Kwik Kian Gie - Nasionalisme Sudah Mati

Hari ini kita berbicara tentang “membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa.” Membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa tidak dapat dilepaskan dari semangat nasionalisme. Pengertian nasionalisme itu memang dipertanyakan dalam dunia yang sedang dalam arus besar globalisasi. Banyak kaum teknokrat kita yang mempertanyakan apakah nasionalisme masih relevan sekarang ini?

Bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya? Apakah benar bahwa globalisasi mesti bertentangan dengan nasionalisme? Mari kita telusuri.

Menurut keyakinan saya, hipotesa bahwa nasionalisme sudah mati dan tidak relevan lagi hanya dipakai sebagai alasan untuk membuat Indonesia tidak mandiri, agar menjadi target penghisapan kekayaannya.

Kalau selama penjajahan yang tiga setengah abad lamanya itu kita dihadapkan pada kekuatan senjata kaum penjajah, yang kita hadapi sekarang bukanlah senjata, melainkan pikiran-pikiran yang membuat kita tidak dapat bergerak secara merdeka. Mengapa? Bukankah kita negara yang sudah merdeka dan berdaulat penuh? Memang, tetapi kalau kita berani melanggar pikiran-pikiran yang dominan atau main stream thoughts dari masyarakat internasional, kita dianggap melakukan pelanggaran konvensi yang harus dihukum dengan diisolasinya Indonesia dari masyarakat internasional. Beranikah kita menghadapi isolasi dengan segala konsekuensinya? Banyak bangsa yang berani, antara lain China, Malaysia, Venezuela.

Tidak demikian dengan Indonesia. Sejak bulan November tahun 1967 Indonesia sudah menyerahkan dirinya untuk diatur dan dijadikan target penghisapan oleh korporasi internasional. Para pemimpin kita sendiri yang ketika itu menuntun korporatokrasi mulai beroperasi di Indonesia atas dasar infra struktur hukum yang dirancang oleh korporasi-korporasi asing. Dalam makalah ini faktanya akan saya kemukakan.

Maka musuh kita untuk meraih kembali kemandirian bangsa bukan hanya aturan main yang ditentukan oleh lembaga-lembaga internasional, tetapi di dalam tubuh bangsa kita sendiri diperkuat oleh sekelompok elit intelektual yang besar pengaruhnya dalam pembentukan opini publik, betapapun tidak masuk akalnya pikiran-pikiran main stream yang menjelma menjadi aturan, konvensi, dogma dan doktrin yang bagaikan sabda Tuhan yang mutlak.

Kesemuanya ini ditambah dengan demokratisasi yang dinamakan reformasi, yang dalam kenyataannya telah berkembang dan menjelma menjadi kekalutan atau chaos dan anarki. Kondisi ini tidak mungkin dibenahi tanpa adanya pimpinan yang sangat kuat kepribadiannya, berani mengambil resiko besar dan berani memerintah dengan tangan besi.

Pimpinan baru yang sangat kuat tersebut harus berani melibas atau paling tidak mengkerdilkan pengaruh Mafia Ekonom Orde Baru. Mereka tidak punya pendirian. Mereka sudah mulai berpengaruh ketika Bung Karno mendirikan KOTOE. Mereka menjadi pemegang kendali mutlak selama zaman Orde Baru. Dalam era Gus Dur, mereka melekatkan diri melalui lembaga-lembaga baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam ketatanegaraan kita, yaitu Dewan Ekonomi Nasional dan Tim Asistensi pada Menko EKUIN, yang disponsori dan dipaksakan kepada Gus Dur oleh kekuatan-kekuatan internasional.

Dalam era Megawati mereka kembali sepenuhnya sebagai menteri-menteri yang menguasai dan menentukan kebijakan ekonomi. Dalam era ini telah diambil keputusan-keputusan dalam bidang ekonomi yang lebih memperpuruk dan melapangkan jalan guna pengedukan kekayaan alam kita, pembenaran tentang diobralnya asset nasional kepada swasta, terutama swasta asing, dan sekarang dalam era SBY, kendali ekonomi semakin kokoh ada di kekuatan asing.

Bagaimana caranya? Doktrin mereka adalah bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari borderless world, tidak boleh memasang pagar apapun juga untuk melindungi dirinya sendiri. Sistem lalu lintas devisa haruslah bebas mengambang total, BUMN harus dijual kepada swasta, sebaiknya swasta asing, karena hanya merekalah yang mampu mengurus perusahaan. Pendeknya liberalisasi total, globalisasi total, dan asingisasi total. Slogan propaganda mereka adalah “Apakah A Seng lebih baik daripada Asing?”, dan “BUMN minta diinjeksi uang oleh pemerintah, tetapi perusahaan asing membayar pajak kepada pemerintah.” Kalimat-kalimat ini berkumandang dalam sidang-sidang kabinet Megawati.

