenomena sosio kultural, hal ini juga menghasilkan wacana ekstrimisme yang mana hal tersebut berhubungan dengan jaringan yang lepas, seperti organisasi al-Qaida, dipimpin oleh Osama bin Laden, yang bertanggung jawab dalam penghancuran pusat perdagangan dunia (WTC) pada 11 September 2001. Sebagai konsekwensinya, terorisme Islam internasional telah bergeser dari aksi state-sponsored ke arah suatu aksi de-territorialized….[22]

Berangkat dari berbagai pandangan di atas, kerangka pandang O. P. Ronald Stanley menekankan pada evolusi makna fundamentalisme, baik secara epistemologis maupun sosiologis, karena evolusi tersebut fundamentalisme mempunyai pengertian dan gerakan yang berbeda dengan awal kelahirannya. Pada masa sekarang, Stanley menjelaskan, fundamentalisme diartikan sebagai:

"… an extreme reaction to the complexity and immorality of today's world. The knowledge and technology explosion has left many people confused and afraid. Their understandable longing for security leads some to look for a way to cut through the complexities of modern life and reestablish fundamental truths. Fundamentalists try to satisfy their "lust for certitude" by oversimplifying things, by making a passionate commitment to a part, and sometimes to a distortion, of the truth…"[23]

Dari sini dapat dipahami bahwa Stanley memandang fundamentalisme sebagai fenomena dari sebuah reaksi ektrem terhadap kompleksitas dan amoralitas. Pengetahuan dan eksplosi tehnologi telah menyisakan kebingungan dan ketakutan pada banyak orang. Dapat dipahami, kerinduan mereka terhadap keamanan mengantarkan sebagian orang mencari cara untuk menembus kompleksitas kehidupan modern dan membangkitkan kembali kebenaran fundamental. Para fundamentalis mencoba untuk memuaskan “keputusan gila” mereka dengan terlalu menyederhanakan segala sesuatu, melalui cara membuat sebuah komitmen yang sangat bernafsu pada satu bagian dan terkadang pada satu distorsi kebenaran.

David W. Cloud melihat fundamentalisme dengan paradigma sosiologis-normatif, dalam hal ini, seperti pernyataan Could, fundamentaslime diartikan:

"…any number of things and is commonly used in a derogatory and slanderous way by those who do not believe the Scriptures. It is used to describe all sorts of dangerous extremism, such as terrorist Muslims …."[24]

A. Zahroh dalam Fundamentalisme antara Barat dan Dunia Islam: Telaah Fiqh Politik-nya, menekankan pada pendekatan historis dan sosio-politis sehingga menghasilkan suatu dialektika fundamentalisme dalam pandangan Islam.[25] Sementara itu, penelitian Siobhan Dowd, koordinator The Rushdie Defense, dengan pendekatan antropologis yang digunakannya menunjukkan hasil temuan bahwa di Indonesia merupakan sebuah tantangan yang riil dan meningkat begitu cepatnya serta secara tiba-tiba. Hal tersebut, katanya lebih jauh, ditandai dengan munculnya berbagai kasus anti-Salman Rushdie dan ditangkapnya Arswendo diakibatkan tentangan kaum fundamentalis terhadap hasil poolingnya.[26]

Dr. H. M. Fauzan Zenrif, M.Ag

[1]Mohammed Arkoun, “Lectures du Coran”, diterjemahkan oleh Machasin dengan judul, Berbagai Pembacaan al-Qur’an (Jakarta: INIS, 1997), 9.

[2]Selanjutnya lihat Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1982), 1.

[3]Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), 36.

[4]Selanjutnya lihat Busthami Muhammad Sa’id, “Mafhum Tajdi al-Din”, diterjemahkan Ibn Marjan dan Ibadurrahman, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Cet. I; Bekasi: PT. Wacana Lazuardi, 1995), 223-4.

[5]Salah seorang ahli tafsir Indonesia yang pemikirannya banyak dijadikan rujukan di beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam, bahkan juga di kalangan masyarakat umum, ialah M. Quraish Shihab, terutama bukunya yang berjudul Membumikan al-Qur’an.

[6]Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997), 9-10.

[7]Lihat logika ini dalam M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993), 186.

