Mencegah BUMN Jadi Sapi Perah

UNDANG-UNDANG Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah berusia 15 tahun. DPR berkeinginan memperkuat peran perusahaan pelat merah itu ke depan dengan berinisiatif mengajukan revisi Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Rapat Paripurna DPR pada 2 Oktober 2018 secara aklamasi menyetujui revisi UU BUMN. Keesokannya, 3 Oktober, DPR langsung menyampaikan RUU BUMN kepada Presiden Joko Widodo. Tinggal menunggu waktu saja, DPR bersama pemerintah mulai membahas RUU BUMN tersebut.

Tidak satu pun pihak di Republik ini yang menolak revisi UU BUMN jika tujuannya benar-benar untuk mengatur perlindungan terhadap aset negara. Aset negara itu ditujukan untuk kemakmuran masyarakat. BUMN memang perlu diberi ruang gerak yang leluasa untuk bersaing dengan badan usaha swasta sehingga BUMN mampu menjadi pemain bisnis yang andal.

Benarkah BUMN diberi ruang gerak yang leluasa? Jika menilik dengan saksama keseluruhan RUU BUMN yang disiapkan DPR, tampak sekali RUU BUMN itu menjadikan BUMN ibarat ular yang kepalanya dilepas, tapi DPR memegang ekornya erat-erat. Harus jujur dikatakan bahwa peran DPR atas BUMN yang dituangkan dalam RUU BUMN sangatlah luas. Bahkan, DPR memberi kuasa atas dirinya sendiri untuk mengawasi BUMN sampai anak dan cicitnya.

RUU BUMN mengatur adanya kewenangan DPR dalam beberapa urusan BUMN, seperti pembentukan anak perusahaan, pelepasan atau pemindahtanganan aset BUMN, dan bahkan sampai kepada urusan pemilihan direktur utama dan komisaris utama BUMN.

DPR menghendaki agar pergantian direksi dan komisaris BUMN dikonsultasikan terlebih dahulu dengan para wakil rakyat. Sesuai dengan ketentuan Tata Tertib DPR, dalam hal peraturan perundangundangan menentukan agar DPR memberikan pertimbangan alias konsultasi atas calon untuk mengisi suatu jabatan, konsultasi itu melewati proses uji kelayakan dan kepatutan.

Dengan demikian, nantinya setelah RUU BUMN diundangkan, pengisian direktur utama dan komisaris utama dikonsultasikan kepada DPR. Mekanisme baku konsultasi dengan DPR selama ini ialah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan.

Bisa dibayangkan betapa sibuknya DPR untuk urusan uji kelayakan dan kepatutan direksi dan komisaris BUMN yang jumlahnya bisa ribuan orang. Bisa pula dibayangkan nantinya direksi dan komisaris lebih kental warna politik ketimbang profesionalitas. Aturan itu membuka peluang adanya lorong-lorong gelap penuh transaksi di Senayan.

Tegas dikatakan bahwa pengawasan DPR atas BUMN dalam RUU BUMN terlalu jauh masuk ke ranah eksekutif. Jika tidak dipertimbangkan secara matang, pengawasan yang semula bertujuan penguatan peran BUMN malah mengirim perusahaan pelat merah itu ke zaman purbakala. BUMN berpotensi dikembalikan ke era Orde Baru yang menjadi sapi perahan politik.

Perluasan kewenangan DPR atas BUMN yang dituangkan dalam RUU BUMN sejatinya melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan tidak ada relevansinya melibatkan DPR dalam aksi atau tindakan korporasi yang dilakukan BUMN persero.

MK berpendapat bahwa DPR bukanlah bagian dari rapat umum pemegang saham. Dalam hubungannya dengan BUMN, kalaupun secara implisit hendak dikatakan ada pengawasan DPR, hal itu harus diletakkan dalam kerangka fungsi pengawasan politik DPR terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan yang dilakukan presiden.

Pembuatan undang-undang yang nyata-nyata melanggar putusan Mahkamah Konstitusi hanya membuka peluang untuk pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi setelah diundangkan. Kalau sejak awal sudah diketahui ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan batasan pengawasan DPR atas BUMN, tapi tahu dan mau untuk melanggarnya, itu namanya pendekar mabuk kekuasaan.

Masih ada waktu bagi DPR dan pemerintah untuk membahas RUU BUMN dengan transparan dan penuh kehati-hatian. Publik pun jangan berpangku tangan saat RUU BUMN dibahas di Senayan, tapi hendaknya turun tangan untuk mengawal agar BUMN tidak dijadikan sebagai sapi perah politik.

Editorials
mediaindonesia.com
Senin 10 Desember 2018