Sapi Perah itu Bernama BUMN

Akankah pertemuan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK DPR) awal minggu ini dapat menguak tabir gelap, siapa tukang peras BUMN? Atau justru akan menyudahi kontroversi yang dilemparkan menteri BUMN terkait oknum-oknum parpol yang kerap meminta jatah ke perusahaan Negara ini? Kita tentu berharap praktik tersebut bisa diungkap sejelas-jelasnya. Lebih dari itu praktik-praktik politik kotor yang sangat melukai rakyat tersebut harus dihentikan.

Sejak lama BUMN disebut-sebut sebagai sapi perah para elite politik kita. Sayangnya siapa sebenarnya yang menjadi pemerahnya, tidak pernah terungkap secara publik. Apalagi istilah ‘sapi perah” di sini lebih merupakan bahasa kiasan atau penghalusan dari kata sebenarnya yakni obyek pemerasan. Perumpamaan sapi perah untuk BUMN agaknya tidak terlalu salah. Selain menjadi kiprah mereka sebagaian besar di sektor-sektor ekonomi strategis yang butuh anggaran besar, BUMN tidak jarang juga mendapatkan hak untuk monopoli.

Potensi BUMN untuk menjadi perusahaan yang handal, karena itu memang terbuka lebar. Praktinya, perusahaan-perusahaan milik Negara tersebut sebagian besar masih belum mampu sepenuhnya menjadi ujung tombak perekonomian nasional. Sebagaian masih mengandalkan pada pembiayaan Negara. Sebagai perusahaan yang mewakili Negara, keberadaan pimpinan BUMN pun tidak dapat sepenuhnya telepas dari kepentingan politik parpol baik yang di eksekutif maupun legislative. Seleksi jajaran pimpinan BUMN di era reformasi ini pun masih melibatkan campurtangan DPR, sehingga tak jarang BUMN menjadi ajang rebutan berbagai kepentingan politik.

Sebagai entitas ekonomi, BUMN tidak sekadar dibebani tugas untuk mencari untung sebagaimana perusahaan swasta umumnya. Sebab selain mengemban misi ekonomi, perusahaan Negara juga menyandang misi non-ekonomi. Inilah yang kerap mengakibatkan BUMN berada dalam posisi abu-abu. Banyak BUMN yang tidak untung secara ekonomi misalnya, namun tetap dipertahankan keberadaannya karena dalih misi non-ekonomi yang diembannya. Dalam kondisi itu pun perusahaan Negara ini masih juga kerapkali drecoki dengan berbagai titipan yang berasal dari berbagai pihak, terutama para oknum politik di legislative maupun eksekutif.

Studi Simon Wong (2006) karena itu dengan tegas mengatakan, governance menjadi masalah bagi sebagaian besar BUMN di Negara berkembang, termasuk Indonesia tentunya. Kenyataan ini dimungkinkan terjadi paling tidak karena tidak jelasnya istilah ‘milik Negara’ dalam BUMN tersebut. Akibatnya para politisi merasa memiliki cukup legitimasi, setidaknya alasan untuk meminta komisi atau upeti kepada perusahaan Negara itu. Tidak jarang BUMN dijadikan bancaan para politisi dalam melaksanakan aktivitasnya. Balas budi kerapkali menjadi alasan bagi para pimpinan BUMN untuk tidak bisa mengabaikan permintaan upeti tersebut.

Hubungan gelap atau kongkalikong itulah yang harus diberantas. Masyarakat tentu akan sangat mendukung pengungkapan nama-nama politisi yang kerap meminta upeti pada BUMN. Upaya menguak misteri upeti di lingkungan BUMN ini memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Kerumitan terjadi terutama bila upaya itu telah memasuki ranah hukum. Persoalannya akan kian kompleks dan kadang bertele-tele. Para petualang politik itu pun pasti tidak akan begitu saja mengaku, bahkan sebagian akan melakukan perlawanan dengan dalih pencemaran nama baiknya. Karena itu butuh kerja keras dan nyali dari semua pihak bila ingin mengungkap para pemeras tersebut.

Rakyat masih berharap, pengelolaan BUMN akan semakin transparan, agar dapat kian beperan dalam perekonomian nasional, melalui sumbangannya terhadap APBN. Kontribusi tersebut baik yang langsung berupa pendapatan pajak, setoran deviden dan privatisasi, belanja Negara melalui kompensasi PSO, maupun kontibusi tidak langsung berupa multiplier effect dalam berbagai kegiatan perekonomian. Bila China, Malaysia dan juga Negara-negara lain mampu menjadikan BUMN mereka sebagai ujung tombak dalam persaingan ekonomi dunia, kenapa kita tidak? Untuk itu mari kita bebaskan BUMN kita dari jeratan para pemeras sehingga BUMN kita tidak lagi menjadi sapi perah para oknum politisi kita.@

Puji Wahono
Kompasiana.com