Pengertian Hubungan Internasional, Politik Internasional, dan Politik Luar Negeri

Pengertian hubungan internasional, politik internasional, dan politik luar negeri sesungguhnya memiliki ontologi sendiri-sendiri. Tulisan ini akan membahas secara tersendiri ketiga konsep tersebut. Konsep-konsep tersebut adalah Hubungan Internasional, Politik Luar Negeri, dan Politik Internasional. Dua konsep terakhir – Politik Luar Negeri dan Politik Internasional – adalah sub disiplin Hubungan Internasional.

Karena sifat ‘keindukan’ dari Hubungan Internasional ini-lah, maka konsep tersebut akan dijelaskan dijelaskan terlebih dahulu. Untuk lebih memperjelas sifat ‘keindukan’ dari Hubungan Internasional ini, kami persembahkan skema berikut:

Politik Luar Negeri dan Politik Internasional tercakup ke dalam disiplin Hubungan Internasional. Hubungan Internasional sendiri masuk ke dalam materi disiplin Ilmu Politik secara keseluruhan.

Apa yang dimaksud dengan Hubungan Internasional? K.J. Holsti dalam bukunya International Politics, mendefinisikan bahwa Hubungan Internasional sebagai:

“Semua bentuk interaksi antara masyarakat yang berbeda, apakah itu disponsori oleh pemerintah atau tidak … ia mencakup juga studi mengenai serikat perdagangan internasional, Palang Merah Internasional, turisme, perdagangan interasional, transportasi, komunikasi, dan perkembangan nilai dan etik internasional.”

Hubungan Internasional mencakup seluruh hubungan yang dilakukan baik oleh negara maupun non-negara (individual), di mana hubungan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah masing-masing.

Aktor negara misalnya pemerintah Amerika Serikat, Iraq, Afganistan, atau Israel. Aktor non-negara misalnya team bulutangkis Piala Thomas, petani buah Mekar Sari yang sedang menjalin hubungan dagang dengan pengusaha di Australia, masalah turis luar negeri yang berkunjung ke Bali, ataupun pernik perizinan yang dialami oleh pelajar-pelajar Indonesia yang tengah belajar di Mesir.

Singkatnya, jika kita belajar Hubungan Internasional, perhatian kita tidak hanya terpaku pada aktivitas yang dilakukan negara, melainkan pula aktor individu/organisasi non politik/negara, seperti telah disebut. Namun, hal yang patut diingat adalah, Hubungan Internasional menghendaki hubungan-hubungan yang dilakukan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah masing aktor yang berhubungan.

Dengan demikian, hubungan dagang antara Departemen Pertanian Republik Indonesia dengan petani beras di Cianjur, bukan termasuk Hubungan Intenasional oleh sebab batas yuridiksinya hanya berada di dalam wilayah Indonesia. Namun, jika petani Cianjur tersebut berdagang dengan agen beras di Dili (Timor Leste), proses tersebut masuk dalam kerangka Hubungan Internasional.

Hubungan Internasional juga mengkaji masalah Politik Luar Negeri dan Politik Internasional. Perbedaan Hubungan Internasional dengan kedua konsep ini adalah bahwa dua konsep yang terakhir hanya mengkaji aktor negara. Berikut kami akan uraikan apa yang dimaksud oleh dua konsep terakhir ini.

Apa yang dimaksud dengan Politik Luar Negeri? Carlton Clymer Rodee et al. mendefinisikan Politik Luar Negeri sebagai:

“Pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain … [yaitu] bagaimana cara menentukan tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan mesin pengambilan keputusan pemerintah, dan mengelola sumber daya manusia dan alam untuk bersaing dengan negara lain di dalam lapangan internasional.”

Berbeda dengan disiplin Hubungan Internasional yang memasukkan baik aktor negara maupun non-negara ke dalam kajian, Politik Luar Negeri hanya mengkaji aktor negara.

Dalam Politik Luar Negeri, negara dipandang sebagai tengah memperjuangkan kepentingan di dalam hubungannya dengan negara (atau beberapa negara) lain. Secara otomatis pula, jika suatu hubungan dilakukan suatu negara terhadap negara lain, maka ia pasti melewati batas yuridiksi wilayah masing-masing. Dalam aktivitas Politik Luar Negeri, suatu negara memiliki tujuan, cara mencapai tujuan, cara mengelola sumber daya alam agar ia dapat bersaing dengan aktor-aktor (negara) lain.

Dalam Politik Luar Negeri, suatu negara menetapkan serta menerapkan serangkaian tindakan yang ditujukan terhadap negara lain. Misalnya, Amerika Serikat di bawah administrasi Presiden George Walker Bush menetapkan politik luar negeri berupa Global War on Terrorism (GWOT).

Dalam politik luar negeri tersebut, pemerintahan Amerika Serikat menetapkan kebijakan keamanan “ekstra ketat” di dalam negeri, menseleksi ketat orang asing yang masuk ke negaranya, membangun teknologi militer anti teror, menekan parlemen untuk memberi anggaran lebih besar pada bidang keamanan, dan menjalin hubungan dengan negara lain yang “sepaham” dengan politik luar negeri anti terorisme tersebut, menekan negara-negara lain yang tidak sepaham untuk mau mendukung politik luar negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara seperti Iran, Korea Utara, dan Kuba sebagai “poros jahat” (rogue state) akibat mereka dicurigai menghambat politik luar negeri Amerika Serikat itu.

Namun, Politik Luar Negeri hanya menganalisa apa-apa yang ditetapkan suatu negara terhadap lingkungan ‘luarnya.’ Ia tidak ingin masuk lebih dalam lagi guna membahas apa saja reaksi lingkungan (atau negara) ‘luar’ terhadap suatu negara yang memberlakukan Politik Luar Negeri. Reaksi tersebut meliputi interakisi antar negara di luar Amerika Serikat, sebagai contoh, dalam menanggapi politik luar negeri Global War on Terrorism. Apakah mereka satu sama lain saling mendukung, netral, atau bahkan cenderung menjauhi Amerika Serikat.

Masalah ‘reaksi’ yang dimunculkan oleh lingkungan luar ini dibahas di dalam disiplin Politik Internasional. Apa yang dimaksud dengan Politik Internasional? KJ. Holsti mendefinisikan Politik Internasional sebagai:

“ […] interaksi antara dua negara atau lebih … [yang terdiri atas] pola tindakan suatu negara dan reaksi atau tanggapan negara lain terhadap tindakan tersebut […]”

Jika Politik Luar Negeri hanya membahas bagaimana sebuah negara menanggapi serangkaian tindakan yang diambil berdasarkan analisis kondisi internasional, maka politik internasional merupakan aksi-reaksi tindakan antarnegara. Bidang yang secara khusus membahas prinsip ‘aksi-reaksi’ ini adalah Politik Internasional. Agar lebih jelas, lihat skema berikut :

Berbeda dengan Politik Luar Negeri, Politik Internasional menitikberatkan pada dinamika ‘tanggap-menanggapi’ antara dua atau lebih negara. Tentu saja, di dalam Politik Internasional juga dibahas masalah Politik Luar Negeri, tetapi sejauh Politik Luar Negeri tersebut berakibat pada kondisi aksi-reaksi antarnegara.

