Saat ini salah satu hal yang menjadi perbincangan hangat adalah Pancasila dan agama-agama di Indonesia, khususnya berkaitan dengan sila pertama dan konsep keesaan Tuhan di masing-masing agama. Pemicunya adalah tanggapan Eggy Sujana dalam sebuah sidang tentang RUU Ormas yang memang menjadi polemik panas di kalangan para aktifis.
Eggy Sujana dalam tanggapannya terhadap argumentasi pemerintah yang akan melarang ormas yang bertentangan dengan Pancasila menyatakan bahwa jika ormas dilarang karena bertentangan dengan pancasila lalu bagaimana dengan organisasi-organisasi keagamaan selain Islam yang menurutnya tidak sejalan atau tepatnya bertentangan dengan sila pertama Pancasila? Apakah pemerintah akan membubarkan oeganisasi-organisasi agama yang memiliki konsep ketuhanan yang “dianggap” bertentangan dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa?
Perbincangan ini kemudian menjadi semakin hangat di kalangan internal umat Islam ketika Imam Besar masjid Istiqlal, Prof Dr Nazaruddin Umar, menyampaikan opini bahwa konsep trinitas Kristen itu dapat dijelaskan dari pandangan tauhid Islam. Intinya, kira-kira bahwa konsep ketuhanan umat lain itu sesungguhnya sejalan dengan konsep ketuhanan Islam.
Polemik semakin menjadi-jadi dengan opini ini. Apalagi, dalam posisi beliau sebagai Imam Besar masjid Istiqlal dan juga rektor Lembaga Ilmu Alquran Jakarta. Pandangan demi pandangan berseliweran dimana-mana. Ada yang dewasa, ada yang kekanak-kanakan, ada yang rasional, dan banyak pula yang emosional. Bahkan orang yang belum tentu pernah membaca buku-buku referensi Islam dengan pongah mengatakan jika Imam Nazaruddin Umar ini kurang referensi.
Dua titik permasalahan
Saya melihat bahwa masing-masing cenderung memahami pancasila berdasarkan penafsiran golongan (agama) masing-masing. Saya melihatnya bahwa memang di situlah arah pemikiran para pencetusnya, yang memang mayoritasnya adalah para kiai dan ulama. Bersama-sama dengan Bung Karno mereka merumuskan Pancasila ini untuk dipahami atau ditafsirkan berdasarkan arah keyakinan agama masing-masing.
Hal ini menjadi penting sebab sejak awal pencetusannya bangsa Indonesia sudah hidup dalam keragaman yang luar biasa. Baik secara agama, budaya maupun ras dan etnis. Bahkan, di luar agama-agama formal yang diakui oleh negara, ada keyakinan-keyakinan yang banyak dengan konsep teologis masing-masing.
Dan karenanya memang kurang tepat untuk menyalahkan kelompok agama tertentu, atau tepatnya menuduhnya bertentangan dengan Pancasila dengan memakai kacamata “penafsiran agama kita”. Dalam pandangan Islam, sekali lagi dalam pandangan Islam, konsep ketuhanan Kristiani dengan trinitas tidak sejalan dengan konsep keesaan Tuhan (tauhid) dalam Islam. Sehingga, sudah pasti dalam pendangan umat Islam, hal itu tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila. Tapi, sekali lagi, itu dalam pandangan Islam.
Masalahnya, apakah kita umat Islam punya otoritas tunggal dalam menafsirkan arti Ketuhanan yang Maha Esa berdasarkan tauhid yang kita yakini? Atau biarkanlah kelompok-kelompok lain menafsirkannya sesuai dengan pemahaman agama yang mereka yakini?
Hal lain yang juga menjadi masalah adalah bahwa dalam memahami konsep keesaan Tuhan Islam mengajarkannya dalam tiga aspek. Pertama adalah aspek ketuhanan itu sendiri yang lebih dikenal dengan “tauhid rububiyah”. Kedua adalah aspek sifat atau karakter Tuhan yang dikenal dengan “tauhid asma was-sifat”. Dan ketiga adalah aspek penyembahan atau ibadah yang lazim dikenal dengan “tauhid ubudiyah atau uluhiyah”.
