Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang mengikat secara umum.
Jenis dan Hierarki
Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sebelum menuju pada poin utama Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia menurut UU No. 12 Tahun 2012, tak ada salahnya kita juga mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi sebelumnya. Berikut merupakan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia di masa sebelumnya.
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
1. UUD RI 1945
2. TAP MPRS
3. UU/Perpu
4. PP
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti:
– Peraturan Menteri
– instruksi Menteri
– dan lain-lainnya
TAP MPR Nomor IIl/MPR/2000
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik lndonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan presiden;
7. Peraturan Daerah.
UU Nomor 10 Tahun 2004
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/peraturan pemerintah pengganti Undang-undang;
3. Peraturan pemerintah;
4. Peraturan presiden;
5. Peraturan Daerah.
UU No. 12 Tahun 2011
BAB III dalam UU No. 12 Tahun 2011
JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 7 ayat 1 “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
UUD 1945 mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949.
Setelah itu terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku, namun melalui dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku kembali sampai dengan sekarang.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).
Pada masa sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
Contoh : TAP MPR NOMOR III TAHUN 2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR III/MPR/2000
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Perlu diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari presiden dan DPR (produk legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden yang mengajukan RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya, dan begitu pula sebaliknya.
Undang-Undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara.
Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2010 TENTANG “LARANGAN MEROKOK”
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR.
2) Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
3) DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
4) Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Contoh : bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; diganti dengan : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
Contoh: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
e. Peraturan Presiden (PP)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Contoh : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1987
TENTANG SATUAN TURUNAN, SATUAN TAMBAHAN, DAN SATUAN LAIN YANG BERLAKU
dan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 1973 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEUANGAN DAERAH
f. Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara yang menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa daerah otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom ini dibagi menjadi daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Dalam pelaksanaannya kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya.
Contoh : PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DI PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA dan PERDA NO. 10 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota.
Contoh : PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK” NOMOR 01 TAHUN 1990 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK NOMOR 01 TAHUN 1989 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II GRESIK TAHUN ANGGARAN 1989/1990
Perbedaan Hirarkhi Tata Urutan Perundang-undangan di dalam Undang-undang 12 tahun 2011 dan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 ini mempunyai dampak hukum terhadap Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dimana sesuai dengan asas bahwa ketika ada suatu peraturan perundang-undangan yang sama, maka yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang baru. Hal ini dipertegas dalam Pasal 102 dimana berbunyi :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 ini menggantikan Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2004. Perubahan yang mencolok terdapat pada Hirarkhi Peraturan Perundang-undanganya dimana dalam UU No 10 tahun 2004 (1).
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Kemudian ditataran tingkat desa, BPD (Badan Pemusyawaratan Desa) bersama Pemerintah Desa mempunyai kewenangan pembuatan Peraturan Desa (PERDES).
Dalam UU Nomor 12 tahun 2011 secara eksplisit bahwa hierarkhi tata urutan perundang-undangan :
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/ PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. PERDA Provinsi
7. PERDA Kabupaten
A. Tata Urutan Perundang-undangan
Berdasarkan azas “lex superiori derogate lex inferiori” yang maknanya hukum yang unggul mengabaikan atau mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Maka kami merasa harus memberikan penjelasan mengenai tata urutan perundang-undangan di Indonesia.
Berikut urutan perundang-undangan di Indonesia dari yang tertinggi sampai yang terendah.
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Ketetapan majelis permusyawaratan rakyat republik indonesia (TAP MPR-RI) merupakan putusan MPR sebagai pengembang kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-Undang (UU)
Undang-Undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melakukan Undang-undang dasar 1945 dan TAP MPR-RI.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh presiden dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa dengan ketentuan perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan kemudian DPR dapat menerima atau menolak dengan tidak mengadakan perubahan dan jika ditolak DPR maka Perpu tersebut harus dicabut.
5. Peraturan Pemerintah (PP)
Peraturan Pemerintah dibuat oleh pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang.
6. Peraturan Presiden
Ada beberapa tugasnya yaitu menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintah (sesuai pasal 4 ayat 1UUD 1945), kemudian menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya maupun tidak tegas menyebutnya.
7. Peraturan Daerah
Menurut Abdul latief : Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRDP bersama dengan Kepala Daerah (Gubernur). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten bersama Bupati/Walikota dan Peraturan Desa/setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama Kepala Desa atau nama lainnya.
Dalam Peraturan Daerah ada tiga tingkat yakni Tingkat I ( provinsi), Tingkat II (kbupaten/kota) dan Tingkat III (desa). Dengan demikian peraturan daerah yang dikeluarkan oleh desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan Presiden, begitu pula dengan peraturan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Maksudnya ketentuan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi sesuai dengan urutan diatas.
Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah Peraturan Daerah berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Peraturan Daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
Bagir Manan berpendapat bahwa, peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Selanjutnya menurut Suko Wiyono seperti dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia, Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain. Hans Kelsen memberikan definisi peraturan perundang-undangan di tingkat daerah sebagai berikut, “Peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintah daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan di daerah”. Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mendefinisikan bahwa, “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota”.
