Kala Soekarno, KH Wahid Hasyim, KH Kahar Moezakir, KH Masjkur dan Mohammad Yamin Merumuskan Pancasila

Akhir Mei 1945. Di rumah Mohammad Yamin, berkumpul tokoh-tokoh Islam anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Masjkur dari Nahdlatul Ulama, KH Abdoel Kahar Moezakir dari Muhammadiyah, menyusul kemudian Ir Soekarno.

Shohibul bait Mohammad Yamin berasal dari Sawahlunto, Sumatera Barat, dikenal tokoh multitalenta: Pelopor Sumpah Pemuda dari Jong Sumatranen Bond, Sastrawan dan Ahli Hukum.

KH Abdul Wahid Hasyim, tokoh NU dan Pesantren, Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), putra Pendiri NU Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari dan Ayahanda Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).

KH Abdoel Kahar Moezakir, tokoh Muhammadiyah dari Yogyakarta. Saat itu tokoh Partai Islam Indonesia (PII), lulusan Universitas Cairo Mesir.

KH Masjkur, tokoh NU dan Pesantren dari Malang Jawa Timur. Santri Hadlratus Syaikh KH Hasyim Asyari Tebuireng dan Syaikhona Cholil Bangkalan. Beliau juga tokoh di PETA (Pembela Tanah Air) dan Laskar Hizbullah di samping sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Mishbahul Wathan (Pelita Tanah Air) yang didirikan tahun 1923.

Ir Soekarno tak perlu diperkenalkan lagi. Dua bulan setelah kemudian bersama Mohammad Hatta, memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Kiai Masjkur bercerita bagaimana tokoh-tokoh tadi bersama-sama merumuskan Pancasila. Cerita Kiai Masjkur ini direkam dalam kaset yang disimpan oleh Arsip Nasional dengan tanggal 1 Oktober 1988. Pengakuan Kiai Masjkur itu menegaskan sumbangsih tokoh-tokoh Islam tadi terhadap perumusan dan definisi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia

Saya nukilkan transkrip wawancara dengan Kiai Masjkur yang setelah Kemerdekaan Republik Indonesia menjadi Menteri Agama ke-6 dari buku "NU vis a vis Negara" karya Andree Feillard.

…di rumahnya Muhammad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Muzakir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin. Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu.

-Lantas Bung Karno tanya: "Ada Apa?"

-"Kita ini ingin dasar Islam tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira bisa umat Islam bela tanah air, tapi tidak pecah?"

-Bung Karno katakan: "Coba tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini?"

-Yamin mengatakan: "Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaanya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, nyekar, untuk mencari Tuhan. Minta keselamatan, minta apa begitu."

-Lantas Bung Karno katakan: "Nah! Ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu… Kalau begitu negara kita dari dulu itu sudah bertuhan! …Ketuhanan! Bagaimana Islam? Ketuhanan! Kalau bangsa Indonesia bangsa ketuhanan. Mufakat? Bangsa Indonesia ketuhanan. Tulis! Tulis! Ketuhanan. Bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?"

-" Bangsa Indonesia… kalau datang dikasi wedang, kalau makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai-sampai kalau sama-sama menemani."

-"Kalau begitu.." kata Bung Karno, "bangsa Indonesia itu bangsa yang peri kemanusiaan. Satu sama lain suka menolong. Kerjasama, peri kemanusiaan."

-Wahid Hasyim: "Kemanusiaan boleh, tapi mesti adil. Jangan sendiri boleh tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. ‘Kalau Siti Fatimah mencuri saya potong tangannya’ (sabda Rasulullah Saw), Siti Fatimah putri Rasulullah. Jadi harus adil, biar anaknya, kalau salah, ya salah… Ini Islam…"

-"Lantas ada lagi.." Bung Karno katakan: "Siapa dulu?"

– Kahar Muzakkir lontarkan: "Ada orang budayanya tidak mau disentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis, kasih uang dilempar saja. Kalau dalam Islam tidak bisa…harus diserahkan dengan baik. Jadi peri kemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi."

