Menafsir Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Perdebatan mengenai dasar negara sejatinya telah berakhir dengan diterimanya Pancasila oleh kelompok Islam yang pada awalnya menolak kelima prinsip tersebut. Meski dengan berat hati dan adanya intervensi Soekarno saat itu, perlahan penerimaan terhadap Pancasila kian meluas dan mendapat pembelaan dari kelompok Islam itu sendiri. Penerimaan itu tidak lain karena keterbukaan kelompok Islam untuk tidak serta merta menyalahkan apa-apa yang tidak digali langsung dari sumber ajaran mereka (al-Quran dan Sunnah).

Di samping itu, memang masih terdapat pula kelompok Islam yang mempertanyakan relevansi bahkan menolak Pancasila khususnya prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak tanggung-tanggung, mereka hanya mengakui satu istilah yang dipandang sebagai instruksi langsung dari Tuhan, yakni khilafah. Mereka berkeyakinan bahwa menegakkan khilafah adalah bagian dari perintah-perintah agama. Pasalnya, khilafah seperti apa yang mereka kehendaki, sedangkan sejarah kekhilafahan Islam itu beragam model dan punya banyak catatan hitam nan kelam?
Fenomena belakangan ini tidak dapat dijawab dengan sekadar menerbitkan Perppu—yang sifat kegentingannya pun masih dipertanyakan pula. Lebih jauh dari itu, apa sebenarnya arti dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu justru penting untuk diterangkan. Pasalnya, sila pertama inilah yang menjadi akar dari penolakan terhadap Pancasila.

Dalam tulisan sebelumnya (Pentingnya Menafsir Ulang Pancasila) penulis mengutarakan sekurangnya ada tiga kelompok yang menolak sila Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut. Pertama adalah kelompok Islam yang menganggap sila itu bukan dari ajaran Islam dan bertentangan dengan prinsip tauhid. Kedua ialah kelompok agama yang berpaham banyak Tuhan (politeisme). Sedangkan ketiga yaitu kelompok yang justru ingin menghilangkan sila Ketuhanan karena beranggapan bahwa negara tidak sewajarnya diurus oleh Tuhan dan dengannya harus bebas dari pengaruh agama.

Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa tidak penting membicarakan kembali arti dari Pancasila itu. Bagi kelompok ini, penerapan dari Pancasila itu yang sudah sewajarnya dilakukan dan mendesak ditegakkan. Masalahnya—mengutip istilah Ali Syariati—kita belum benar-benar berbicara. Yang selama ini kita lakukan hanyalah mengeluh.

Di depan mata nyatanya masih tersaji pertanyaan-pertanyaan yang sejatinya belum clear oleh sebagian orang. Apakah lantas mereka dibiarkan bingung tanpa jawaban? Hal ini bahkan menyangkut persoalan eksistensi mereka, apakah diakui di tanah airnya sendiri, atau justru dibiarkan begitu saja; ada tapi seperti tiada (wujuduhu ka ‘adamihi). Di sinilah penulis hendak mencoba menafsir arti sila Ketuhanan itu dengan mengikuti tiga keberatan yang muncul dari tiga kelompok tersebut di atas.

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa—sebagaimana pandangan Hatta—merupakan prinsip yang memimpin dan memberi ruh terhadap sila-sila lainnya. Itu artinya, prinsip Kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyakat, serta keadilan sosial harus berada dalam rel atau jalur kebenaran, kebaikan, kejujuran, keindahan dan prinsip universal lainnya yang terkandung dalam prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

Subtansi dari sila-sila Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh serta mempunyai susunan yang hierarkhis dan berbentuk piramidal (Kaelan, 2013). Dengan pemehaman demikian, maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai sebagai berkemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun, tafsiran demikian adalah penjabaran yang mengandung makna turunan dari sila Ketuhanan. Sedangkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu sendiri, perlu diperjelas, apa artinya. Sejatinya sifat Ketuhanan yang menjadi dasar bagi negara Indonesia adalah Tuhan yang esa, satu, atau ahad. Prinsip demikian adalah prinsip universal setidaknya yang paling banyak didukung oleh agama-agama.

Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan yang sesungguhnya, yaitu Tuhan seluruh agama dan makhluk, sebab Ia yang menciptakan. Ketuhanan Yang Maha Esa melingkupi semua agama—termasuk yang tidak beragama/ tidak percaya Tuhan atau yang mengatakan Tuhan itu banyak. Hanya saja, agama-agama mengklaim dirinya sebagai agama yang diridhai atau berada di sisi Tuhan. Mereka boleh saja mengklaim demikian, tapi Tuhan tidak terikat dengan penjelasan mereka. Dialah yang mengklaim, menggariskan, dan menjelaskan sesuatu pada manusia, bukan sebaliknya.

Penjelasan demikian sepanjang bacaan penulis adalah sejalan dengan Islam. Sebab, Islam memandang Tuhan itu satu; Ia tempat bergantung; tidak beranak dan tidak diperanakan; dan tidak ada yang serupa denganNya (al-Ikhlash: 1 – 4). Tafsir ini menyanggah asumsi kelompok pertama. Sedangkan bagi kelompok berikutnya, Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pula arti dibebaskannya mereka percaya atau tidak, atau percaya dengan cara dan tafsirnya masing-masing. Mungkin mereka menolak Keesaan Tuhan, dan prinsip ini tidak melarang itu, tapi mereka tidak dapat menolak Pancasila sebab ianya sudah disepakati.

Lagi pula, prinsip Ketuhanan itu mengandung prinsip lain, yaitu kebebasan beragama dan meyakini serta beribadah sesuai dengan agama yang diyakininya itu. Jadi, keliru sekiranya ada pihak yang masuk ke wilayah privasi umat beragama. Di sini, hanya hubungan horizontal antarumat yang dapat diurusi oleh negara, bukan hubungan umat terhadap Tuhannya (vertikal). Jadi, Keesaan Tuhan dalam sila pertama hanyalah kesadaran dan kebenaran yang disepakati oleh mayoritas warga negara Indonesia tanpa mengkerdilkan keyakinan umat lain.

Adapun tafsir berikutnya dari sila pertama itu, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hendak menjadikan agama tertentu sebagai dasar dari penyelenggaraan negara. Di pihak lain, sila tersebut juga penegas bahwa Indonesia bukan negara sekuler. Bagi mereka yang hanya menerima dua model; teokrasi atau demokrasi, mungkin sulit menerima tafsiran ini. Tapi, tidak ada satupun instrumen yang mengharuskan Indonesia mengikuti model-model negara yang ada. Dengan begitu, dapat disebut bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang senantiasa dalam upaya menjangkau maksud Tuhan.

Indonesia bukan negara agama, dan bukan pula negara tanpa agama. Indonesia menerima negara sebagai bagian dari kodrat manusia, di mana negara merupakan alat bagi terciptanya kesejahteraan umum. Jadi, tafsiran ini menangkis pandangan kelompok ketiga yang seolah dengan menafikan Tuhan, Indonesia akan lebih baik ke depannya. Indonesia adalah negara yang dalam perjuangan, fakta sekarang, dan visi ke depan selalu mencanangkan ketakwaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

*Khairil Akbar, penulis adalah mahasiswa Pascasarjana pada Fakultas Hukum Univeristas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Sumber: nusantaranews.co