Misalnya peristiwa masuknya Timor Timur ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Kasus tersebut merupakan masalah politik internasional, oleh sebab melibatkan 2 negara berdaulat : Indonesia dan Portugal. Indonesia memasukkan Timor Timur ke dalam wilayahnya bukan tanpa sebab.

Pertama, kondisi politik internasional tahun 1976 ditengarai Perang Dingin antara Blok Komunis (dipimpin Uni Sovyet) melawan Blok Kapitalis (dipimpin Amerika Serikat). Kedua, Amerika Serikat memiliki sekutu di dekat wilayah Timor Timur yaitu Australia. Ketiga, Indonesia —yang tergabung dalam ASEAN— juga tengah menghadapi ancaman Komunis dari Utara (lewat jalur Cina ke Vietnam Utara). Keempat, Portugal seperti “menterlarkan” wilayah Timor Timur yang berakibat di wilayah tersebut menjadi basis pelatihan gerilyawan komunis yang hendak merebut kekuasaan. Kelima, pemerintahan Indonesia berada di bawah Orde Baru Suharto yang anti komunis tetapi cenderung pro Blok Kapitalis. Kasus pemasukan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia, sebab itu, sangat kental dimensi Politik Internasional-nya.

Studi politik internasional dapat ditesuri hingga tulisan-tulisan pra Masehi, semisal dari Tuchydides, Aristoteles dan Plato. Mereka dinyatakan sebagai perintis awal teorisasi hubungan internasional. Masing-masing dari mereka mewakili 2 aliran dalam teori ini : Realis dan Idealis. Aliran Realis diwakili Tuchydides dan Aristoteles, sementara Plato mewakili Aliran Idealis.

Dalam studi hubungan internasional kontemporer, kedua aliran tersebut masih berpengaruh meski dengan sejumlah variasi. Aliran Realis memandang bahwa aktor dalam hubungan internasional adalah negara berdaulat serta organisasi pemerintahan internasional (misalnya PBB). Aliran ini juga memandang bahwa “dunia” berada dalam kondisi “perang”, di mana aktor-aktornya (negara atau organisasi internasional) bersaing mutlak untuk memperoleh teritori, kekuasaan, dan sumber daya (alam dan manusia).

Di sisi lain, Aliran Idealis memandang bahwa aktor dalam hubungan internasional, selain negara adalah juga termasuk Organisasi Pemerintahan Internasional, LSM Internasional, masyarakat aneka negara, serta individu. Jadi, aktor hubungan internasional dalam Aliran Idealis cukup luas dan plural. Aliran ini juga memandang bahwa masyarakat internasional terbangun atas aneka hubungan yang menyerupai “jaring laba-laba” dan tak terhitung jumlahnya. Hubungan tersebut bercorak lintas batas negara dan terkadang melewati kewenangan negara. Para aktor terlibat dalam suatu hubungan yang bersifat positif.

Agar lebih jelas, baiklah dimuat bagan perkembangan aliran pemikiran dalam hubungan internasional berikut:

Realisme

Perkembangan aliran pemikiran dalam hubungan internasional pun memiliki akar filsafat politik. Realisme mendasarkan diri para filsafat politik dari Tuchydides dan Aristoteles. Thucydides dianggap sebagai penulis realis hubungan internasional yang pertama. Ia hidup tahun 400 sM di Athena dan menulis buku The History of Peloponnesian War.

Setelah itu muncul konsep kedaulatan negara di akhir abad pertengahan Eropa. Konsep partikularis negara dari Marsilius Padua, balance of power (perimbangan kekuatan), dan teori negara dari Machiavelli melengkapi akar filosofis aliran Realisme dalam hubungan internasional.

Jika Tuchydides dapat disebut Realis klasik, maka Machiavelli dapat disebut Realis Modern. Melalui bukunya Il Principe dan Discourse, Machiavelli menulis tentang kekuasaan, kekuatan, formasi aliansi dan kontra aliansi, serta sebab-sebab terjadinya perang antarnegara. Tidak seperti Thucydides, Machiavelli lebih memfokuskan diri pada masalah keamanan nasional.

Jika boleh ditambah, realis modern lain (di samping Machiavelli) adalah Thomas Hobbes. Hobbes lewat bukunya Leviathan (1668) menulis tentang kondisi anarki Eropa selama dia hidup. Bagaimana negara-negara di Eropa saling berperang dan tidak menghormati perjanjian perdamaian adalah fokusnya. Pemikiran Hobbes mengenai anarki dan kekuasaan ini berpengaruh besar pada teoretisi kontemporer semisal Hans J. Morgenthau lewat bukunya Politics Among Nations.

Pada perkembangannya, aliran Realisme ini mengalami perkembangan. Perkembangan ini akibat munculnya Globalisme sistem politik internasional dari pihak Idealisme. Beda Neorealis dengan Realis adalah, Realis beranggapan sistem internasional selalu dalam kondisi anarki, sementara Neorealis menggap anarki adalah akibat dari ketiadaan otoritas sentral. Beda lainnya, jika Realis mengkaji aktor state yang berusaha memenuhi kepentingan nasional, maka Neorealis mengkaji sistem internasional yang berisi hubungan antarnegara.

Realis dan Neorealis juga berbeda dalam konsep “stabilitas.” Jika Realis menganggap keteraturan otomatis muncul jika masing-masing negara memaksimalisasi kepentingan nasional dengan memperhatikan kekuatan/kelemahan negara lain, maka Neorealis memandang setiap negara harus mempertahankan posisi kekuatan relatifnya di dalam sistem yang ada. Sebab, aliran Neorealis memandang negara yang memaksimalisasi kepentingan “ala Realis” akan “dibuang” dari sistem politik internasional. Neorealisme mengajukan konsep-konsep seperti Unipolar (satu negara sebagai pusat kekuasaan), Bipolar (dua negara sebagai pusat kekuasaan), dan multipolar (banyak negara sebagai pusat kekuasaan).

Kembangan Neorealis yang paling berpengaruh adalah Neorealis-Strukturalis yang dimotori Kenneth N. Waltz. Neorealisme-Strukturalis menganggap stuktur sistem politik internasional sebagai penentu. Dalam sistem ini, kemampuan tiap negara untuk memenuhi kepentingan nasionalnya dibatasi oleh kekuatan negara lain. Sistem internasional terbentuk melalui perubahan dalam pola distribusi kemampuan antar masing-masing unit (negara). Anarki internasional akan muncul ketika kekuatan salah satu negara berubah (lebih kuat atau lebih lemah).

