Pandangan ahli dan hakim konstitusi dalam sidang judicial review pasal kesusilaan dalam KUHP semakin meruncing tajam hingga ke persepektif agama. Pasalnya dari masing-masing kelompok menghadirkan para ahli untuk membela keyakinannya.

Seperti dalam sidang siang ini. Koalisi Perempuan menghadirkan ahli akademisi dari bidang studi agama dari Universitas Paramadina. Budhy Munawar Rachman yang dalam paparannya mengangkat konsep ketahanan keluarga dalam Islam dan institusi keluarga di dalam agama islam mencegah atau menyelesaikan kasus perzinaan, pencabulan dan orientasi seksual sejenis.

Budhy menjelaskan pengertian manusia sebagai mahluk ciptaan Allah dalam keadaan fitrah adalah bentuk perjanjian ketika di alam rohani. Sehingga seluruh hidup kita merupakan realisasi perjanjian dengan Allah.

“Inilah yang merupakan asas hidup, jalan hidup yang benar dan jalan inilah yang pernah juga dimintakan kepada Adam. Dan seperti digambarkan Alquran. Adam ternyata tidak sepenuhnya memegang teguh mengenai jalan hidup ini dan dia melanggar perjanjian itu yang dilakukan Adam dengan mendekati sebuah pohon di dalam surga. Akibatnya Adam kemudian diusir dari surga dan jatuh secara tidak terhormat,” ujar Budhy dalam sidang di Gedung Mahkamah Konsitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (28/11/2016).

Budhy mengatakan sebagai mahluk keturunan dari nabi Adam, manusia juga punya potensi untuk jatuh dalam suatu kesalahan. Hal ini senada dengan apa yang oleh pemohon uji materi terhadap tiga pasal itu.

“Nah, masalah-masalah yang sedang kita bicarakan di sini, bapak majelis hakim yang saya muliakan. Seperti perzinaan, pencabulan, dan adanya anggota keluarga yang memiliki orentasi seksual adalah sejenis masalah yang kita bisa menafsirkannya sebagai melanggar aturan Allah. Dan untuk kembali kepada kesucian itu dengan melakukan berbagai 5 macam tindakan-tindakan kebaikan dengan makna kata-kata yang terkait dengan cinta Allah, maka kasih Allah jadi lebih tinggi daripada penghukumannya,” papar Budhy.

Budhy juga menjelaskan bentuk fitrah manusia lain tentang ketertarikan laki-laki dan perempuan. Namun ketika mereka memiliki ketertarikan sesama jenis, sama saja telah melanggar ketentuan alam.

“Kemudian salah satu unsur fitrah manusia yang lain ialah adanya hubungan tarik-menarik antara 2 jenis yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Mengingkari adanya hubungan tarik-menarik ini, akan sama artinya dengan mengingkari hukum alam raya yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai pencipta,” beber Budhy.

Dalam kaitan ini, Budhy melihat sebagai negara muslim lainnya, Indonesia dapat menetapkan hukum penyelesaian baru dengan cara penyelesaian prinsip umum syariah dan kepentingan umum.

“Karena itulah, kita bangsa Indonesia sangat comfortable dengan gagasan-gagasan mereka yang berkenaan dengan hubungan agama dan negara yang didasarkan pada Pancasila sebagai titik temu antara seluruh golongan. Dengan pandangan agama dan negara didasarkan pada Pancasila ini, maka kita pun mengedepankan prinsip subsidiaritas yang sangat penting. Dengan argumen seperti ini, sebenarnya saya ingin menegaskan bahwa apa yang bisa diselesaikan oleh keluarga sebaiknya juga diselesaikan oleh keluarga, tidak perlu dicampur negara, tidak perlu diurus oleh negara,” tuturnya.

Budhy mengatakan jika gugatan dari pemohon dikabulkan, maka dampak yang ditimbulkan dalam pelanggaran hak konsitusi akan lebih luas. Sehingga polemik seperti ini tidak perlu ditarik ke ranah pidana.

“Jika masalah ini diselesaikan secara hukum positif, ini akan membawa kemungkinan negara melakukan pelanggaran konstitusi dan hak asasi manusia karena negara mengurus apa yang seharusnya sudah bisa diurus dan diselesaikan dengan baik oleh keluarga dan masyarakat. Belum lagi terkait dengan masalah lanjutan yang bisa muncul pada kehidupan anak dan istri sebagai pihak yang paling dirugikan,” pungkas Budhy.

Sidang itu digelar atas permohonan pemohon guru besar IPB Bogor, Euis Sunarti. Selain Euis, juga ikut memohon akademisi lainnya yaitu Rita Hendrawaty Soebagio SpPsi MSi, Dr Dinar Dewi Kania, Dr Sitaresmi Sulistyawati Soekanto, Nurul Hidayati Kusumahastuti Ubaya SS MA, Dr Sabriaty Aziz. Ada juga Fithra Faisal Hastiadi SE MA MSc PhD, Dr Tiar Anwar Bachtiar SS MHum, Sri Vira Chandra D SS MA, Qurrata Ayuni SH, Akmal ST MPdI dan Dhona El Furqon SHI MH.

Mereka memohon pasal-pasal asusila dalam KUHP yaitu:

1. Pasal 292 KUHP berbunyi:

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Dalam hazanah akademik, pasal di atas dikenal dengan pasal homoseksual dengan anak-anak. Tapi Menurut Euis dkk, pasal itu seharusnya juga berlaku untuk ‘korban’ yang sudah dewasa. Sehingga pemohon meminta pasal itu berbunyi:

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

2. Pasal 284 ayat 1 KUHP, yang berbunyi:

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan seorang pria dan wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

Euis meminta pasal yang dikenal dengan ‘pasal kumpul kebo’ itu diubah menjadi lebih luas, yaitu setiap hubungan seks yang dilakukan di luar lembaga perkawinan haruslah dipidana. Sehingga berbunyi:

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan seorang pria dan wanita yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

3. Pasal 285 KUHP yang berbunyi:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Euis dkk meminta pasal pemerkosaan tidak hanya berlaku kepada lelaki atas perempuan, tetapi juga lelaki terhadap lelaki atau perempuan terhadap perempuan. Sehingga pasal itu berbunyi:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Sidang ke-15 dipimpin oleh Anwar Usman. Sidang menghadirkan dua ahli dan akan dilanjutkan pekan depan untuk sidang ke-16.
(edo/asp)

Detik. Senin 28 November 2016
Foto: Sidang MK (ari/detikcom)