Surat wasiat Bung Hatta yang selamatkan Bung Karno soal Pancasila


Seiring dengan menghangatnya isu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), sebagian publik menggugat kontribusi Bung Karno dalam perumusan Pancasila. Malah ada yang ekstrem menyatakan Pancasila bukanlah produk dari Bung Karno. Sementara selama ini, publik secara luas mengetahui Pancasila lahir dari perenungan dan gagasan dari Putra Sang Fajar tersebut.

Peran Soekarno dalam Pancasila bukan kali ini dipersoalkan lho. Pada dekade awal kemerdekaan, Bung Karno sudah terkena isu desoekarnoisasi. Salah satunya adalah peran Bung Karno itu apa sih? Nggak sehebat yang diyakini selama ini.

Nah mumpung isu Soekarno dalam jasa membuat Pancasila masih hangat, simak kesaksian penting dari salah satu dwitunggal, Moh. Hatta soal peran Soekarno dalam Pancasila.

Hapus Bung Karno dari Pancasila

Soal upaya menghilangkan kontribusi Bung Karno dalam menggali Pancasila pernah terjadi pada rezim Orde Baru. Pada buku Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta karya Wawan Tunggul Adam, ternyata Bung Hatta tak terima ada upaya menghapus jejak sejarah Bung Karno yang menemukan Pancasila.

Pada Orde Baru, di bawah kekuasaan Soeharto, tulis Wawan, rezim berusaha menghapus jejak sejarah dan mengungkit penemu Pancasila bukanlah Soekarno melainkan Muhammad Yamin dan Supomo.

“Bung Hatta tidak terima. Ia tidak bisa menerima upaya penghapusan sejarah saat itu, sekalipun Bung Karno sudah tiada,” tulis Wawan.

Tak heran Bung Hatta saat Bung Karno masih hidup pun menegaskan peran besar proklamator. Kepada wartawan Solichin Salam, Bung Hatta pernah menegaskan hal itu.

“Kalau Saudara ingin tahu, jasa Bung Karno yang terbesar kepada Republik Indonesia adalah Pancasila,” kata Bung Hatta dalam suratnya 14 Mei 1963.

Wasiat Bung Hatta

Kemudian pada 16 Juni 1978 atau 8 tahun selepas Bung Karno wafat, Bung Hatta menuliskan surat wasiat kepada Guntur Soekarnoputra. Surat itu untuk menjawab adanya upaya memisahkan Bung Karno dari Pancasila.

Dalam surat tersebut, Bung Hatta mengakui dan menjelaskan Bung Karno adalah satu-satunya penggali Pancasila, dengan pidatonya 1 Juni 1945 yang berjudul Pancasila atau lima sila.

“Pada akhir alinea pertama disebutkan Pidato 1 Juni 1945-lah yang mendasari dibentuknya Panitia Sembilan. Hal itu diputuskan karena Pidato Bung Karno itulah yang berhasil menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI tentang seperti apa dasar negara bagi Indonesia Merdeka nantinya,” tulis Bung Hatta dalam wasiatnya ke Guntur.

Pada alinea ke-2, Bung Hatta menjelaskan tugas dari Panitia Sembilan, yang mana mendiskusikan isi pidato Bung Karno dan mengubah urutannya, meski esensinya sama. Dalam sejarah yang kita terima saat ini, Pancasila Bung Karno dipakai namun susunan silanya yang berubah.

Hasilnya, sila ‘Ketuhanan’ rumusan Bung Karno dipindahkan ke urutan teratas. Lalu sila kedua rumusan Bung Karno ‘Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan’ diganti menjadi ‘Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’, sila pertama rumusan Bung Karno ‘Kebangsaan’ diganti menjadi sila ke-3 ‘Persatuan Indonesia’, sila ke-3 rumusan Bung Karno ‘Mufakat atau Demokrasi’ diganti menjadi sila keempat ‘Kerakyatan’, dan sila ke-4 rumusan Bung Karno ‘Kesejahteraan Sosial’ menjadi sila ke-5 yaitu ‘Keadilan Sosial.