Gambaran aliran Realisme atas hubungan internasional adalah, negara-negara yang ada di dunia berinteraksi seperti bola bilyard. Masing-masing terpisah dan saling bertabrakan sesuai dengan kepentingan nasionalnya sendiri-sendiri. Sebab itu, kajian atas Politik Luar Negeri menjadi inti hubungan internasional. Titik tekannya adalah pada aspek kepentingan nasional, sebagai dasar dibuatnya kebijakan politik luar negeri setiap negara. Realisme menjadi mapan setelah Liga Bangsa-bangsa tidak mampu menanggulangi konflik antarnegara di Eropa tahun 1930-an yang berakibat Perang Dunia II.

Idealisme

Di sisi lain, aliran Idealisme memiliki akar filsafat dari Plato. Plato membayangkan bahwa konsep-konsep seperti keadilan dan harmonisasi yang bersifat positif merupakan ide mutlak yang dapat diterapkan di dunia. Pemimpin yang bisa menerjemahkan hal tersebut adalah seorang filosof yang sekaligus raja. Pemikiran Plato ini diteruskan oleh kaum Stoic, yaitu raja-raja yang memanfaatkan filsafat Plato untuk memerintah. Ciri raja-raja Stoic adalah upaya mereka untuk menahan nafsu berperang, dan anggapan bahwa seluruh negara adalah sama, yaitu sekumpulan warga dunia (kosmopolitanisme) dan saling bantu-membantu.

Lebih lanjut, kosmopolitanisme ini mengembangkan ide utopis (belum ada di kenyataan) berupa satu negara dunia. Inilah yang mengilhami berdirinya Liga Bangsa-bangsa pasca terjadinya Perang Dunia I. Penekanan Liga Bangsa-bangsa adalah mencapai perdamaian internasional melalui hubungan kooperatif antarnegara. Pemikiran yang melandasi berdirinya Liga Bangsa-bangsa ini disebut Aliran Idealis, dan para pendukungnya (seperti Presiden Amerika Serikat 1920-an, Woodrow Wilson) disebut kaum Idealis. Pada kenyataannya, Liga Bangsa-bangsa tidak mampu mencegah terjadinya Perang Dunia II yang berlangsung tahun 1939 hingga 1945.

Kegagalan kaum idealis utamanya adalah tidak konsistennya negara-negara dominan dalam menciptakan perdamaian dunia lewat kerjasama interansional, pengurangan senjata secara berdisiplin, serta ketegasan sikap yang diiringi kekuatan militer pemaksa. Bagi Wilson, benih absolutisme dan militerisme adalah penyebab Perang Dunia I. Benih-benih tersebut hanya bisa dipangkas lewat penciptaan pemerintahan yang demokratis dibentuknya asosiasi bangsa-bangsa (nantinya jadi LBB). Asosiasi tersebut yang –menurut keyakinannya— akan menjamin kemerdekaan dan integritas nasional setiap negara, besar ataupun kecil. Wilson ini juga ditengarai membawa konsep Tata Dunia Baru (New World Order) yang menggemborkan demokrasi dan kerjasama internasional sebagai cara memastikan keteraturan dalam politik internasional.

Di kemudian hari, konsep Wilson tersebut termanifestasi dalam wujud Liga Bangsa-bangsa (LBB) yang berdiri 16 Januari 1920. LBB adalah representasi dari Idealisme dalam politik internasional. Wilson bisa berperan besar karena AS adalah salah satu dari 3 negara utama pemenang PD I (dua lainnya Perancis dan Inggris). Lalu, mengapa LBB ‘Wilson’ ini gagal mencegah terjadinya perang dunia II?

Pertama, LBB gagal memfasilitasi kerjasama internasional untuk secara stabil merestorasi perekonomian Eropa daratan pasca PD I. Pasal 231 Perjanjian Versailles secara eksplisit menyebut Jerman (juga Austria-Hongaria, kerajaan ini hilang dari peta) sebagai pihak yang pertama kali memulai PD I dan sebab itu harus bayar kompensasi 33 milyar dollar AS. Harga diri Jerman (Austria hilang dari peta) jatuh dan menciptakan kemarahan di publik politik dan masyarakat sipil Jerman.

Dari 33 milyar, Jerman hanya sanggup membayar cicilannya sekali saja, yaitu sebesar 2,5 milyar pada tahun 1921 dan setelah itu macet. Menyikapi kemacetan ini, Perancis langsung menganekasi Ruhr, distrik industri dan pertambangan utama milik Jerman. Jerman melakukan perlawanan pasif (karena persenjataannya telah jauh berkurang, juga akibat Perjanjian Versailles) yang dibiayai lewat percetakan uang Mark (mata uang Jerman) secara besar-besaran. Karena dicetak besar-besaran buntutnya jelas: Jerman mengalami inflasi yang justru memperburuk keuangan Jerman dan semakin jauh mengurangi kemampuannya untuk membayar kompensasi perang.

Untuk mengatasi ini, LBB membentuk komisi restorasi ekonomi Jerman (The Dawes Plan) tahun 1924. Dawes Plan diketuai bankir AS, memberi pinjaman 200 milyar dollar AS kepada Jerman guna menggerakkan perekonomiannya. Selama 1924 – 1929 ekonomi Jerman pulih ‘sementara’ (demikian pula Eropa daratan dan Inggris) sehingga pembicaranan ‘anti militerisme’, demokrasi, dan perdamaian terus dilakukan karena spirit idealisme Wilson adalah pengurangan persenjataan setiap negara hingga ke batas minimal.

Hanya kurang lebih 5 tahun ‘kapitalis’ AS mempertahankan jiwa idealis-nya. Perlu diingat, perbaikan ekonomi Eropa (terutama Jerman) yang 5 tahun itu murni mengandalkan uang bantuan (investasi) dari para kapitalis AS. Tahun 1928, bursa saham di New York mengalami booming. Booming ini dilingkupi oleh situasi anomali pasca perang: barang industri mahal karena banyak pabrik hancur, sementara hasil pertanian yang mengandalkan tanah justru overproduksi dan jatuh nilai jualnya.

Untuk menjaga harga jual, masing-masing negara menaikan tarif masuk komoditas pertanian dari negara lain. Namun, di sisi lain para investor ‘kapitalis’ AS –karena menimbang profit taking akan lebih besar— ramai-ramai menarik uang yang sebelumnya mereka tanamkan di dari Jerman. Karena serangan ‘tiba-tiba’ tahun 1929 bursa saham di NY tersebut malah ‘anjlok.’ Akibatnya bisa ditebak: Semakin banyak uang ditarik dari Jerman oleh investor AS untuk menutupi kerugian mereka di bursa. Bayangkan apa yang terjadi pada ekonomi Jerman yang baru pulih tersebut! Jangankan Jerman, bahkan The Credit-Ansalt, bank prestisius di Wina, Austria pun mengalami kolaps tahun 1931.

