Krisis Konstitusional

Beberapa hari yang lalu seorang pakar hukum Tata Negara mengeluarkan pernyataan terkait adanya krisis Konstitusional di dalam Negara kita dan kemudian apa langkah Preisden berikutnya dalam menanggapi fenomena tersebut. Pernyataan itu keluar setelah adanya indikasi kegagalan KPU dalam menyelenggarakan Pemilu 2014. Namun dalam tulisan ini bukanlah hal itu yang menjadi titik krusialnya. Akan tetapi bagaimana krisis konstitusional itu menjadi fenomena yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karena di setiap Negara konstitusi atau hukum dasar merupakan suatu pijakan dari terselenggaranya aktivitas Negara dan warga negaranya. Lalu bagaimana yang terjadi apabila konstitusinya bermasalah?

Sedikit melihat kebelakang terjadinya krisis konstitusi selalu dikaitkan dengan adanya Dekrit Presiden. Di Negara kita hal itu terjadi pada tanggal 5 Juli 1959 pada saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden setelah adanya krisis konstitusi yang bersumber pada UUD Sementa 1950. Langakah yang diambil oleh Presiden Soekarno menurut Prof. Djokosutono SH merupakan “noodstaatrech” (hukum Negara dalam keadaan darurat).

UUDS 1950 sebagai dasar dilakukannya Pemilu 1955 memang membawa Negara ini kepada masa kegentingan. Dewan Konstituante yang terpilih dari hasil Pemilu 1955 itu tidak mampu menyusun UUD yang baru akibat tingginya suhu politik antar fraksi. Ditambah dengan adanya pergolakan daerah yang sudah mencapai titik kulminasi, akhirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan setelah mendapat dukungan dari TNI dan beberapa partai di parlemen.

Banyak kalangan menilai secara subjektif bahwa Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 merupakan upaya untuk melanggengkan kekuasaan Presiden Soekarno saat itu. Tetapi ketika kita melihat secara kacamata hukum langkah tersebut merupakan langkah yang tepat dalam menyelasaikan kegentingan yang melanda bangsa dan Negara. Namun secara hukum juga kita melihat kemudian kegagalan Presiden Soekarno dalam menjalankan UUD 1945 sebagai isi Dekrit itu sendiri. Kegalan itu dibuktikan ketika Presiden tidak mampu membangun seluruh lembaga yang tertuang di dalam UUD 1945. Banyak lembaga yang masih bersifat sementara (misal MPRS dan DPAS). Hal itu yang kemudian menyebabkan krisis konstitusi itu sendiri dalam rangka menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Amanat itu yang juga dipegang oleh Presiden Soeharto sebagai pemegang kekuasaan sesudahnya. Namun hasil yang diperoleh dalam menjalankan konstitusi juga masih jauh dari optimal.

Jadi, dalam melihat perjalanan krisis konstitusi semenjak Republik ini berdiri ada dua sebab dari terjadinya krisis konstitusi itu. Pertama, krisis konstitusi yang disebabkan karena adanya permasalahan dalam konstitusinya. Sebagai contoh UUDS 1950 sebagai konstitusi resmi Republik Indonesia kurun waktu tanggal 16 Agustus 1950 sampai dengan tanggal 5 Juli 1959 merupakan kelanjutan dari UUD RIS yang bertujuan untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta membawa system imitasi dari Negara lain. Maka dari itu periode ini disebut sebagai periode demokrasi liberal yang bertentangan dengan jatidiri bangsa Indonesia. Kedua, krisis konstitusi yang disebabkan dari subjek yang menjalankan konstitusi. Subjek tersebut bertumpu pada Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi di Negara. Pada saat subjek tersebut melakukan penyimpangan dalam implementasi amanat konstitusi, maka pada saat itulah krisis konstitusi terjadi.

Hal yang lazim terjadi dari adanya krisis konstitusi dari dua sebab diatas adalah dengan mengeluarkan Dekrit dari pemegang kekuasaan tertinggi atau penggulingan terhadap suatu rezim yang dianggap menyimpang dari konstitusi. Semua hal tersebut sudah pernah terjadi di Indonesia.

Melihat krisis konstitusi hari ini kita harus mengidentifikasi sebab terjadinya. Jika sebab pertama, memang sudah selayaknya Presiden sebagai seorang negarawan harus berani mengeluarkan Dekrit untuk kepentingan bangsa dan Negara. Dekrit itu dilakukan bukan semata-mata untuk melanggengkan kekuasaan sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya. Permasalahan kekuatan pendukung untuk menjalankan tugas mulia tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Karena keberhasilan Dekrit tidak terlepas dari adanya komponen-komponen pendukung sebagaiman Presiden Soekarno saat itu.Dukungan rakyat maupun lembaga pertahanan Negara akan mengalir selama itu untuk keselamatan bersama.

Kemudian, jika krisis konstitusi disebabkan dari sebab yang kedua maka harus ada tata cara pemakzulan Presiden secara konstitusional atau melalui lembaga berwenang agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang anarkis dari rakyat. Cukuplah tragedi-tragedi sebelumnya yang banyak memakan korban jiwa dan kerusakan harta benda dalam upaya penggulingan suatu rezim. Apapun yang terjadi kita semua rakyat Indonesia selalu berharap pada sesuatu yang terbaik dan terlayak untuk dilakukan demi tegaknya cita-cita dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Dan biarkan pengadilan sejarah yang menilai salah atau benarnya tindakan-tindakan yang akan dilakukan.

Penulis: Kresna Wibawa
Sumber: kompasiana.com. 3 Agustus 2013.