Soepomo, Ki Bagoes, Bung Karno: Dasar Negara dan Pancasila

Gagasan Ki Bagoes Hadikoemo

KH. Sanoesi (teks pidatonya tidak ditemukan), dan Hindromartono (pidatonya singkat), Dahler (pidatonya sangat singkat), dan Liam Koen Liam pun (juga singkat) adalah tokoh-tokoh yang menyampaikan gagasannya sesudah Soepomo. Sesudah mereka, barulah Ki Bagoes Hadikoesoemo menyampaikan gagasannya yang cukup panjang.

Pidato Ki Bagoes tersusun dalam dua belas point, dengan penegasan awal tentang masyarakat sebelum kedatangan para nabi. Dalam identifikasinya untuk menata masyarakat itu, Allah Subhanahu Wata’ala mengutus para nabi. Pada uraian singkat ini segera diselipkan satu kalimat yang cukup prinsipil. Kalimat itu adalah “manusia itu merupakan satu masyarakat.”

Menarik, pada point dua pidatonya, Ki Bagoes mengawalinya dengan kalimat “Wakil Rakyat dalam bermusyawarah harus dapat berlaku sebagai waris para nabi dan segala permusyawaratan harus berdasarkan keihlasan, suci, dari sifat tamak dan mementingkan diri sendiri.” Kalimat ini tampaknya dimaksudkan, tidak hanya agar musyawarah yang sedang berlangsung dapat diselesaikan, tetapi dijadikan corak penyelenggaraan negara sesudah merdeka.

Resonansi ini terlihat begitu kuat pada uraian beliau selanjutnya dalam poin ini. Uraian-uraian pada point ini, cukup jelas menyatakan rute Ki Bagoes ke negara Islam. Pada angka ini dengan tegas Ki Bagoes menyatakan Islam mengajarkan persatuan dan atas dasar persaudaraan yang kokoh; maka bangunlah negara di atas dasar Islam.

Seperti Soepomo, Ki Bagoes menguatkan argumennya, tetapi dengan rute dan terminal yang berbeda. Ki Bagoes tegas bersandar penuh firman Allah dan Hadis Nabi dalam menerangi rute yang dilaluinya. Pada angka lima pidatonya, dijelaskan, dalam kata-katanya: Agama pangkal persatuan, janganlah takut dimanapun mengemukakan dan mengetengahkan agama.

Seperti angka 4, angka 6 penjelasan Ki Bagoes hanya memuat argumen pendukung atas gagasannya yang dinyatakan pada angka 5. Itu berbeda dengan angka 7 (tujuh) yang cukup lugas menyatakan hasratnya tentang negara. Pada angka ini, Ki Bagoes mengawali penjelasannya dengan menyatakan” Islam mementingkan perekonomian dan mengatur pertahanan negara yang total, baik pertahanan lahir maupun bathin.

Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakan keadilan berdasar kerakyatan dan musyawarah serta kebebasan memeluk agama. Ini adalah kalimat pembuka Ki Bagoes pada angka 8 (delapan). Dalam uraian selanjutnya, dinyatakan dalam negara kita niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya atau pemerintahan yang adil dan bijaksana.

Pemerintahan jenis ini berdasarkan budi pekerti yang luhur, yang bersendi musyawarah dan putusan rapat, serta luas dan berlebar pada agama. Sikap beliau tentang Negara tergambar, dalam kata-katanya selanjutnya “kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam. Karena ajaran Islam itu mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.

Persis beberapa poin terdahulu, argumentasi Ki Bagoes setelahnya hingga akhir, dalam esensinya, menguatkan pilihannya membangun Indonesia sesuai agama Islam. Dalam kerangka menguatkan argumennya, Ki Bagoes menyodorkan kenyataan lain. Kenyataan itu adalah Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan Kiai-Kiai lainnya, yang menurutnya berjuang dengan berpegang teguh pada Islam. Itulah akhir argumen Ki Bagoes.

Rapat tanggal 31 Mei itu terus berlangsung mendengar pandangan Moenandar, M Yamin, Kosoema Atmadja, Oei Tjong Hauw, Parada Harahap dan Dr. Buntarman. Sayangnya dokumen pidato mereka tak tersedia. Keesokan harinya tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pandangannya.

Gagasan Bung Karno philosophische grondslaag (dasar negara), bukan Ideologi

Gagasan Ki Bagoes Hadikowesoemo, terlihat membekas pada Bung Karno, karena berkali-kali Bung Karno menyebut nama Ki Bagoes dalam pidatonya. Tetapi apapun itu, uraian Bung Karno memiliki kemiripan perspektif dengan gagasan Soepomo. Khususnya perspektif perbandingan yang hebat, yang semuanya tersaji pada pidatonya.