Depresi ekonomi (malaise) ini berpuncak di tahun 1932. Akibat krisis yang dilakukan proses produksi adalah memangkas ongkos produksi yaitu pengurangan tenaga kerja. AKibatnya 1 dari 4 pekerja di Inggris menganggur dan: 40% atau 6 juta pekerja di Jerman kehilangan pekerjaannya. Apa yang akan lahir dari situasi semacam ini, di mana harga diri Jerman akibat Perjanjian Versailles turun hingga batas horizon, pengangguran 6 juta orang, dan Alsace-Lorraine-PrussiaTImur-Ruhr hilang? Hitler dan Lebensraum!

Kedua, LBB gagal menekan ‘realisme’ politik internasional. Perjanjian Versailles membuat Jerman wajib mengurangi kekuatan militer meliputi tentara hingga tinggal 100.000 orang, mengurangi kekuatan angkatan laut hingga di bawah kekuatan AL Inggris dan Perancis, serta mengeliminasi angkatan udaranya. Namun, LBB tidak mampu mem-push negara-negara selain Jerman untuk melakukan hal serupa. Ini akibat setiap negara tetap ‘realis’: Mereka tidak bisa mempercayakan keamanan negara mereka pada kehendak baik negara lain, yaitu jika mereka mengurangi senjata negara lain pun akan melakukan hal serupa. Contoh, ketika Jerman tidak mampu mencicil kompensasi perang sejak 1921, Perancis langsung menganeksasi Ruhr, distrik Jerman yang merupakan pusat industri dan pertambangan. Kendati Ruhn adalah legal miliknya, Jerman sulit melakukan beladiri aktif karena persenjataannya jauh dari mencukupi. Akibatnya, Jerman melakukan bela-diri pasif yang dibiayainya dengan cara mencetak sebanyak-banyak uang Mark Jerman. Akibatnya jelas, Jerman jatuh ke dalam inflasi dan semakin rendah kemampuannya membayar kompensasi perang.

Juga bayangkan, sejumlah negara terpaksa keluar atau dikeluarkan dari LBB karena melakukan invasi: Jepang (1933) karena menginvasi Manchuria-Cina 1932; Italia menginvasi Abbysinia (Ethiopia) 1935; Uni Sovyet (1939) karena menginvasi Finlandia 1939; Kostarika (1925); Brasil (1926); Haiti (1942); Jerman (1933); Luxemburg (1942). Selain itu, Konferensi Perlucutan Senjata yang disponsori LBB tahun 1932 di Jenewa tidak mampu menghentikan semangat Jerman, Jepang, dan Italia untuk meningkatkan kemampuan persenjataan mereka.

Ketiga, LBB tidak memiliki kekuatan realis penting dalam politik internasional: Kekuatan Bersenjata. Ketika Jepang menginvasi Manchuria atau Italia menginvasi Abbysinia, LBB tidak mampu menurunkan armed-force yang mampu memaksa negara-negara agresor kembali ke garis demarkasinya. Mengapa? Tiga kekuatan pemenang perang (Perancis, Inggris, dan AS) satu pun tidak memiliki keinginan untuk terlibat ke dalam perang baru walaupun sebenarnya legal karena mengatasnamakan LBB. Akibatnya, agresivitas negara-negara agresor sulit dihentikan karena tidak ada kekuatan ‘realis’ yang mampu melakukan tindakan pemaksa (kekuatan militer). LBB jadi macan ompong.

Keempat, LBB melakukan kebijakan berstandar ganda. Kendati Wilson menggemborkan setiap bangsa berhak atas identitas dan wilayah nasionalnya masing-masing, ‘penjajahan’ semu tetap berlangsung. Bagaimana tidak, Timur Tengah misalnya, bukannya diserahkan kepada masing-masing bangsa (setelah disita dari Ottoman Turki akibat dinasti ini kalah dalam PD I): Syiria dan Lebanon jatuh menjadi mandat Perancis; Iraq, Transyordania, Palestina, dan Kuwait jatuh ke mandat Inggris. Belum lagi negara-negara Eropa yang masih melakukan tindak kolonialisme seperti Belanda di Indonesia.

Pasca kegagalan Liga Bangsa-bangsa, aliran Idealis merapatkan diri ke dalam varian barunya: Liberalisme-Institusionalis. Liberalisme-Institusionalis memandang bahwa politik dalam negeri setiap negara adalah penting. Di dalam politik dalam negeri tersebut, hal yang dipantau adalah aspek demokrasi dan penentuan nasib bangsa secara mandiri. Liberalisme-Institusionalis juga memandang

Perang Dunia II dianggap sebagai kegagalan pandangan Idealisme dalam hubungan internasional. Terbukti, sifat hubungan antarnegara bukan kerjasama konstruktif tetapi egoisme kepentingan nasional yang dicapai dengan penggunaan kekuatan militer. Sebab itu, aliran Realisme memperoleh pembenaran atas pandangan mereka dalam melukiskan fenomena hubungan internasional.

Varian dari aliran Idealisme adalah Globalisme dan Neoliberalisme Institusionalis.

Globalisme muncul sebagai kritik atas pandangan Realisme yang secara sempit memandang aktor politik internasional adalah negara saja. Globalisme juga mengkritik Realisme yang “pesimis” pada dimensi pasifis (suka damai) pada diri aktor politik.

Globalisme, yang tumbuh di tahun 1970-an memandang bahwa aktor politik internasional tidak cuma negara, melainkan juga meliputi pemerintahan internasional (misalnya PBB), lembaga swadaya masyarakat (misalnya Red Cross, GreenPeace), koalisi internasional (misalnya International Political Science Association), multi national corporation (misalnya McDonald, KFC, Sharp), ataupun asosiasi masyarakat transnasional (misalnya International Olympic Committee).

Tidak seperti Realisme, Globalisme memandang hubungan antar aktor lintas negara tersebut bercorak positif. Pencapaian kepentingan para aktor diperoleh melalui sumber daya sosial yang terus-menerus berkembang sebanding dengan kemajuan teknologi, rasionalisasi cara produksi, dan makin rumitnya pembagian kerja antar aktor. “Permainan” tersebut dinamakan “kerjasama internasional”, di mana masing-masing aktor ingin memperoleh hasil yang maksimal. Tujuan dari Globalisme adalah perdamaian dunia, yang dicapai melalui kesalingtergantungan antaraktor di tingkat internasional.

