Pro dan kontra rencana kelanjutan reformasi konstitusi kembali mengapung ke permukaan. Paling tidak ada tiga pemikiran yang berkembang dalam merespon keseluruhan hasil amandemen (Amandemen Pertama, Amandemen Kedua, dan Amandemen Ketiga) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pertama, adanya pemikiran bahwa amandemen UUD 1945 telah kebablasan. Penilaian ini secara terbuka diusung oleh Gerakan Nurani Parlemen dan Forum Kajian Ilmiah Konstitusi (FKIK). Alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini, perombakan mendasar yang dilakukan MPR tidak sesuai dengan tuntutan reformasi yang hanya menghendaki dilakukan penyempurnaan terbatas terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, mereka meminta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menghentikan kegiatan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Dari kecenderungan yang ada, bukan tidak mungkin, kembali ke UUD 1945 sebelum diamandemen menjadi target kelompok ini.
Kedua, melanjutkan proses amandemen keempat dalam Sidang Tahunan (ST) MPR pada bulan Agustus yang akan datang. Hal ini didasarkan pada amanat yang terdapat dalam Ketetapan (Tap) MPR Nomor XI/MPR/2001 bahwa masih dipandang perlu untuk melanjutkan perubahan UUD 1945 dalam ST 2002. Hingga saat ini, komitmen ini masih menjadi acuan beberapa kekuatan di MPR seperti Fraksi Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Reformasi.
Ketiga, melihat kelemahan-kelemahan dalam tiga kali amandemen yang telah dilakukan, perubahan UUD 1945 tetap harus berujung pada pembuatan konstitusi baru yang dilakukan oleh sebuah Komisi Konstitusi independen. Kelompok yang menjadi lokomotif ide ini adalah Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru serta banyak pemikir politik dan hukum tata negara. Alasan yang dikemukakan pendukung gagasan ini, adalah tidak mungkin menyerahkan perubahan hukum dasar kepada MPR yang sangat dominan kepentingan politik di samping adanya those to be reformed cannot reform them selves, the reformers should come from the outiders.
Perbedaan-perbedaan pendapat yang ada semestinya disikapi dengan cermat dalam melanjutkan reformasi konstitusi. Apakah akan menerima gagasan untuk menghentikan proses amandemen, atau tetap meneruskan amandemen dalam ST MPR 2002, atau mendorong munculnya konstitusi baru yang disusun oleh sebuah komisi yang independen.
***
Secara umum, ada tiga parameter mendasar yang dapat dipergunakan untuk menilai hasil tiga kali amandemen yang telah dilakukan.
Pertama, proses amandemen. Berdasarkan pengalaman dan kecenderungan yang ada di MPR, banyak yang menilai bahwa proses amandemen UUD 1945 sangat jauh dari kemungkinan munculnya konstitusi rakyat (the peoples constitution). Proses yang dilakukan dirasakan sangat elitis karena sangat minim memberikan kesempatan kepada publik. Semestinya, MPR menyadari bahwa Konstitusi adalah semacam kontrak sosial antara rakyat dan negara sehinggga harus mencerminkan konsensus bersama sebagian besar masyarakat untuk kepentingan mendasar dalam jangka panjang. Karena itu, proses perubahan konstitusi seharusnya melibatkan partisipasi publik yang jauh lebih luas dari apa yang sudah dilakukan oleh MPR.
Minimnya keterlibatan publik semakin diperparah dengan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh anggota MPR, terutama anggota Badan Pekerja yang diserahi tugas mempersiapkan materi amandemen UUD 1945. Hal ini terjadi karena sebagian besar anggota Panitia Ad Hoc I (PAH I) Badan Pekerja (BP) MPR juga berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga harus menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan terhadap eksekutif. Terlebih lagi, bagi yang berasal dari partai politik, mereka mempunyai keharusan mengikuti agenda partai. Sehingga waktu yang tersedia tidak optimal digunakan untuk membahas materi amandemen.