Yang pasti adalah bahwa Islam memang mengakui berdasarkan sejarah keyakinan orang-orang musyrik bahwa semua manusia itu, apapun bentuk penyembahannya ternyata yakin kepada Tuhan yang satu. “Wa lain sa-altahum man khalaqassamaqati wal-ardh..layaqukunna Allah”. Bahwa orang-orang Musyrik Arab yang ketika menyembah ratusan patung-patung sekalipun yakin bahwa secara rububiyah hanya ada satu Tuhan.
Permasalahannya kemudian adalah, dan ini inti kesalahan dalam pandangan Islam, kalaupun mereka yakin bahwa ada satu Tuhan, tapi mereka masih juga mengaitkan beberapa sifat makhluk kepada Tuhan. Dan yang paling parah mereka mengambil perantara-perantara-perantara antara diri mereka dan Tuhan yang (semestinya) tunggal dalam penyembahan.
Maka, sebagai bangsa dengan pancasila sebagai asas dalam bernegara, harusnya konsensus itu adalah konsensus kebangsaan. Bukan konsensus keagamaan. Sebab sampai kapan pun agama-agama tidak akan pernah disatukan dalam konsensus kemanusiaan. Akan ada perbedaan-perbedaan, bahkan dalam prinsip sekalipun. Tapi, apakah dengan itu anak-anak bangsa ini akan saling “meniadakan” (menihilkan)?
Di sinilah kemudian dalam pandangan saya pentingnya mendudukan masalah pada tempatnya. Sebagai orang Islam dengan segala perbedaan dengan teman-teman sebangsa dari agama dan keyakinan lain, saya tidak perlu menuduhnya bertentangan dengan pancasila. Toh mereka bisa memahami arti ketuhanan yang maha esa itu berdasarkan agama dan keyakinan mereka. Tapi di sisi lain maafkan kalau dalam pandangan kami umat Islam konsep keyakinan anda itu berdasarkan “penafsiran ketuhanan agama” kami tidak sesuai. Tapi itu kan dari sudut pandang agama kami.
Akhirnya dengan segala hormat saya kepada guru saya, orang yang saya sangat hormati karena ilmu dan akhlaqnya, saya menyatakan tidak setuju dengan penafsiran beliau tentang trinitas itu. Saya berani mengatakan demikian karena saya sudah terlalu sering berdialog langsung dengan teman-teman kristiani. Dan hingga detik ini pun penafsiran seperti yang disampaikan oleh Prof Dr Naazaruddin Umar itu hanya penafsiran pinggiran. Justeru mainstream Kristiani memang mengakui adanya tiga tuhan yang masing-masing pada dirinya adalah berdiri sendiri dan sempurna. Namun demikian, mereka tetap mengaku jika mereka percaya kepada keesaan tuhan atau monoteisme.
Dan karenanya, sikap yang terbaik sekaligus adil dan bijaksana adalah serahkanlah kepada masing-masing pemeluk agama itu untuk menafsirkan pancasila sesuai dengan pemahaman agama dan keyakinan masing-masing. Bahkan, pemerintah sesungguhnya tidak punya otoritas untuk menafsirkan pancasila berdasarkan pemahaman atau penafsirannya sendiri.
Dan ini juga bagi saya yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentapkan sebuah UU atau aturan tentang ormas di negara ini. Selama ormas itu mengakui Pancasila sebagai dasar dalam menjalankan kehidupan bernegara, terlepas dari pemahaman dan penafsirannya, seharusnya dibiarkan bahkan didukung. Sebab, ketika pemerintah cenderung memaksakan penafsirannya maka rentang akan terbentuk “kediktatoran” dalam bernegara.
Akhirnya, mari kita membangun wawasan dan karakter dalam berbangsa yang lebih dewasa, luwas dan bijaksana. Bahwa keragaman adalah “berkah” dan karenanya harus dirangkul dan dihormati. Tapi, semua kita harus memberikan jaminan bahwa keragaman itu juga jangan sampai dibalik menjadi senjata untuk memporakporandakan Negara Kesatuan Republik Indonesia kita tercinta. Insya Allah, Amin!
New York, 8 Oktober 2017
Oleh : Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
Senin, 09 Oktober 2017, 13:01 WIB
Foto: Imam Masjid Al Hikmah New York, Imam Shamsi Ali. Dari situs Republika.