Kembangan lain dari Idealisme adalah Neoliberalisme-Institusionalis. Neoliberalisme-Institusionalis muncul sebagai kritik atas Neorealisme dalam memandang sistem politik internasional. Neoliberalisme-Institusionalis merupakan perkembangan dari Liberalisme, ideologi yang berkembang di Eropa awal abad ke-19. Liberalisme menekankan pada pemenuhan kepentingan individu semaksimal mungkin.

Neoliberalisme Institusionalis mengkombinasikan antara liberalisme dengan Realisme. Aliran ini sepakat dengan Realisme bahwa negara adalah aktor internasional yang penting, tetapi ragu bahwa negara secara sendirian mampu mencapai perolehan absolut ketimbang sekadar relatif saja. Saat negara berupaya mencapai kepentingannya, maka ia akan membentuk organisasi yang diperuntukkan bagi pencapaian kepentingannya itu. Dengan demikian, posisi organisasi —seperti organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, gerakan sosial transnasional, dan multi national corporation— menjadi sama penting dengan negara. Memang semua gerakan dalam politik internasional dilakukan oleh negara, tetapi itu sekadar langkah awal, sebab penyelesaiannya kemudian diserahkan kepada organisasi-organisasi yang tadi telah disebutkan.

Organisasi, sebab itu, dapat mempengaruhi negara, dan sebaliknya. Negara akan mendukung kerjasama jika itu mampu menghasilkan perolehan kepentingan relatif ataupun absolut. Sebaliknya, jika negara menilai organisasi tersebut tidak mendukung perolehan kepentingannya, mereka akan menentangnya. Andrew Moravcsik bahkan menyatakan bahwa “[neoliberalisme-institusionalis] sebagai teori liberal pilihan negara yang memasukkan aktor-aktor dalam negeri secara luas —dan sebab itu bersifat transnasionali dan internasional—- dihubungkan dengan kepentingan domestik—- ke dalam perilaku negara. Sebab itu, menurut Neoliberalisme Institusional bukan tidak mungkin bahwa politik luar negeri suatu negara dipengaruhi aktor-aktor domestiknya.

Tokoh dari Neoliberalisme Institusional ini adalah Robert Keohane dan Robert Axelrod. Contoh dari organisasi-organisasi yang terbentuk berlatar Neoliberalisme-Institusionalis ini adalah International Monetary Fund, World Trade Organization, World Bank, ataupun perusahaan-perusahaan swasta transnasional.

Pada bagan juga dapat diperhatikan bahwa Realisme muncul sebagai lawan dari Idealisme. Realisme kemudian memperoleh couter dari Globalisme (varian Idealisme), dan Globalisme ini kembali dikritik oleh varian Realisme yang lain, yaitu Neorealisme. Neorealisme ini kemudian dilawan kembali oleh varian Idealisme yaitu Neoliberalisme Institusionalis, yang kembali dilawan oleh varian Realisme Strukturalis.

Selain Realisme dan Idealisme, hubungan internasional juga dikaji oleh beberapa aliran baru. Aliran-aliran ini terbentuk setelah menyaksikan dialektika (pertentangan) antara Realisme versus Idealisme. Aliran-aliran tersebut adalah Teori Imperialisme, Teori Dependensi, dan Teori Sistem Dunia Kapitalis.

Politik Internasional

Politik internasional mengkaji interaksi antaraktor state (negara) dalam sistem politik internasional. Guna menelaah politik internasional, ada baiknya kita beranjak ke level sistemik. Tujuannya, agar lebih mudah memberikan penggambaran secara garis besar atas politik internasional yang berlaku dewasa ini.

Aliran Neorealisme melihat pola struktur sistem politik internasional berdasarkan pola interaksi antarnegara. Aliran ini juga menekankan pada aspek “kekuatan” nasional, yang digunakan negara tersebut dalam bertindak di dalam sistem politik internasional. Penggambaran pada tulisan ini menggunakan tradisi berpikir yang ada di aliran Neorealisme ini.

Politik internasional dewasa ini ditandari berakhirnya Perang Dingin (Cold War) tahun 1990-an yang ditandari runtuhnya Uni Sovyet. Keruntuhan tersebut sekaligus menandai berakhirnya sistem politik bercorak Bipolar. Bipolar adalah struktur sistem politik internasional yang ditandai kehadiran 2 negara yang memiliki kekuatan relatif besar ketimbang negara-negara lainnya. Bipolar System sebelum 1990-an diwakili Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Kini, sistem tersebut telah tiada dan digantikan dengan Unipolarity System.

William C. Wohlforth menulis bahwa secara meyakinkan, politik internasional kini ditandai pola Unipolarity System. Amerika Serikat kini menjadi negara superior dan menentukan oleh sebab menguasai sumber daya seperti ekonomi, militer, teknologi, dan geopolitik yang relatif jauh di atas negara-negara lainnya pasca Perang Dingin. Status Unipolar ini tetap ada meskipun negara-negara lain berkesempatan menduduki posisi sebaga “polar” (kutub) seperti Jepang, Cina, Jerman, Russia, Perancis, dan Inggris.

Dalam sistem Unipolar, di mana kutub-kutub lain tidak ada ataupun belum terbentuk, Amerika Serikat berposisi sebagai Hegemon. Hegemon berasal dari bahasa Yunani, Hegemonia, yang berarti “kepemimpinan.” Dalam hubungan internasional, hegemon adalah pemimpin atau negara pemimpin. Ide dasar yang berada di belakang stabilitas yang bersifat hegemonik dalam sistem politik internasional adalah adanya sebuah negara yang mampu membuat juga memaksakan peraturan (misalnya perdagangan bebas, demokratisasi) di antara anggota-anggota penting dari sistem politik internasional.

Kemampuan “membuat” dan “memaksa” tersebut hanya dapat dilakukan negara yang punya serakaian kapabilitas. Kapabilitas tersebut meliputi perkembangan ekonomi yang besar, dominasi di bidang ekonomi dan teknologi, serta kekuasaan politik yang didukung oleh kekuatan militer yang signifikan. Namun, sebuah negara hegemon menggunakan soft power dalam melancarkan pengaruh ketimbang hardpower.

Soft power misalnya pengetahuan, diplomasi, teknologi, atau show of force. Penggunaan soft power akan secara simpatik membuat negara-negara lain, terutama yang berpotensi menjadi rival, menerima pengaruh si hegemon tanpa perlawanan yang “kasar” atau terang-terangan. Di sisi lain, penggunaan hard power berakibat pada tingginya social cost, yang membuat berkurangnya simpati negara lain akan aksi si hegemon. Ditinjau dari teori hegemoni ini, Amerika Serikat kelihatannya kurang secara penuh dapat dinyatakan sebagai hegemon.