Bung karno bicara Jamaika, Iran, Ingris, Amerika, Uni Soviet, Jerman, bahkan mengutip buku Amstrong yang bicara tentang Ibnu Saud. Hebatnya Bung Karno mendapat sambutan meriah. Itu terlihat dari tepuk tangan setiap kali Bung Karno jedah. Tetapi sampai titik ini, belum terlihat diskripsinya mengenai Indonesia.

Mau merdeka atau tidak, tanya Bung Karno pada episode awal ini. Dijawab peserta “mau”. Lalu dilanjutkan Bung Karno dengan pernyataan saudara-saudara! Sesudah saya bicara hal merdeka, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar. Padua Tuan Ketua, begitu Bung Karno melanjutkan pernyataannya:

Saya mengerti apa yang Paduka Tuan Ketua kehendaki. Padukia Tuan Ketua minta dasar, minta philosophische grondslaag, atau, jikalau kita boleh pakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua minta satu “Welstanschaung.” Di atas mana kita mendirikan Negara Indonesia ini. Uraian selanjutnya, harus diakui, Bung Karno memperlihatkan kekayaan pengetahuannya yang melampaui zaman.

Jerman, kata Bung Karno, didirikan oleh Hitler dengan “national-sozialistische Welstanshauung, filsafat nasional – sosialisme menjadi dasar negara Jerman. Lenin, kata Bung Karno mendirikan Uni Soviet atas satu welstanchauung yaitu Marxisme, Historisch. Niipon mendirikan Dai Nippon di atas Tennoo Koodoo Seishin. Ibnu Saud mendirikan Negara di atas satu welstanchauung yaitu Islam.

Apa Welstanschauung kita, jika kita hendak mendirikan Indonesia mereka, tanya bung Karno pada lanjutan pidatonya. Bung Karno kembali menjelaskan secara redundan hal yang telah disajikan, tetapi segera dilengkapi dengan satu pertanyaan yang cukup mendasar.

Apakah sosialisme? Apakah historische materialism? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan dokter Sun Yat Sen? Bung karno lalu bicara tentang Sun Yat Sen yang mendirikan China. Menurut Bung Karno Welstanchauungnya telah ditetapkan tahun 1885, yaitu nasionalisme, demokrasi dan sosialisme. Uraian selanjutnya diselingi beberapa hal memperjelas pandangannya.

Pada titik itu, Bung Karno mengajukan satu pertanyaan. Pertanyaannya adalah apakah kita hendak mendirikan negara merdeka untuk satu orang, untuk satu golongan? Mendirikan negara merdeka yang namanya saja merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?

Jelas jawabannya tidak. Toh Soepomo dan Ki Bagoes telah menjelaskannya. Tetapi apapun itu Bung Karno menyatakan kita hendak mendirikan negara “semua buat semua.” Bukan satu orang, bukan satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua.’'

Saya minta saudara Ki Bagoes dan saudara-saudara yang Islam maafkan saya, begitu kata Bung Karno menyela pidatonya. Permintaan maaf itu didahulukan, karena segera terlihat perbedaan sikap beliau dengan tokoh-tokoh itu.

Maafkan saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa “dasar negara pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan” (tanda petik dari saya). Bung Karno lalu mendekorasi uraiannya selanjutnya dengan berbagai isu. Isu-isu tentang keterikatan manusia dengan tempat tinggal.

Dalam konteks itu, Bung Karno menyebut daerah, yang dari uraian selanjutnya diketahui Bung Karno jadikan sebagai pijakan untuk menguatkan argumentasinya bahwa dasar negara yang pertama itu kebangsaan. Marilah, kata Bung Karno melanjutkan, kita mengambil dasar yang pertama ialah kebangsaan; Kebangsaan Indonesia.

Bukan kebangsaan Jawa, bukang kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, dan lainnya, tetapi kebangsaan Indonesia. Sampai disini, Bung Karno menyelipkan pertanyaan kepada Liem Koen Hian. Pertanyaannya apakah tuan tidak mau akan kebangsaan?

Kata Bung Karno meyakinkan, di dalam pidato tuan waktu ditanya sekali lagi oleh Tuan Fuku Kaityo, Tuan menjawab, saya tidak mau akan kebangsaan. Bukan begitu, jawab Hian, ada sambungannya lagi. Setelah itu Bung Karno menyatakan syukur karena Liem mengakui kebangsaan.