[8]Di tingkat masyarakat pedesaan, peranan ulama dalam pembentukan religiusitas masyarakat tampak dengan jelas dalam berbagai aktifitasnya, berikut kegiatan-kegiatan pendidikan pesantrennya. Bahkan, hubungan ulama dan masyarakat di pedesaan ini tampak sebagai “tuan” dan “abdi”nya., yang menurut Soemarsaid Moertono disebut suatu ikatan perintah dan ketaatan tanpa syarat Mengenai peranan ini, baik sebagai peran struktural maupun fungsional, baca dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1998), h. 250-262; juga Soemarsaid Moertono, State and Statecraft in Old Jhava: a Study of the Later Mataram Period, 16 th to 19 th Century (Itacha: Cornel Modern Indonesia Project, 1968), h. 14-26.

[9]Baca M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), 2.

[10]Lihat penelitian ini dalam Jeroem Peeters, “Kaum Tuo-Kaum Mudo, Social Religiewze verandering in Palembang, 1821-1942,” diterjemahkan oleh Sutan Maimoen dengan judul, Kaum Tuo-Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang 1821-1942 (Jakarta: INIS, 1997), h. 143 dst.; Baca juga seruan Kyai Hasyim Asy’ari pada para ulama untuk mengenyampingkan perseteruan demi persatuan, dalam Deliar noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980),  261-2.

[11]Mengenai urgensi wacana kerukunan antarumat beragama dan yang juga menjadi wacana politik Orde Baru, baca misalnya M. Syafi’i Anwar, op. cit., 227-36.

[12]Menurut Dawam Rahadjo fundamentalisme adalah sebuah nama tentang gerakan agresif dan konservatif di lingkungan gereja Kristen Protestan di Amerika Serikat yang berkembang dalam dasawarsa sesudah Perang Dunia I. Gerakan ini tercetus terutama di lingkungan gereja-gereja Baptist, Desciple dan Presbyterian dan beroleh dukungan dari kalangan lain pada kelompok-kelompok kependetaan. Selanjutnya lihat M. dawam Rahdjo, “Fundamentalisme”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam (Cet. I; Jakarta: Partamadina, 1996), 86-93.

[13]Baca Yusril Ihza Mahendra, “Fundamentalisme, Faktor dan Masa Depannya”, dalam Muhamman Wahyuni Nafis (ed.), ibid., 97.

[14]Baca selanjutnya R. William Liddle, “Skriptualisme Media Dakwah: Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutkahir Islam Indonesia (Cet. I; Bandung: Mizan, 1998), 289-91.

[15]Yudi Latif, "Politik Islam Antara Dua Fundamentalisme", Koran Tempo, Jumat, 27 Desember 2002.

[16]Zuhairi Misrawi, "Islam Liberal versus Islam Fundamentalis", Harian Umum Media Indonesia, Jum'at, 17 Mei 2002.

[17] cult controversies . Diakses 30 Juni 2003.

[18]Mengenai hal ini baca S. G. Cole, The History of Fundamentalism (New York, 1931); N. F. Furniss, The Fundamentalist Controversy (Yale, 1954), 1918-31;  Douglas Johnson "The Word Fundamentalist" dalam The Christian Graduate, March 1955,  22 ff.

[19]"In the past decade almost all Islamic revivalist movements have been labeled fundamentalists, whether they be of extremist or moderate origin. The widespread impact of the term is obvious from the following quotation from one of the most influential Encyclopedias under the title 'Fundamentalist': "The term fundamentalist has ... been used to describe members of militant Islamic groups." Why would the media use this specific word, so often with relation to Muslims? Before the term fundamentalist was branded for Muslims, it was, and still is, being used by certain Christian denominations. Most of them are radical Baptist, Lutheran and Presbyterian groups. The Southern Baptist Convention is one such group, they take pride in being called the Fundamentalists. Because, according the them, they have gone back to the fundamentals of Christianity. They preach absolute Biblical inerrency and Millenarianism (belief in the physical return of Christ to establish a 1000 year reign). These radical groups form only a minute minority of the total Christian population, although they may be the most vocal. They want the Church to be the only authority. This reminds the modern man of the Dark Ages in Europe when the Church was in fact supreme. What most of these groups don't realize is that the term Fundamentalist is actually derived from a series of essays published from 1910 to 1915 under the title The Fundamentals by British and American evangelists. The purpose of this 12-volume collection was to determine which churches, according to the authors, held up to genuine Christian doctrine and the ones that did not. Nevertheless the term Fundamentalist, in the Christian world, is synonymous with the 'Bible Thumpers' and the tele evangelists. To apply the same terminology to Muslims is neither fair nor valid. Because in the case of Islam all Muslims believe in absolute inerrency of the Quran, since it is a basic Islamic tenet. Therefore the media would have to use the word fundamentalist for all Muslims! which it does not do. It only uses the word Fundamentalist for both the extremist and terrorist groups, and the true moderate Islamic revivalist movements. Both these definitions are incompatible with each other. Using the word fundamentalist for the former may be acceptable, since it does have some parallel to the Christian definition. But if that definition is to be used, however, then using the same word to describe the latter would be erroneous and completely unacceptable. It is this dual definition that is unfair to the Islamic faith. Therefore the media should either stop using the word Fundamentalist to describe any and all Islamic organizations, or be much more careful in its usage." This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.">Macksood Aftab, "What Does Fundamentalism Really Mean?" Diakses dari http://www. themodernreligion.com/terror/def-fundy.html. tanggal 12 Agustus 2003.