Kebangkitan Amerika Serikat duduk di posisi kunci Unipolarity System beraneka ragam. Namun, sekurang-kurangnya G. John Ickerberry menyebut ada 5 faktor, yaitu:

  • Negara-negara yang potensial menjadi kutub baru relatif telah kehilangan landasannya. Misalnya, Russia mengalami kolaps segera setelah Perang Dingin berakhir dan kini pun, mereka pun cuma memiliki setengan kekuatan ekonomi ukuran menengah jika dibanding negara-negara Eropa lainnya. Cina masih merupakan negara berkembang dengan sejumlah masalah politik dan ekonomi dalam negeri. Jepang telah satu dekade mengalami kemunduran ekonomi.
  • Perang Dingin menghilangkan ganjalan bipolar kekuasaan Amerika Serikat. Jika dahulu Amerika Serikat menghabiskan sumber daya untuk 2 hal: Menjalin aliansi dengan negara lain yang menyita biaya dan tenaga, dan; Uni Sovyet dulu mengetatkan pengawasan Amerika Serikat akan bahaya perang. Kini, sumber daya yang dihabiskan untuk menjalin aliansi jauh berkurang, sementara ancaman nyata Uni Sovyet telah hilang.
  • Tidak ada rival Amerika Serikat di bidang ideologi liberal. Komunisme telah runtuh dan sulit untuk kembali kuat.
  • Perang Afghanistan dan Iraq menunjukkan kekuatan militer Amerika Serikat yang besar.
  • Meski Perang Dingin berakhir, sistem klien dan hubungan keamanan dengan Eropa dan Asia Timur tetap berlanjut.

Untuk sekadar memberikan gambaran mengenai perkembangan politik internasional dari era ke era, di bagian berikut akan dicantumkan grafik spider kekuatan militer, ekonomi, dan COW Index (index militer, ekonomi, medis, teknologi, pendidikan, dan semacamnya).

  • Pada masa Pax Brittanica, sistem politik internasional ditandai 6 negara dengan kekuatan militer, ekonomi, dan index COW tertinggi yaitu Britain (Inggris), Prussia (Jerman), France (Perancis), Russia, United States (Amerika Serikat), dan Austria. Inggris memiliki kekuatan ekonomi tertinggi sementara kekuatan militer dipegang oleh Russia.
  • Pada era Bipolaritas Awal tahun 1950, terdapat 6 kekuatan signifikan yaitu United States, France, Jepang, Uni Sovyet, Inggris, dan Jerman. Amerika Serikat dan Uni Sovyet, memiliki kekuatan ekonomi, militer, dan index COW tertinggi. Jepang masuk ke dalam kekuatan politik dunia.
  • Pada era Bipolaritas Akhir 1985, Uni Sovyet memiliki kekuatan militer yang lebih tinggi ketimbang Amerika Serikat, tetapi kekuatan ekonominya jauh melemah. Cina masuk ke dalam struktur kekuatan politik terbesar dunia.
  • Era Unipolaritas 1996-1997, sistem politik internasional ditandai 7 kekuatan dunia yaitu Amerika Serikat, Perancis, Jepang, Rusia, Cina, Inggris, dan Jerman. Seluruh kekuatan militer, ekonomi, dan indeks COW terkonsentrasi di Amerika Serikat. Namun, index COW Cina adalah yang paling mendekati Amerika Serikat ketimbang negara-negara lainnya.

Politik Luar Negeri

Politik luar negeri adalah seperangkat maksud, tatacara, dan tujuan, yang diformulasikan oleh orang-orang dalam posisi resmi atau otoritatif, yang ditujukan terhadap sejumlah aktor ataupun kondisi di lingkungan luar wilayah kekuasaan suatu negara, yang bertujuan mempengaruhi target tertentu dengan cara yang diinginkan oleh para pembuat keputusan. Agar lebih jelas, berikut adalah skema pembuatan kebijakan luar negeri:

Terdapat 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan politik luar negari : Faktor internasional dan faktor domestik. Kedua faktor ini digunakan sebagai basis pertimbangan oleh para pembuat kebijakan politik luar negeri, yang melakukan proses pembuatan keputusan. Keputusan yang dihasilkan dapat berupa penyesuaian, program, masalah/tujuan, dan orientasi internasional.

Faktor Internasional

Faktor-faktor internasional yang diperhatikan para pembuat kebijakan luar negeri di antaranya adalah:

  • Faktor Global, berkaitan dengan perubahan sistem politik internasional yang punya dampak global dan juga negara dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri.
  • Faktor Regional, berkaitan dengan lembaga-lembaga regional (yang terdiri atas negara) yang punya dampak tertentu atas formasi kebijakan luar negeri suatu negara. Ini juga termasuk norma-norma yang disepakati di dalam suatu regional khusus yang harus dipertimbangkan tatkala suatu negara menentukan politik luar negerinya.
  • Hubungan Bilateral, berkaitan dengan hubungan bilateral antar aktor negara juga lembaga-lembaga tingkat global ataupun regional. Aktor-aktor tersebut dapat mempengaruhi negara suatu negara dengan menggunakan metode aliansi, perdagangan, juga ancaman ekonomi dan militer.
  • Aktor-aktor Non Negara, aktor-aktor transnasional seperti jaringan kriminal, jaringan teroris, perusahan multinasional, dan organisasi hak asasi manusia, memainkan peran yang mampu membentuk dan mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.

Faktor Domestik

Faktor-faktor domestik yang diperhatikan para pembuat kebijakan luar negeri adalah:

  • Birokrasi, birokrasi kerap diidentikan dengan kelambatan kerja dalam mengadaptasi perubahan politik luar negeri, tetapi cenderung terdapat satu kelompok di dalam birokrasi yang punya akses pada pejabat tinggi yang efektif mengusahakan perubahan kebijakan.
  • Opini Publik, opini publik menjadi penting tatkala pejabat pemerintah butuh dukungan pemilih dalam rangka menerapkan suatu kebijakan serta agar terpilih kembali.
  • Media, media berperan penting dalam dalam mensetting agenda, dan membentuk opini publik; media menyediakan informasi dari pemerintah ke publik; media dapat menjadi investigator, menyediakan informasi baru bagi pemerintah juga publik, yang dapat mempengaruhi perubahan kebijakan luar negeri.
  • Kelompok Kepentingan, kelompok kepentingan adalah kelompok yang terorganisir, yang terlibat dalam sejumlah aktivitas pengambilan keputusan pemerintah. Kelompok ini termasuk yang dibentuk warganegara, diorganisir berdasarkan isu-isu khusus, lobby-lobby bisnis, profesional, dan firma-firma hukum publik.
  • Partai Politik, partai politik yang memberikan dukungan pada pemerintah, ataupun untuk meneruskan/mengubah politik luar negeri.

