Sidang gugatan terhadap Pasal 282, 285, dan 292 KUHP sudah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir. Pemohon yang terdiri atas sejumlah wanita tokoh masyarakat ini ingin memperluas hukuman terkait pasal-pasal kesusilaan. Republika menyarikan sidang yang sudah berjalan tersebut melalui dua edisi tulisan. Tulisan ini merupakan bagian pertama.
***
“KUHP yang ada pun tidak sepenuhnya melindungi hak-hak konstitusi para pemohon dan juga segenap warga negara dan penduduk Republik Indonesia sekarang ini”.
Demikian pernyataan yang dilontarkan pihak pemohon di hadapan para majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang 20 Juni 2016 lalu. Mereka, yang terdiri atas 12 orang ini, mempersoalkan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Khususnya terkait aturan pidana bagi perbuatan perzinaan, yakni Pasal 282 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), pemerkosaan pada Pasal 285, dan pencabulan di pasal 292 KUHP. Menurut pemohon, aturan terkait perbuatan tersebut sesuai KUHP sudah tidak relevan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia sekarang.
Menurut mereka, KUHP yang disusun oleh para ahli hukum Belanda yang hidup pada zamannya saat itu sudah tidak layak dijadikan acuan bagi masyarakat Indonesia saat ini. Terlebih, di tiga perbuatan yang dipersoalkan para pemohon tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang menjiwai setiap hukum positif di Republik Indonesia.
Selain itu, materi yang tertuang dalam redaksional pasal-pasal tersebut telah melanggar hak-hak konstitusional karena tidak lagi mampu melindungi hak-hak konstitusional setiap orang.
Pun halnya agama-agama di Indonesia pada dasarnya juga melarang perzinaan di luar perkawinan (Pasal 284 KUHP), melarang pemerkosaan kepada siapa saja (Pasal 285 KUHP), dan melarang hubungan sesama jenis atau lesbian, gay, biseksual, dan transeksual (LGBT—Pasal 292 KUHP).
“Karenanya para pemohon menyandarkan harapannya kepada Mahkamah Konstitusi agar berkenan menerima permohonan judicial review pasal-pasal KUHP tersebut,” kata Feizal Syah Menan selaku kuasa hukum pemohon saat membacakan materi permohonan perkara di gedung MK, Selasa (7/6) lalu.
Feizal yang mewakili sejumlah kalangan di antaranya Euis Sunarti, Rita Hendrawaty Soebagio, Dinar Dewi Kania, Sitaresmi Sulistyawati Soekanto, Nurul Hidayati Kusumahastuti Ubaya, Sabriaty Aziz, Fithra Faisal Hastiadi, Tiar Anwar Bachtiar, Sri Vira Chandra D, Qurrata Ayuni, Akmal, Dhona El Furqon.
Pemohon juga berupaya meyakinkan majelis hakim konstitusi yang pada saat itu dipimpin oleh Maria Farida Indrati dengan hakim anggota Anwar Usman dan I Dewa Gede Palguna. Sebagaimana yang telah dikerucutkan dalam perbaikan permohonan perkara pada sidang selanjutnya, yakni tanggal 20 Juni 2016 agar dihapusnya sejumlah ayat, kata dan/atau frasa untuk perluasan makna perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan.
Dalam pasal 284 KUHP yang mengatur tentang perzinaan, secara sosiologis pasal 284 KUHP tidak mampu mencakupi seluruh pengertian arti dari kata zina. Sebab, zina dalam konstruksi pasal 284 KUHP hanya terbatas bila salah satu pasangan atau kedua-duanya terikat dalam hubungan pernikahan.
Dalam konteks sosiologis, konstruksi zina jauh lebih luas selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 KUHP, yaitu juga termasuk hubungan badan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan. Pasal 284 KUHP yang hanya membatasi zina sebagai tindak pidana selama salah satu pelaku terikat dalam perkawinan secara a contrario memiliki makna bahwa persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan merupakan tindak pidana.
“Hal inilah yang akhirnya menimbulkan banyak kerancuan mengenai pelacuran yang terjadi di Indonesia dan juga menimbulkan sejumlah penyakit, seperti HIV-AIDS bagi pelakunya,” katanya. Sehingga, penghapusan frasa “yang telah kawin” akan membuat perluasan makna zina yang bisa dipidana.
Begitu pun berlakunya kata wanita yang ada dalam Pasal 285 KUHP yang semula berbunyi “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Maksud pemohon agar MK menyatakan pasal tersebut bertentangan, agar perbaikan pasal itu ke depannya menghapuskan kata wanita tersebut.
Penghapusan kata itu menjadikan pemerkosaan tidak hanya dibatasi bisa terjadi terhadap wanita, melainkan menjadi bisa terjadi pula terhadap laki-laki. Dengan begitu, terbuka pula pengertian pemerkosaan bisa terjadi atas sesama jenis (LGBT).