[20]Josh Burekand James Norton, "A world-renowned scholar explains key points of Islam", http.//www.WorldAsia: South&Central, Posted October 04, 2001. Diakses 4 Juli 2003.

[21]"Islamic fundamentalism does not result from a particular theological  interpretation of the Koran. Rather, a theological interpretation serves and responds to socio-political discontent. The 1992 Algerian elections, had the military-bureaucratic alliance not invalidated them, would have returned an Islamic fundamentalist majority to power. The results reflected a widespread discontent with corruption within, and the inefficacy of, the two main secular parties. Because of the lack of a third, viable, secular party, protest voters turned to Islamic fundamentalist parties who promised honesty and efficiency". Lihat George R. Trumbull, "Islamic Fundamentalism ", Princeton Journal of Foreign Affairs, Winter 1998.

[22]"More than twenty years after the success of the Islamic revolution in Iran, the wave of Islamic radicalism that has engulfed the Middle East since the late 1970s is taking a different course. The mainstream Islamist movements have shifted from the struggle for a supranational Muslim community into a kind of Islamo-nationalism: they want to be fully recognized as legitimate actors on the domestic political scene, and have largely given up the supranational agenda that was part of their ideology. On the other hand, the policy of conservative re-Islamization implemented by many states, even secular ones, in order to undercut the Islamist opposition and to regain some religious legitimacy has backfired. It has produced a new brand of Islamic fundamentalism, ideologically conservative but at times politically radical. This neo-fundamentalism is largely de-linked from states’ policy and strategy. At first glance it is less politically minded than the Islamist movementsless concerned with defining what a true Islamic State should be than with the implementation of shariat (Islamic law). Though the movement is basically a sociocultural phenomenon, it has also produced an extremist expression which is embodied in loose peripheral networks, such as the organization Al Qaida, headed by Osama bin Laden, responsible for the destruction of the World Trade Center on 11 September 2001. Consequently, international Islamic terrorism has shifted from state-sponsored actions or actions against domestic targets toward a de-territorialized, supranational and largely uprooted activism. Nevertheless the strategic impact of these new movements is limited by the very fact that they have such scarce roots in the states’ domestic politics. However, this is not the case in Pakistan and Afghanistan, which are now the hotbed of contemporary Islamic fundamentalism." Olivier Roy, The Failure of Political Islam (Harvard: Harvard University Press 1994); idem,  The New Central Asia, the Creation of Nations (Londres: Tauris, 2000). Diakses dari http://www.ssrc.org/sept11/essays/ metcalf.htm/ Social Science Research Council (New York: Seventh Avenue), 810 NY 10019 USA |  212-377-2700/2727. Pada tanggal 12 Agustus 2003.

[23]O. P. Ronald Stanley, "Fundamentalism", dalam Ramapo College of New Jersey. http://www.ramapo.edu/content/student.resources/OSD/word/cm/catholic_Ministry/articles.htm. Diakses tanggal 2 Juli 2003.

[24]"Term fundamentalisme kemudian mempunyai pengertian sejumlah hal dan biasanya digunakan dalam sebuah cara kritik dan bersifat menfitnah oleh mereka yang tidak meyakini Teks. Hal ini digunakan untuk mendeskripsikan semua bentuk ekstremisme yang membahayakan, seperti Muslim teroris…" David W. Cloud, "Fundamentalism, Modernism, and New-Evangelicalism," dalam O Timothy Magazine, Volume 12, Issue 1, 1995, Way of Life Literature, 1701 Harns Rd., Oak Harbor, WA 98277. www.wayoflife.org/fbns/fundamen1.htm - 53k.  Diakses tanggal 30 Juni 2003.

[25]Paramedia, Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Diakses dari http://www.geocities.com/ HotSprings/6774/p-8.html, pada tanggal 9 Agustus 2003.

[26]Princeton Journal of Foreign Affairs No.6 1995, 59