Berdasarkan hasil pengamatan selama tiga kali amandemen, terutama amandemen kedua dan amandemen ketiga terlihat dengan jelas bahwa keputusan final substansi amandemen hanya dilakukan oleh sekelompok kecil elit fraksi dalam pertemuan “tim lobi”. Kecenderungan yang ada, tim lobi lebih banyak bekerja untuk mencari kompromi di antara berbagai kepentingan yang ada di MPR. Bahkan, dalam ST MPR 2001 lobi juga melibatkan banyak ketua umum partai politik termasuk Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Akibatnya, banyak pasal dirumuskan untuk kepentingan politik jangka pendek.
Di samping itu, dalam proses amandemen, MPR tidak mempunyai content draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal perubahan yang ditawarkan kepada publik. Content draft diperlukan sebagai kerangka dasar tentang eksposisi ide-ide kenegaraan yang luas dan mendalam mengenai hubungan negara dengan warga negara, negara dengan agama, negara dengan hukum, esensi demokrasi, dan bagaimana mekanisme checks and balances dalam sistem kenegaraan secara utuh. Ketidakjelasan ini memunculkan perubahan yang parsial, sepotong-sepotong dan tambal sulam.
Kedua, substansi amandemen. Ketidakberanian MPR keluar dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang sebagian besar relevansinya sudah tidak layak lagi dipertahankan berakibat pada munculnya kerancuan substansi yang amat mendasar dalam beberapa pasal hasil amandemen. Beberapa contoh dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya paradoks dan inkonsistensi antara satu pasal dengan pasal lainnya, baik secara redaksional maupun sistematikanya.
Ambil beberapa contoh, misalnya keberadaan lembaga legislatif. Berdasarkan perkembangan pemikiran dalam ST MPR 2001 lembaga legislatif akan menganut sistem bikameral dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Konsekwensi perubahan ini, MPR sebagai institusi tidak ada lagi. Di sinilah letak inkonsistennya, beberapa pasal dalam UUD 1945 menempatkan MPR sebagai lembaga “supra” dengan masih ada kewenangan dalam proses pemilihan Presiden, menjadi pemutus impeachment terhadap Presiden. Bahkan dengan diamandemennya Pasal 3 ayat (1) MPR mempunyai kewenangan yang sangat mendasar dalam menentukan “nasib” konstitusi UUD 1945.
Di samping itu, adanya keinginan kuat untuk tetap mempertahankan keberadaan Utusan Golongan (UG). Keinginan ini akan semakin merancukan konstruksi lembaga legislatif dalam sistem ketatanegaraan. Apalagi, kalau untuk mengakomodasi UG diambil sikap tetap mempertahankan rumusan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan UG. Hal ini akan akan berimplikasi lebih luas, lembaga legislatif tidak dua kamar tetapi menjadi tiga kamar.
Menyangkut sistem pemerintahan, tidak ada kejelasan mengenai sistem pemerintahan yang dianut. Kesepakatan awal pada tahun 1999, konstitusi tetap menganut sistem Presidensil. Beberapa hal dapat membuktikan inkonsistensi sikap terhadap keinginan menerapkan sistem presidensil, yaitu (1) sifat supra MPR dalam proses impeachment akan sangat menentukan “nasib” Presiden, (2) kuatnya kecenderungan untuk menjadikan MPR sebagai penentu “kata putus” dalam proses pemilihan Presiden kalau dalam tahap pertama tidak ada calon yang mendapatkan dukungan mayoritas ( ½ + 1pemilih dan didukung oleh 20% suara paling kurang ½ dari jumlah propinsi).