– "Lantas sampai kepada orang Indonesia dulu, orang Jawa itu dulu suka memberikan apa-apa sama tetangganya, kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah sini, kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini… ini namanya tolong menolong. Gotong royong…kalau ada apa kumpul orang-orang desa. Satu sama lain tanya bagaimana baiknya."

Ini dikatakan oleh Bung Karno musyawarah, jadi bangsa kita dulu itu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya mufakatan, kalau mau menamakan anaknya, yang diambil biasanya yang tertua.

Bung Karno katakan "musyawarah perwakilan… orang dulu kalau minta apa-apa dikasihkan, sampean minta apa, biar di sini habis diberikan. Solidaritas sosialnya. Lalu ditanyakan pada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban zakat, kita memberikan kepada fakir miskin, yang kaya memberikan kepada fakir miskin, jadi sampai kesimpulan lima itu (lima sila)."

Kesimpulan lima tadi mau ditambah, tapi kita umat Islam mengatakan rukun Islam itu lima, jadi lima ini saja bisa dikembangkan satu persatu, tapi jangan ditambah. Hitungannya supaya bisa lima…

Ini dijadikan Bung Karno Pancasila, menjadikan penggantinya dasar Islam negara. Kita umat Islam mengatakan kalau dasar Islam itu "isim" (nama, istilah)nya yang diambil, kalau Pancasila itu "musamma" (subtansi, isi) yang diambil (dari Islam).

Sila-sila (dalam Pancasila) itu "musamma" (isi dan subtansinya) Islam. Lima ini kita umat Islam, ini sebagai "musammanya", isi Islam..

-Lantas Bung Karno katakan: "Mau saya usulkan, Pancasila. Awas kalau ad yang mengacau!"

(Kiai Masykur ketawa imitasi Bung Karno), ‘Awas!’

Pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, Ir Soekarno berpidato tentang Pancasila, yang kini dikenal sebagai Hari Lahir Pancasila.

Cerita Kiai Masjkur tadi bisa melengkapi kesaksian Bung Karno sendiri bahwa Pancasila sudah lama dipikirkan dan direnungkan sejak di Ende Flores selama masa pembuangan hampir 5 tahun (Januari 1934-Oktober 1938). Misalnya yang diulas secara apik dalam buku "Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara". Dalam kemajemukan masyarakat Ende, persahabatan umat Islam dan Katolik, Bung Karno menemukan "percontohan" bangsa Indonesia masa depan.

Pengakuan Kiai Masjkur juga menjadi jawaban mengapa tokoh dan umat Islam setia pada Pancasila karena tokoh-tokohnya ikut merumuskan isi Pancasila. Meskipun secara nama (isim) Pancasila bukan dalam bahasa Islam (Arab), tapi seperti penuturan Kiai Masjkur, isi dan subtansi (musamma) Pancasila berasal dari nilai dan ajaran Islam.

Testimoni KH Masjkur ini jarang dimunculkan dalam percakapan sejarah lahirnya Pancasila. Menurut hemat saya pengakuan ini penting bagaimana tokoh-tokoh Islam berkontribusi dalam perumusan isi Pancasila. Tujuannya bukan untuk mengaku-ngaku tapi sebagai tanggung jawab khususnya bagi generasi sekarang untuk menjaga dan menjalankan Pancasila–selain sebagai Dasar Negara–juga sebagai warisan dari tokoh-tokoh Islam. Dalam bahasa sederhana santri "Itu Pancasila yang merumuskan juga kiai-kiai".

Dengan demikian, klaim yang ingin mengganti Pancasila, baik atas nama ideologi apapun, khususnya yang sering diatasnamakan Islam baik Khilafah atau Negara Islam bertentangan dengan amanat dan warisan dari tokoh-tokoh umat Islam tadi.

Maka, pada Hari Kelahiran Pancasila hari ini, 1 Juni 2020, kita kembali mengingat warisan dan amanat tokoh-tokoh Pahlawan Nasional tersebut. Sekaligus ketika berterima kasih, bersyukur dan mengirimkan doa pada beliau semua. Al-Fatihah…

Mohamad Guntur Romli
31 Mei 2019