Selanjutnya pada alenia ketiga, keempat serta kelima, Bung Hatta menuliskan dengan tegas Pancasila memang berasal dari Bung Karno.

Siapa belokkan sejarah?

Dalam buku Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah terbitan 2003 karya Slamet Sutrisno, pertengahan 1970-an bergulir arus desoekarnoisasi secara gencar.

Pada era tahun tersebut, upaya menghilangkan peran Soekarno sampai melalui cara ilmiah, yaitu pembelokan melalui sebuah buku Mohammad Yamin segala lho.

Sejarawan Orde Baru dari ABRI, Nugroho Notosusanto meneliti kontroversial yang berkesimpulan penggali Pancasila bukan cuma Soekarno melainkan ada Mohammad Yamin dan Soepomo.

Nugroho berusaha memisahkan Pancasila Soekarno 1 Juni 1945 dengan pembukaan UUD 1945. Malah juga, Nugroho menuliskan sila kedua Pancasila gagasan Bung Karno yaitu Peri Kemanusiaan/Internasionalisme diinterpretasikan dengan Internasionalismenya kaum komunis.

Namun untungnya para pendiri bangsa saat Nugroho mempropagandakan desoekarnoisasi itu, mereka masih hidup. Sehingga Bung Hatta memberikan surat wasiat yang bersaksi Bung Karno adalah pencetus Pancasila. Pancasila itu berasal dari Bung Karno.

Selain Bung Hatta, Slamet dalam buku itu juga menuliskan, AR Baswedan, Achmad Subardjo, AA Maramis, Sayuti Melik, Sunario, KH Masjkur, Rooseno juga bersaksi Pancasila adalah buah dari pikir Bung Karno.

Dalam menyodorkan teori soal siapa pencetus Pancasila, Nugroho berpegang pada satu dokumen yaitu pidato lisan dan lampiran Mohammad Yamin di depan BPUPKI pada 29 Mei 1945. Pidato itu termuat di buku Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 jilid I yang isinya risalah rapat BPUPKI/PPKI. Dokumen itu saja yang dipakai primer oleh Nugroho.

Kaum sejarawan kala itu, kolega Nugroho mengkritik metode Nugroho, kenapa tak menggunakan data pembanding lainnya. Makanya sejarawan lainnya tak satu pun yang mendukung kesimpulan Nugroho bahwa Pancasila bukan dari Soekarno saja.

Buku Yamin tidak benar

Pengaruh buku Nugroho itu sangat kuat. Buktinya, tulis Slamet, Bung Hatta menemui mahasiswa kala itu terpengaruh dengan isi buku Nugroho.

Saat Bung Hatta ceramah menyatakan Pancasila adalah buah dari pikir Soekarno di Makassar, dia dikritik mahasiswa yang mengatakan bahwa Pancasila itu sebenarnya dari Yamin.

Bung Hatta bertanya kepada mahasiswa dari mana dapat informasi seperti itu. “Dari buku Yamin,” kata mahasiswa. Bung Hatta pun membantah. “Buku itu tak benar!” jelasnya.

Malahan Bung Hatta dalam buku lainnya mengatakan Yamin sebenarnya agak licik. Sebab Bung Hatta ada dalam sidang BPUPKI saat Yamin pidato pada 29 Mei 1945. Hatta mengatakan tahu betul isi pidato Yamin yang dimuat dalam Naskah Persiapan UUD 1945 itu, sebenarnya naskah itu adalah penjabaran dari pidato Bung Karno soal dasar negara.

Berdasarkan kesaksian Bung Hatta, naskah itu diambil Yamin dan dimasukkan ke dalam bukunya yang kontroversial, yang berjudul Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid I, terbit pertama kali tahun 1959. Naskah pertama mirip dengan rumusan pidato Bung Karno 1 Juni 1945, naskah kedua mirip dengan rumusan Pancasila saat ini. Naskah pertama yang digelapkan Yamin terdiri dari 21 halaman, padahal naskah asli pidatonya tanggal 29 Mei 1945 hanya 2 halaman dan tidak berbicara tentang dasar negara.

Amal Nur Ngazis
29 Juni 2020
hops.id