Ketiga, bentuk hukum dan legal drafting. Setelah tiga kali amandemen, ada persoalan lain yang tidak kalah pentingnya yang dapat menimbulkan krisis legitimasi dan kesulitan memahami konstitusi sebagai hukum dasar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (2) Tap MPR No. II/ MPR/ 2000, bentuk hukum amandemen UUD 1945 dilakukan dengan putusan MPR dalam bentuk perubahan UUD dengan ketentuan (1) keputusan itu mempunyai kekuatan hukum sebagai UUD, dan (2) tidak menggunakan nomor putusan MPR. Dengan bentuk hukum seperti ini dapat mengurangi kewibawaan hasil amandemen UUD 1945 sebagai basics law karena dapat saja dinilai posisinya akan sederajat dengan ketetapan MPR yang lain.
Persoalan lain, adalah kesulitan dalam memahami hasil amandemen. Bagi sebagian besar masyarakat, perubahan yang telah dilakukan akan menimbulkan persoalan tersendiri karena muncul sejumlah pasal yang tidak lazim. Misalnya, untuk Pasal 22 ada Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 22B. Bahkan Pasal 28 jauh lebih rumit karena ada sebelas pasal. Cara perubahan ini hanya dapat dipahami oleh kalangan terbatas terutama oleh legislatif dan sekelompok kecil masyarakat yang memahami legal drafting (ilmu perundang-undangan).
***
Harry Tjan Silalahi, menenggarai bahwa pro kontra terhadap kelanjutan amandemen dapat bermuara pada krisis kontitusi (Kompas, 15/04-2002). Untuk itu ada empat kemungkinan jalan keluar yang dapat terjadi, yaitu (1) kembali ke UUD 1945 (asli), (2) menerima secara parsial hasil amandemen, (3) melanjutkan proses amandemen dalam ST MPR 2002, dan (4) menghentikan proses perubahan konstitusi oleh MPR dengan membetuk komisi independen untuk perubahan konstitusi. Dari keempat alternatif itu, peneliti senior di CSIS ini melihat pilihan keempat adalah pilihan yang lebih rasional dan aspiratif dibandingkan pilihan-pilihan lain.
Pilihan terhadap alternatif keempat sejalan dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada tanggal 10-11 April lalu (Kompas, 15/04-2002). Dari 883 responden, hampir 60% responden menginginkan reformasi konstitusi dilakukan oleh tim khusus di luar MPR karena responden menilai bahwa MPR tidak akan mampu melepaskan diri dari kepentingan materi dan uang, serta terbatasnya kemampuan (kapabilitas) anggota MPR untuk melakukan amandemen.
Melihat kelemahan-kelemahan dan pendapat-pendapat yang berkembang, kehadiran Komisi Konstitusi menjadi sebuah keniscayaan untuk merumuskan kelanjutan reformasi konstitusi. Hasi kerja yang tidak optimal, rawan kepentingan politik sesaat, dan tingkat keterwakilan yang tidak memadai menjadi menjadi alasan dari sekian banyak alasan yang mungkin. Sekiranya tetap dengan MPR, sense of ownership terhadap hasil amandemen tidak akan muncul. Akibatnya, konstitusi tidak akan mampu menjadi perekat kehidupan berbangsa ke depan.
Oleh karena itu, dalam ST MPR 2002 perlu dicapai kesepakatan untuk dua hal (1) melahirkan Komisi Konstitusi yang independen dengan memberikan masa kerja selama dua tahun sampai 2004. Hasil kerja Komisi Konstitusi disampaikan kepada lembaga legislatif hasil pemilihan umum tahun 2004 untuk ditetapkan sebagai konstitusi baru (2) harus ada sikap memberlakukan UUD yang ada sekarang, termasuk kemungkinan perubahan yang dilakukan dalam ST MPR 2002, sebagai interim constitution atau transitional constitution sampai adanya konstitusi baru.
Sekiranya ini tidak terjadi, tawaran untuk membentuk Komisi Konstitusi Swasta sudah saatnya diwujudkan.
Oleh Saldi Isra
(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)
Kompas 23 April 2002