Gagasannya tentang dasar negara yang kedua, mulai terlihat segera setelah itu. Kebangsaan, kata Bung Karno, tidak berarti chauvinism, yang dikembangkan di Eropa. Bung Karno menyatakan kita harus menuju perastuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan hanya mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip yang kedua, kata Bung Karno. Inilah filosofich principle yang nomor dua. Dalam kata-katanya saya usulkan kepada tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme”. Segera setelah itu, Bung Karno beralih bicara dasar yang ketiga, dengan pernyataan pembuka “ kemudian apa dasar yang ketiga?

Dasar yang ketiga ialah “mufakat, dasar perwakilan dan permusyawaratan” (tanda petik dari saya), kata Bung Karno. Soal ini, hemat saya memiliki kemiripan substansial dengan gagasan Soepomo dan Ki Bagoes. Oleh Bung Karno dasar ini dipertalikan, sekali lagi, dengan pernyataannya tentang “negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.” Saya yakin, kata Bung Karno, syarat yang mutlak kuatnya Negara Indonesia merdeka ialah permusyawaratan, perwakilan.

Argumentatif menjadi corak mereka semua dalam mengokohkan gagasan mereka. Bung Karno setelah menyatakan dasar yang ketiga, seperti biasanya melengkapinya dengan serangkaian argumentasinya. Segera setelah itu, Bung Karno beralih bicara dasar yang keempat.

Prinsip nomor 4, kata Bung Karno mengawali uraiannya, saya usulkan ke saudara-saudara. Tetapi segera ada penegasan, dalam kata-katanya, Saya dalam 3 hari ini belum mendengar prinsip itu. Hemat saya penegasan ini mengandung soal. Mengapa? Soepomo dan Ki Bagoes telah bicara soal itu secara umum. Nuansa substansial gagasan mereka menghendaki permusyawaratan sebagai cara mendekatkan rakyat dengan pemimpin.

Sesudah kalimat itu, Bung Karno menguraikan prinsip selanjutnya ialah prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi prinsip San Min Chu, 1 ialah Mintsu, Min Chuan, Min Cheng; nasionalisme, demokrasi, socialism. Selalu seperti itu, Bung Karno menguatkan argumennya dengan mengemukan praktik negara lain sebagai ilustrasi.

Saudara-saudara, begitu Bung Karno melanjutkan, saya usulkan; Kalau kita mencari demokrasi, bukan demokrasi barat. Tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politik ecomische democratie. Pernyataan ini, hemat saya merupakan modus vivendi untuk mencapai kesejahteraan. Ini uraian Bung Karno selanjutnya setelah kalimat itu menegaskan itu mampu mendatangkan kesejahteraan social. Indonesia sudah lama bicara hal ini.

Dari Ratu adil, hinga lima, tiga, hingga satu sila: gotong royong

Lalu dilanjutkan Bung Karno dengan pertanyaan apakah yang dimaksud dengan ratu adil?
Konsep Ratu adil ini, hemat saya menarik. Konsep ini dapat dipakai sebagai pijakan dalam memahami pemerintah Bung Karno 1959-1965. Mengapa? Ratu adil dimaksudkan oleh Bung Karno ialah social rechvardigheid, rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan dibawah pimpinan Ratu Adil.

Oleh karena itu, kata Bung Karno sesudahnya, jika kita betul-betul mengerti, mengingat mencintai rakyat Indonesia marilah kita terima prinsip hal sociale rechvardigheid ini. Menurutnya hal itu bukan saja persamaan politik, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama sebaiik-baiknya.

Argumentasi lanjutan dalam konteks ini, hemat saya, sekali lagi memiliki kemiripan susbtansial dengan gagasan Profesor Soepomo dan Ki. Bagoes Hadikoesomo. Itu sebabnya say tidak mebnguraikannya. Dan segera setelah itu, Bung Karno bicara mengenai prinsip yang kelima.

Gagasan untuk prinsip yang kelima diawali dengan kata-kata “saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengeluarkan 4 prinsip; 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme, atau perikemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan Sosial. Lalu diikuti kata-kata Prinsip Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, tanpa menyebut nomor lima.

Prinsip Ketuhanan. Bukan saja, begitu Bung Karno melanjutkan uraiannya, bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Setelah uraian penguatan argumentasinya, Bung Karno katakan saudara-saudara dasar negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan. Nama Pancha Dharma tidak tepat disini.

Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam 5 jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indra. Apalagi yang lima bilangannya? Lalu seorang yang hadir menyebut Pendawa Lima. Pendawa lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.

Hadir member tepuk atas uraian usai Bung Karno mengenai kelima prinsip itu. Segera setelah itu Bung karno melanjutkan dengan pernyataan berikut “atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja. Saudara tanya apakah perasan yang tiga itu?

Berpuluh-puluh tahun, kata Bung Karno, sudah saya pikirkan dia, welstanchauung kita. Dua dasar yang pertama kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: Itulah yang dahulu saya namakan socio-democratie.

