Muladi - Polri dan TNI Perlu Dewan Keamanan Nasional

Kita akan menipu diri sendiri apabila terus beranggapan bahwa hubungan antara tugas-tugas Polri di bidang keamanan dan tugas TNI di bidang pertahanan di lapangan baik-baik saja.

Pasal 30 UUD 1945 pascaamandemen menegaskan, TNI sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, serta memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sementara Polri alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Dengan garis demarkasi dan dikotomi tersebut seolah-olah segala sesuatunya menjadi baik. Padahal, tugas-tugas keduanya tak mungkin dipisahkan satu sama lain karena terdapat hubungan erat dan saling ketergantungan secara timbal balik. Dikotomi tugas tersebut ternyata dalam implementasinya bermasalah.

Idealnya, tugas TNI dan Polri dipahami dalam kerangka reorganisasi definisi ”keamanan nasional komprehensif”.

Dalam hal ini, keamanan nasional tak hanya berkaitan dengan pertahanan berupa usaha mengatasi ancaman bahaya simetrik-militeristik dari negara lain yang mengancam kedaulatan, integritas teritorial, dan kemerdekaan politik, tetapi mencakup pula usaha menghadapi ancaman bahaya keamanan yang bersifat asimetrik yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara yang membahayakan manusia dan masyarakat. Termasuk bahaya yang bersifat politik, lingkungan, makanan, kesehatan, personal, ekonomi, dan bahaya terhadap masyarakat. Tidak mustahil antara bahaya keamanan simetrik dan asimetrik tersebut terjadi sinergi negatif.

Tanpa pemahaman komprehensif terhadap makna keamanan nasional tersebut secara struktural, substantif, dan kultural dapat menimbulkan kegamangan tak hanya bagi TNI dan Polri sebagai kekuatan utama pertahanan dan keamanan, tetapi juga bagi rakyat yang secara konstitusional diposisikan sebagai kekuatan pendukung.

Tanpa mengesampingkan prinsip demokrasi yang melihat pemerintahan sipil sangat dominan dan harus dihormati, fungsi keamanan dalam arti luas seharusnya tanggung jawab bersama. Sebagai contoh adalah dalam hal penanganan terorisme. Adalah sangat tidak bijaksana apabila penanganan bahaya laten ini seolah-olah hanya dibebankan kepada Polri, khususnya Densus 88. Padahal, TNI dengan satuan-satuan khusus antiteroris yang dimilikinya, yaitu Sat 81/Gultor Kopassus, Denjaka AL, dan Bravo AU, selalu siap membantu Polri. Demikian pula kesiapan partisipasi masyarakat sebagai kekuatan pendukung.

Operasi militer

Persoalan di atas sebenarnya secara konseptual juga sudah diantisipasi oleh para perancang UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Selain mengatur operasi militer untuk perang sebagai tugas pokok TNI, dalam Pasal 7 mengatur pula apa yang dinamakan operasi militer selain perang (OMSP). Dalam kaitan ini ada 14 cakupan tugas TNI yang akan bersentuhan dengan tugas Polri, seperti mengatasi aksi terorisme, mengamankan obyek vital nasional, membantu tugas pemerintahan di daerah, serta membantu Polri dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pengaturan tersebut tetap menimbulkan kegamangan dan kesan bersifat ”setengah hati”. Sebab, dalam Pasal 7 Ayat (3) UU No 34/2004 ditentukan bahwa pelaksanaan OMSP tersebut berdasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara. Bahkan, dalam membantu tugas-tugas Polri dalam rangka kamtibmas ditentukan adanya pengaturan undang-undang terlebih dahulu.

Dampak kegamangan tanpa solusi cepat harus diartikan lebih luas. Di samping TNI akan cenderung sebagai penonton sebelum ada kebijakan dan keputusan politik, di lapangan juga dapat memicu apatisme dan kecemburuan sosial di lingkungan TNI. Citra seolah-olah Polri mendapatkan keistimewaan—apalagi dimanjakan—pasti juga bukan kehendak Polri.

Harapan untuk mengatasi persoalan kegamangan dan kesenjangan tersebut dapat dipenuhi jika ada kehendak politik untuk melaksanakan segera amanat Pasal 15 UU No 3/2002 tentang Pertahanan Nasional, yaitu membentuk Dewan Pertahanan Nasional—lebih tepat dinamakan Dewan Keamanan Nasional— yang diketuai langsung oleh presiden. Dewan ini berfungsi memberi nasihat kepada presiden dengan memperhatikan integrasi berbagai kebijakan dalam dan luar negeri, militer, serta kementerian/badan lain.

Anggotanya, antara lain, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala BIN. Di sinilah kebijakan dan keputusan politik setiap kali menerapkan OMSP diputuskan dengan cepat dan akurat.

MULADI
Guru Besar PTIK dan Mantan Gubernur Lemhannas
Kompas.com – 01/07/2011
Foto: berdemokrasi.com