Maka dalam rangka membangun kekuatan nasional, yang pertama harus kita lakukan adalah menumbangkan doktrin-doktrin anti nasionalisme yang terus menerus tanpa bosannya harus kita ulangi lagi dan ulangi lagi.

Marilah kita bahas apakah benar bahwa nasioanlisme memang sudah mati dan tidak relevan lagi? Tidak dapat dipungkiri bahwa tatanan dunia telah berubah banyak, dan globalisasi adalah hal yang riil. Namun kalau dikatakan bahwa nasionalisme sudah mati dan tidak relevan lagi adalah kesalahan besar. Lagi-lagi adalah kelompok Mafia Ekonom Orde Baru yang sangat gigih menyuarakan bahwa nasionalisme adalah bagaikan katak dalam tempurung, hanya dianut oleh orang-ornag kuno yang tidak berpendidikan dan sudah sangat ketinggalan zaman tentang bagaimana dunia bekerja.

Mereka membutakan diri bahwa Presiden George W. Bush, baik dalam tutur katanya maupun dalam simbolisme-nya jelas seorang nasionalis sejati. Setiap hari dia menyematkan pin bendera Amerika Serikat pada dadanya, hal yang dilakukan oleh banyak dari para menterinya. Lebih dari itu, Bush menganjurkan supaya setiap orang Amerika setiap harinya menyematkan bendera Amerika di dadanya, dan hampir setiap department store menjualnya. Mengacu pada pengalaman di tahun 1942, Bush menganjurkan semua majalah di Amerika memasang bendera Amerika pada cover-nya. Kata-katanya adalah : “July 1942 United we stand. In July 1942, America’s magazine publishers joined together to inspire the nation by featuring the American flag on their covers. Be inspired.”

Bagaimana Mafia Ekonom Orde Baru? Beranikah Anda menghujat Amerika sebagai ketinggalan zaman, katak dalam tempurung, tidak mengerti globalisasi dan seterusnya?

Pada tanggal 18 Maret 2002 Uni Eropa berkumpul di Barcelona menyelenggarakan konperensi tingkat tinggi yang kesimpulannya penuh dengan nasionalisme Eropa. Memang sudah bukan negara-negara Eropa secara individual, tetapi menjadi Uni Eropa. Jelas sekali semangat kebangkitan kembali nasioanlisme Eropa yang terang-terangan membandingkan dirinya dengan Amerika Serikat dengan semangat yang tidak mau kalah. Kita tidak perlu mengemukakan fakta-fakta betapa Malaysia, Jepang dan China tidak pernah tidak nasionalistis.

Jauh sebelum itu, Edith Cresson sebagai Menteri Perdagangan Perancis membeli pabrik elektronik Thomson dengan teknologi primitif untuk dijadikan BUMN. Paberik ini dibeli dan dijadikan BUMN karena kalah bersaing dengan Jepang dan mengalami kerugian besar. Ketika ditanya oleh parlemen Perancis mengapa, Edith Cresson menjawab bahwa dia tidak bisa melihat pasaran consumers electronics Perancis didominasi oleh Jepang. Bukankah ini nasionalisme? Ataukah harus dikatakan bahwa parlemen Perancis bersama-sama dengan Menteri Perdagangannya adalah katak dalam tempurung?

Philips membeli Grundig yang hampir bangkrut. Ketika saya tanyakan langsung kepada Komisaris Utamanya, Prof. Dekker, dia menjawab bahwa dia tidak bisa menerima pasaran elektronik Jerman didominasi oleh Jepang.

Ketika Hollywood dibeli oleh Sony, Sony dibuat bangkrut oleh para artis yang walaupun sudah menandatangani kontrak, tidak muncul ketika harus dibuat filmnya. Mereka menantang Sony supaya semua artis diperkarakan sebagai pengingkaran kontrak. Apakah sikap ini bukan nasionalisme Amerika? Dan apakah ini nasionalisme sempit?

Ketika IMF menekan kami untuk membebaskan bea masuk beras dan gula sampai nol persen, Eropa, Amerika dan Jepang memberlakukan bea masuk yang tinggi untuk produk-produk pertanian demi melindungi para petaninya. Apakah itu bukan nasionalisme, yang bahkan sangat tidak adil dan mau menangnya sendiri?

Kwik Kian Gie
Maret 2011
Sumber: kwikkiangie.com
Foto: tempo.co