Tinggal lagi ke-Tuhanan, begitu Bung Karno melanjutkan pidatonya, yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Socio-nationalisme, socio –democratie, dan ke-Tuhanan. Tetapi barangkali tuan-tuan tidak senang dengan tri sila ini dan minta satu dasar saja? Baiklah, kata Bung Karno, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi jadi satu.

Apakah yang satu itu? Bung Karno tak langsung menyebut yang satu, melainkan memberi uraian seadanya mengenai negara yang diperuntukan untuk semua golongan, semua buat semua. Usai penegasan ini Bung Karno mengatakan, jikalau saya peras lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perataan “gotong royong.” Lalu ada tepuk tangan lagi.

Gotong-royong, diuraikan Bung Karno, dalam kata-katanya adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Setelah diselingi argumen penguatan, segera muncul, dalam kata-katanya, Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. Bagian ini ditutup dengan pernyataan terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih; Tri Sila, Eka Sila atau Panca Sila?

Logiskah RUU HIP mengambil dan menjadikan pijakan, atau apapun namanya, sebagian isi pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 itu? Bisakah pencetus RUU HIP memberi penjelasan tetang penyangkalan resonansi gagasan Soepomo dan Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam gagasan Bung Karno?

Musyawarah dan keadilan misalnya, telah lebih dahulu dibicarakan oleh Soepomo dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, suka atau tidak. Apa yang disebut Bung Karno Ratu adil, tidak memiliki perbedaan substansial dengan konsep integralistik Soepomo.

Waktu berjalan dan panitia terus juga bekerja. Akhirnya menghasilkan rumusan Pancasila saat ini, setelah tujuh kata “dengan kewajiban mejalan syariat Islam bagi pemeluk-pemluknya,” ditiadakan. Rumusan Pancasila ini dicantumkan dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945.

******

Susah, dengan semua alasan yang mungkin, mengatakan rumusan Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 adalah rumusan ya Bung Karno. Praktis rumusan Pancasila khas Bung Karno 1 Juni 1945, telah berubah 380 derajat. Tidak hanya teksnya, tetapi susunan sila-sila Pancasila khas Bung Karno dan yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 berbeda secara prinsipil.

RUU ini, karena itu, menarik. Menarik juga karena memicu ingatan orang tentang TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966. TAP MPRS ini mengatur Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme, pada pertimbangan RUU HIP ini.

Sedemikian menariknya TAP MPRS di atas, mengakibatkan orang melupakan TAP MPRS yang. TAP MPRS yang saya makdudkan adalah TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 Tentang Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno. TAP ini terlupakan, sejauh ini. Boleh jadi ini disebabkan hingga sekarang tak diketahui apa hasil penelitian itu?

Ajaran apa saja dari Bung Karno, yang bisa dikembangkan dan ajaran apa saja yang tidak bisa dikembangkan, harus diakui, tidak jelas hingga sekarang. Apakah bagian-bagian tertentu dalam Manifesto Politik Usdek, atau Resopim, atau Tavip, atau Gesuri, atau Jarek, yang diteliti? Tidak jelas juga.

Apapun itu, Heading TAP MPRS XXVI/MPRS/1966 menimbulkan akibat hukum tertentu. Akibat hukumnya adalah ajaran Bung Karno, entah apa saja itu, secara hukum tak bisa diperluas hingga meliputi gagasan Bung Karno, yang disampaikan pada pidato 1 Juni 1945 itu. Apakah jalan fikiran berada dibalik RUU HIP saat ini? Itu satu soal menarik.

Di atas itu semua itu RUU ini terlihat terlalu dipaksakan. Mengapa? Tidak hanya nalar pasal demi pasalnya kabur sekabur-kaburnya, tetapi lebih dari itu. Nalar noscitur a socis misalnya, jelas tidak bisa digunakan dalam memahami pasal, ayat dan huruf RUU ini.

Pancasila yang diperinci aspek-aspeknya pada RUU ini, suka atau tidak, mereduksi kedudukannya sendiri. Dalam konteks ini Pancasila kehilangan fungsi Welstanchauung, filosofisnya. Pancasila bergeser, berada UUD 1945, termasuk pembukaannya. Mengapa? Kelak setelah jadi UU HIP, pasal, ayat, huruf bahkan kata demi kata UU HIP itu dapat dijudicial review.

Bahaya fundamentalnya? Pancasila bisa disingkirkan dengan cara hukum. Pancasila tidak dapat dijadikan batu uji, setidaknya dalam level filosofis terhadap UU lain. Itulah bahaya fundamental tersembunyi, unintended consequencys, RUU HIP ini.

Jakarta, 14 Juni 2020.
Republika