Faktor-faktor domestik dan internasional ini diserap oleh para pembuat kebijakan. Sebagai manusia, para pembuat kebijakan dipengaruhi karakteristik yang melekat pada dirinya dalam memandang faktor-faktor domestik dan internasional tersebut, Karakteristik-karakteristik yang melekat tersebut adalah: Keyakinan (beliefs), motif, gaya pembuatan keputusan, gaya interpersonal, kepentingan dalam hubungan luar negeri, dan pelatihan yang pernah didapat dalam hubungan luar negeri.

Keyakinan mengacu pada asumsi-asumsi dasar pemimpin politik yang berakibat pada penafsirannya atas lingkungan, dan secara lebih jauh berdampak pada strategi-strategi yang diambil kemudian. Motif mengacu pada alasan mengapa seorang pengambil keputusan luar negeri melakukan hal tersebut, dan ini meliputi motif akan afiliasi, motif kekuasaan, dan motif untuk disetujui. Gaya pengambilan keputusan mengacu pada metode yang diambil seorang pembuat kebijakan seperti sebagaimana terbuka mereka akan informasi atau tingkat resiko yang harus diambil.

Gaya interpersonal mengacu pada bagaimana seorang pemimpin politik melakukan kesepakatan dengan para pembuat kebijakan lainnya, yang meliputi dua jenis yaitu paranoid (kecurigaan berlebihan) dan machiavellian (perilaku yang manipulatif). Pelatihan yang diperoleh dalam hubungan luar negeri mengacu pada jumlah pengalaman yang diterima seorang pembuat kebijakan dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, yang berpengaruh pada si pembuat kebijakan bertindak serta strategi apa yang akan diambil. Kepentingan dalam hubungan luar negeri mengacu pada kepentingan yang hendak diambil seorang pembuat kebijakan luar negeri, di mana jika kepentingan tersebut kecil maka ia cenderung mendelegasikannya pada orang lain, sementara jika besar, maka ia akan melakukan pemantauan secara langsung.

Proses Pembuatan Keputusan. Proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh para pemimpin politik memiliki sejumlah tahap. Tahap-tahap tersebut adalah:

  • keinginan awal untuk membuat kebijakan
  • rangsangan dari lingkungan/aktor luar negeri
  • menerima beragam informasi
  • melakukan penghubungan antara masalah dengan kebijakan
  • membangun serangkaian alternatif
  • membangun konsensus yang otoritatif atas pilihan
  • menerapkan kebijakan baru

Aktor-aktor Non Negara dalam Hubungan Internasional

Perlu ditambahkan, bahwa di abad ke-21 dunia hubungan internasional ditengarai dengan semakin signifikan peran yang dimainkan oleh aktor-aktor non negara (non-state actors), baik dalam konteks hubungan internasional, bilkhusus di era yang disebut “globalisasi” ini. Non state actors atau aktor-aktor non negara oleh Thomas M. Magstadt didefinisikan sebagai:

Entitas-entitas selain negara-bangsa, termasuk ke dalamnya multinational corporation, organisasi non pemerintah, serta organisasi-organisasi internasional non pemerintah, yang memainkan peran tertentu di dalam politik internasional.

Magstadt lalu mengidentifikasi sejumlah aktor negara yang signifikan perannya dalam politik internasional, yang meliputi:

  • Multinational Corporation;
  • International Organizatioan (meliputi INGO dan IGO)
  • Uni Eropa
  • Perserikatan Bangsa-bangsa
  • Unconventional Nonstate Actors (meliputi organisasi teroris, dan firma-firma militer swasta)

Multinational corporation merupakan perusahaan (swasta) yang beraktivitas di lebih dari satu negara. Umumnya perusahaan ini lazim ditemui bergerak secara global, di seluruh dunia. Magstadt mencontohkan perusahaan-perusahaan berbasis di Amerika Serikat memenuhi kategori multinasional ini, seperti Exxon Mobil, Wal-Mart, Chevron, ConocoPhillips, General Electric, General Motors, Ford Motor, AT&T, Hewlett Packard, Valero Energy, Citigroup, Bank of America, AIG, Sementara itu yang berbasis di Eropa dapat disebut seperti Royal Dutch Shell, BP, dan Total. Ini belum termasuk perusahaan-perusahan multinational yang berbasis di Jepang dan Korea Selatan seperti KIA, Mitsubishi, Toshiba, ataupun Samsung.

Salah satu sumber daya utama yang mendukung ekspansi pasar perusahaan-perusahaan tersebut adalah pendaan dari bank-bank. Banyak di antara bank-bank tersebut (juga termasuk multinational corporation, tentunya) berbasis di Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa Barat. Kehadiran aktor-aktor non negara seperti MNC-MNC ini ditanggapi secara optimis dan pesimis. Pihak yang optimis menyatakan bahwa kehadiran MNC dalam politik internasional akan mendorong efisiensi ekonomi, kompetisi dalam skala global, dan mempromosikan teknologi. Pihak yang pesimis menyatakan, kehadiran MNC mengakibatkan campur-tangan berlebihan MNC tersebut (juga pemerintah negara asalnya) atas kebijakan-kebijakan dalam negeri negara tempat mereka beroperasi, selain motif egoistik mereka dalam mencari untuk yang tidak memperhitungkan dampak aktivitas perusahaan di masa depan bagi wilayah atau lingkungan hidup tempat kegiatan mereka.

Organisasi internasional terdiri atas dua jenis yaitu INGO (International NonGovernmental Organizations) dan IGO (International Governmental Organizations). INGO terdiri atas organisasi swasta individual maupun kelompok yang aktivitasnya melangkahi yuridiksi negara-negara dalam mencapai tujuan-tujuannya. Sementara itu IGO adalah kelompok yang terdiri atas sejumlah negara, yang pendiriannya didasarkan atas suatu perjanjian (treaties), punya struktur formal, dan saling bertemu dalam suatu pertemuan periodik. Contoh dari INGO adalah Amensty International, International Crisis Groups, World Vision, Greenpeace, atau Special Olympic (di Indonesia namanya SOIna, aktivitasnya kegiatan olahraga bagi yang mengalami tuna grahita). Contoh dari IGO sangat banyak dan ini yang kemudian populer disebut sebagai “rezim internasional” seperti IAEA, IPU, ASEAN, IMF, World Bank, ADB, juga termasuk ke dalamnya PBB.

INGO, kendati bersifat swasta (privat) memiliki daya “paksa” dalam memengaruhi tindakan suatu negara. Greenpeace contohnya, para aktivisnya memiliki keberanian yang luar biasa dalam menghalangi kapal-kapal negara adikuasa, swasta ataupun pemerintah, yang hendak melakukan pembuangan limbah baik di laut maupun darat. Amnesty International memerhatikan aspek kebebasan politik individual dan menghalangi represi pemerintah suatu negara di saat mereka menekan kalangan oposisi politiknya. Di sisi IGO, kita telah menyaksikan bagaimana IAEA menjalankan peran “mediator” dalam dugaan pengembangan senjata nuklir Iran yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan Israel. Kasus tersebut masih terus bergulir hingga kini. Atau, IPU sebagai serikat parlemen internasional yang mempromosikan kuota perwakilan politik perempuan bagi negara-negara yang menjadi anggotanya.