Feizal mengatakan, untuk Pasal 292 KUHP, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” menunjukkan bahwa negara hanya memberikan kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa. Sedangkan, terhadap korban yang telah dewasa atau yang diketahuinya atau sepatutnya diduga telah dewasa tidak diberikan kepastian dan perlindungan hukum.
Jika negara tetap menggunakan ketentuan Pasal 292 KUHP yang ada sekarang, jelas negara mengabaikan kewajibannya untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada setiap orang, baik dewasa maupun yang belum dewasa.
Pembiaran terhadap pemberlakuan Pasal 292 KUHP, dapat pula mengakibatkan meningkatkan terjadinya jumlah penularan penyakit menular seksual. Karena pelaku dengan kriteria orang belum dewasa, masih akan bebas melakukan perbuatan cabul pada baik orang belum dewasa lainnya ataupun orang dewasa.
“Sepanjang masih ada kata ‘yang belum dewasa’ dan frasa ‘sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa’ merusak institusi keluarga serta desakralisasi lembaga perkawinan.” katanya.
Hal itu pula yang menurut Feizal menjadi dasar para pemohon menilai perlu uji materi pasal-pasal yang sudah tidak relevan tersebut. Itu juga mengapa dalam petitum (tuntutan perkara) meminta kepada hakim konstitusi agar menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Rangkaian sidang itu juga menghadirkan saksi ahli pemohon, yakni pakar kedokteran jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dadang Hawari. Dia lebih menyoroti soal berbahayanya potensi pemerkosaan sesama jenis atau LGBT yang tidak jelas disebutkan dalam pasal 285 KUHP.
Menurut Dadang, yang bersaksi pada 26 Juli 2016 itu, tidak adanya pengaturan soal aturan hukum yang melarang hubungan sesama jenis membuat banyak pihak berani menghaluskan kata-kata atau eufemisme terhadap perilaku seks menyimpang itu. Bahkan, ada kelompok-kelompok yang berani untuk mengampanyekan perilaku tersebut.
Padahal, ada bahaya dari perilaku LGBT tersebut. Untuk meyakinkan hakim, Dadang memaparkan data Centre of Diseases Control Amerika Serikat pada 2010 yang menyebutkan dari 50 ribu infeksi HIV baru, ternyata 2/3 dari mereka adalah kelompok LGBT. Dan yang mengejutkan, satu di antara lima LGBT yang terinfeksi HIV tidak peduli penyakit itu. rep: Fauziah Mursid ed: Muhammad Hafil
***
Pasal yang Digugat
1. Perzinaan (Pasal 282 KUHP)
- Pasal saat ini hanya menghukum pelaku zina yang terikat pernikahan.
- Pasal yang berlaku saat ini berarti persetubuhan asal dasar suka sama suka di luar pernikahan tak bisa dihukum.
- Padahal dalam konteks sosiologis, konstruksi zina lebih luas dari pasal saat ini, termasuk hubungan badan yang dilakukan pasangan yang tidak terikat pernikahan.
- Pasal yang berlaku saat ini menyebabkan menjamurnya pelacuran dan seks bebas di kalangan remaja yang belum menikah.
2. Pemerkosaan (Pasal 285 KUHP)
- Pasal saat ini menyebut korban pemerkosaan hanya wanita .
- Pemohon meminta kata wanita ini dihapus.
- Karena pemerkosaan juga bisa terjadi terhadap sesama jenis (LGBT).
3. Pencabulan (Pasal 292 KUHP)
- Pasal saat ini dinilai bahwa perlindungan hukum hanya diberikan kepada korban pencabulan yang belum dewasa.
- Sedangkan pencabulan yang telah dewasa tidak diberikan kepastian hukum.
- Pembiaran pasal ini bisa mengakibatkan penularan penyakit menular seksual. Karena, pelaku dengan kriteria orang belum dewasa akan bebas berbuat cabul pada orang dewasa maupun belum dewasa.
***
Sikap Para Peserta Sidang
1. Pemohon:
- Pasal di KUHP soal perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan sudah tidak relevan.
- Meminta MK menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945
2. Dadang Hawari (Saksi ahli pemohon)
- Hubungan sesama jenis berbahaya
- Indikatornya, pada 2010 ada 50 ribu jenis HIV baru yang dua pertiganya dari kalangan LGBT.
3. Komnas Perempuan (Pihak terkait)
- Komnas Perempuan menilai pemohon tak bisa membuktikan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik terkait pasal yang digugat.
4. ICJR (Pihak terkait)
- Jika tindak pidana kesusilaan diperluas, maka negara akan terlalu jauh mengontrol hak yang sangat privasi dari warga negara.
Sumber: Risalah Sidang MK
Republika. Rabu, 14 September 2016
Foto: Suasana sidang uji materi pasal perzinahan dalam KUHP di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (8/9). (Republika/Raisan Al Farisi)