Perlu Konstitusi Baru untuk Indonesia Baru

Jika ingin membangun Indonesia baru, diperlukan suatu paradigma sistem ketatanegaraan yang baru pula. Untuk menciptakan sistem ketatanegaraan yang baru, diperlukan konstitusi baru. Jadi, perlu konstitusi baru untuk membangun Indonesia baru. Benarkah?

Hal tersebut diungkapkan guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Mukti Fajar, saat bersama Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru melakukan konferensi pers untuk menolak gerakan anti amandemen UUD 1945 di Jakarta. Hadir dalam konferensi pers tersebut, antara lain; Todung Mulya Lubis, Munir, Smita Notosusanto, J Kristiadi, Sadli Rauf, Bambang Widjojanto, Mukti Fajar, dan lain-lain.

Mukti mengatakan, ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 masih mengundang berbagai penafsiran dalam pelaksanaannya. Karena itulah, timbul berbagai argumen dari sebagian anggota MPR yang menolak untuk dilakukan perubahan terhadapnya. Dan dari pihak Ornop yang sepakat menyatakan bahwa Indonesia memerlukan konstitusi baru.

“Jika kita menginginkan teciptanya Indonesia baru, tentu membutuhkan paradigma baru. Karena itulah diperlukan konstitusi baru,” ujar Mukti. Mengenai nasib amandemen yang telah dilakukan MPR yang telah dilakukan selama tiga kali, Mukti berpendapat bahwa amandemen itu tidak punya pola dan paradigma yang jelas. Karena itu, perlu diredisain.

Munculnya watak kekuasaan otoriter

Konfrensi pers ini juga dilaksanakan untuk menanggapi alasan Gerakan Nurani Parlemen (GNP) dan Forum Kajian Ilmiah untuk Konstitusi (FKIK) yang menolak perubahan UUD 1945. Dua organisasi tersebut menyatakan bahwa proses perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945 akan menjatuhkan Negara Kesatuan Republik indonesia.

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengatakan, alasan yang diajukan oleh kedua kelompok tersebut menujukkan watak kekuasaan otoriter muncul kembali dalam pemerintahan Indonesia. “Omong kosong. Ini alasan yang ahistoris. Thailand telah melakukan 14 kali pergantian konstitusi. Tapi eksistensinya tidak hilang,” jelas Todung.

Mengenai kacau balaunya amandemen UUD yang dilakukan oleh MPR, Todung sependapat dengan Mukti bahwa hal ini terjadi karena tidak ada paradigma yang jelas yang digunakan dalam proses amandemen tersebut. Contoh kekacauannya adalah pada pasal-pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi dan Kekuasaan Mahkamah Agung.

Saat menyampaikan pendapatnya, pakar politik dari CSIS J. Kristiadi mengatakan bahwa tidak mungkin negara ini berubah menjadi baik, jika konstitusi masih memberikan sistem MPR di mana MPR menjadi sangat berkuasa. Apalagi ditambah dengan tidak adanya disain struktur pembagian kekuasaan yang jelas yang menciptakan mekanisme saling seimbang antar lembaga.

“Jika sekarang ada anggota MPR yang menolak amandemen UUD 1945, MPR tidak hanya mereduksi kedaulatan rakyat namun bahkan mengebirinya,” tegas Kristiadi. Menurutnya, kondisi seperti ini dikhawatirkan akan membenarkan anggapan bahwa yang diperlukan sekarang ini adalah orang “kuat”, tidak perlu ada perubahan konstitusi, dan kembali pada situasi yang otoriter.

Bertentangan dengan sila ke-4

Dalam konfrensi pers tersebut, terlihat hadir praktisi hukum Bambang Widjojanto. Bambang mengataka, hendak dikesankan bahwa amandemen ini bertententangan dengen sila ke-4 Pancasila. Alasan-alasan yang diutarakan kelompok anti amandemen hendak mengesankan bahwa kata-kata “hikmat kebijaksanaan” adalah  MPR.

“Itu nggak betul. Jika kita periksa kalimat yang terdapat dalam sila ke-4 Pancasila, tidak ada kata-kata yang bisa diinterpretasi bahwa “hikmat kebijaksanaan” adalah MPR,” jelas Bambang. Menurut Bambang, apapun bentuknya misalnya DPR dan DPRD kalau prosesnya dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, itu tidak masalah.

Sebagian MPR memang punya alasan tersendiri untuk menolak amandemen terhadap UUD 1945. Begitu pula Koalisi Ornop tentu punya argumen sendiri tentang perlunya perubahan konstitusi demi Indonesia baru. Tinggal masyarakat menilai, siapa yang sebenarnya menyuarakan mayoritas suara masyarakat.

Sumber: Hukum Online. Kamis, 18 April 2002