Uni Eropa diyakini menjadi embrio bagi satu pasar tunggal dunia. Kini Uni Eropa telah menancapkan langkahnya di Eropa daratan. Uni Eropa adalah pewaris dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Perbedaannya, kini Uni Eropa tidak lagi semata-mata mengurus masalah ekonomi seperti MEE melainkan menjadi suatu organisasi politik supra nasional yang mengatasi negara-negara Eropa dalam beberapa kebijakan. Argumentasi mengapa Uni Eropa dikatakan sebagai organisasi politik supra nasional karena kini ia membawahi sejumlah struktur yang menjalankan fungsi lembaga pemerintahan seperti European Council and Council of Ministers, Commissions, European Parliament, dan Court of Justice, yang keseluruhannya mencerminkan trias politika: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Tentu saja, setiap negara anggotanya tetap berdaulat tetapi telah cukup banyak hal-hal yang diatur oleh Uni Eropa di mana setiap negara anggotanya tidak boleh melanggar. Misalnya, suatu negara tidak akan beroleh izin bergabung ke dalam Uni Eropa jika tidak menunjukkan komitmen nyata atas aturan konstitusinya, pemilu yang bebas, dan jaminan atas hak-hak asasi manusia. Inilah serangkaian faktor yang mempersulit Turki masuk ke dalam Uni Eropa selain tentunya masalah kekuatan ekonominya.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan satu bentuk IGO yang khusus. Ini akibat sejarah panjang pendiriannya serta luasnya keterlibatan negara-negara di dunia ke dalam organisasi ini. PBB mengemban “impian” stoisisme yaitu “satu pemerintahan dunia” atau “novum ordo seclorum.” Kendati tentunya, secara kritis dapat diujarkan bahwa dalam gagasan satu pemerintahan dunia, dapat saja yang terjadi adalah kekuasaan satu negara atau satu oligarki negara di dalam organisasi ini atas “dunia.” Negara dengan kekuatan ekonomi, militer, politik, dan teknologi besar memiliki kans untuk menjadi pengendalinya.

Organisasi teroris dan pasukan militer swasta dimasukkan oleh Magstadt ke dalam organisasi nonkonvensional dalam konteks aktor-aktor non negara. Organisasi teroris ini sama dengan MNC, yaitu beroperasi lintas negara dengan tujuan-tujuan spesifik masing-masing. Organisasi teroris ini beroperasi di banyak negara seperti Indonesia, Peru Bolivia, Spanyol, Pakistan, ataupun Amerika Serikat tanpa harus berasal dari negara-negara tersebut. Di Spanyol yang masih dilanda pertikaian etnis Catalan dan Basque, serangan-serangan teroris banyak dimaksudkan demi mempengaruhi hasil pemilu ataupun pemilihan gubernur. Di Amerika Serikat, operasi-operasi Al Qaeda ditunjukkan demi memberi peringatan kepada Amerika Serikat untuk bersikap adil dalam kebijakan-kebijakan politik luar negerinya di Timur Tengah.

Firma-firma militer swasta merupakan perkembangan baru yang cukup menyentak, kendati keberadaan “pasukan bayaran” di kisah-kisah politik masa lalu sesungguhnya cukup biasa. Untuk organisasi ini misalnya dapat disebut BlackWater Company (basis di Amerika Serikat), Military Professional Resources Incorporated (MPRJ) yang berbasis di Virginia (AS) merupakan sedikit contohnya. Firma-firma militer swasta ini bertindak sebagian besar bukan karena alasan moral, ideologi, ataupun politik melainkan karena alasan profit layaknya MNC. Blackwater misalnya, disewa oleh pemerintah transisi Amerika Serikat untuk mengamankan pendudukan mereka di Irak. Rekrutmen anggota militer swasta ini tidak semata-mata berasal dari dalam negeri Amerika Serikat sendiri melainkan bisa direkrut dari Filipina, Peru, Ekuador, untuk kemudian didatangkan ke Amerika Serikat untuk dilatih secara militer-profesional. Firma-firma militer swasta ini terbuka untuk direkrut aktor-aktor negara demi tujuan politik spesifik pihak penyewa.

Referensi

  • Benjamin N. Schiff, Building the International Criminal Court, Cambridge University Press.
  • Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Rajawali, 2002), h. 499.
  • G. John Ickenberry, Strategic Reactions to American Preeminence: Great Power Politics in the Age of Unipolarity, NIC 2020 Project, 23 Juli 2003.
  • Jacob Gustavsson, The Politics of Foreign Policy Change: Explaining the Swedish Reorientation on EC Membership, (Lund: Lund University Press, 1998).
  • Joakim Eidenfalk, Towards a New Model of Foreign Policy Change, Refereed paper presented to the Australasian Political Studies Association conference, University of Newcastle 25-27 September 2006.
  • K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid 1, Penerjemah M. Thahir Azhary, (Jakarta: Erlangga, 1988)
  • Marti Griffiths, Beyond the Bush Doctrine: American Hegemony and World Order, Australasian Journal of American Studies.
  • Philip G. Cerny, Embedding Neoliberalism: The Evolution of a Hegemonic Paradigm, The Journal of International Trade and Diplomacy 2 (1), Spring 2008:1-46.
  • Reinhard Meyes, Contemporary Developments in International Relations, (Serbia, University of Novi Sad : Centre for Advanced European Studies and Research, 2005).
  • Sezai ÖZÇEL?K, Neorealist And Neo-Gramscian Hegemony in International Relations and Conflict Resolution during the 1990’s, Ekonomik ve Sosyal Ara?t?rmalar Dergisi, Güz , 2005.
  • Skyler J. Cranmer, Realism and Liberalism : Third Pass, Summary, 22 September 2005.
  • Thucydides, History of the Peloponnesian War, Book 5: The Melian Dialogue, Translated by Rex Warner, (Penguin Books , 1954).
  • William C. Wohlforth, The Stability of a Unipolar World, International Security, Vol. 24, No. 1 (Summer 1999), pp. 5–41.
  • William J. Duicker and Jackson J. Spielgovel, World History: Volume II Since 1500, 5th Edition (Belmont: Thomson Higher Education, 2007) p. 643-7.
  • Thomas M. Magstadt, Understanding Politikcs, Ninth Edition (Boston: Wadsworth, 2011) p. 579-602.
oleh: Seta Basri
Sumber: setabasri01.blogspot.co.id.