Mengenai ruang lingkup Peraturan Daerah, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, yang menjelaskan bahwa Peraturan Daerah meliputi:
1. Perturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur.
2. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Jenis dan bentuk produk hukum daerah terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah, pasal tersebut menyebutkan jenis dan bentuk produk hukum daerah terdiri atas:
1. Peraturan Daerah;
2. Peraturan Kepala Daerah;
3. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
4. Keputusan Kepala Daerah;
5. Instruksi Kepala Daerah.
B. Kedudukan Perundangan-Undangan Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen
Dalam perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan yang mana teknologi memasuki abad 21, hukum di Indonesia mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini adanya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, perubahan (amandemen) dimaksud samapai empat kali yang dimulai pada tanggal 19 Oktober 1999 mengamandemen 2 pasal kemudian amandemen kedua pada tanggal 18 Agustus 2000 sejumlah 10 pasal, sedangkan amandemen ketiga pada tanggal 10 November 2001 sejumlah 10 pasal, dan amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 sejumlah 10 pasal serta 3 pasal Aturan peralihan dan Aturan Tambahan 2 pasal. Apabila dilihat dari jumlah pasal pada Undang-Undang Dasar 1945 adalah berjumlah 37 pasal, akan tetapi setelah diamandemen jumlah pasalnya melebihi 37 pasal yaitu menjadi 39 pasal hal ini terjadi karena ada pasal-pasal yang diamandemen ulang seperti pasal 6 ayat 4 dan pasal 23c. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan adalah kegiatan yang meliputi menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus ketentuan yang sudah ada baik yang berbentuk Bab, bagian, paragraph, pasal, ayat, maupun perkataan, angka, kata dan lainnya. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lainnya.
Dalam mengadakan perubahan terhadap suatu peraturan perundang-undangan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah perubahan perundangan-undangan dilakukan oleh Badan Atau Penjabat yang berwenang membentuknya berdasarkan prosedur yang berlaku dan peraturan yang sejenisnya. Peraturan diharapkan diperlakukan dengan baik tanpa merubah sistematika dari peraturan perundang-undangan yang dirubah dan perubahan yang dilakukan itu adalah perubahan yang beberapa kalinya sehingga pada tahapan-tahapan sangat detail diterangkan pada kerangka dibawah ini sebagai berikut. Tingkatannya ada empat yaitu perubahan amandemen pertama, kedua, kertiga dan keempat.
Tahapan amandemen pasal-pasal UUD 1945
Pertama (19-10-1999) |
Kedua (18-08-2000) |
Ketiga (10-11-2001) |
Keempat
(10-08-2002) |
Psl. 5 ayat 1 |
Psl. 18 |
Psl. 1 ayat 2 dan 3 |
Psl. 2 ayat 1 |
Psl. 7 |
Psl. 18 A |
Psl. 3 ayat 1, ayat 3 dan 4 |
Psl. 6 A ayat 4 |
Psl. 9 |
Psl. 18 B |
Psl. 6 ayat 1 dan 2 |
Psl. 8 ayat 3 |
Psl. 13 ayat 2 |
Psl. 19 |
Psl. 6 A ayat 1,2,3 dan 5 |
Psl. 23 B |
Psl. 14 |
Psl. 20 ayat 5 |
Psl. 7 A |
Psl. 23 D |
Psl. 17 ayat 2 |
Psl. 22 A |
Psl.(7B) 1,2,3,4,5,6 dan 7 |
Psl. 24 ayat 3 |
Psl. 17 ayat 3 |
Psl. 22 B |
Psl. 8 ayat 1 dan 2 |
Psl. 32 ayat 1 dan 2 |
Psl. 20 |
Bab IX A Psl. 25 E |
Psl. 11 ayat 2 dan 3 |
Psl. 33 ayat 4 dan 5 |
Psl. 21 |
Bab X Psl. 26 ayat 2 dan 3 |
Psl. 17 ayat 4 |
Psl. 34 ayat 1,2,3 dan 4 |
Psl. 27 ayat 3 |
Bab VII A Psl. 22 C ayat 1,2,3 dan 4 |
Psl. 37 ayat 1,2,3,4 dan 5 | |
Bab X A Psl. 28 A, 28 B, 28 C, 28 D, 28 F, 28 G |
Psl. 22 D ayat 1,2,3 dan 4 |
Aturan Peralihan psl. I, II, dan III | |
Bab XII Psl. 30 |
Psl. 23 ayat 1,2 dan 3 |
Aturan Tambahan Pasal I dan II | |
Bab XV psl. 36 A |
Psl. 23 A |
||
Bab XV psl.36 B dan C |
Psl. 23 B |
||
Bab VII A psl. 23 B ayat 1,2, dan 3 |
|||
Psl.23 F ayat 1 dan 2 |
|||
Psl.23 G ayat 1 dan 2 |
|||
Psl. 24 ayat 1 dan 2 |
|||
Psl. 24 A ayat 1,2,3,4 dan 5 |
|||
Psl.24B ayat 1,2,3 dan 4 |
|||
Psl. 24 B ayat 1,2,3,4,5 dan 6 |
Dapat kita deskripsikan terhadap perkembangan susunan tata urutan perundang-undangan setelah ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang telah diubah dengan ketetapan MPRS No. III/MPR/2000. Di mana pada tanggal 24 Mei 2004 DPR dan Pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi Undang-Undang, yakni UU No. 10 tahun 2004 yang mana ketentuan tersebut merupakan dasar dan sumber norma pembentukan hukum di Indonesia. Naskah Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 15 juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal Naskah Perubahan Pertama, kedua, ketiga dan keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002). Undang-undang Dasar 1945 dalam satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa ada Opini. Hal ini dapat digambarkan dalam table berikut ini. sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa ada Opini. Hal ini dapat digambarkan dalam table berikut ini.
Orde Lama |
Orde Baru |
Reformasi |
TAP/MPR/XX/MPRS/1966 |
TAP/MPR/NO. III/MPR/2000 |
UU No. 10 tahun 2004 |
UUD 1945 |
UUD 1945 |
UUD 1945 |
TAP MPR |
TAP MPR RI |
UU/Perpu |
Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang |
Undang-undang |
Peraturan pemerintah |
Peraturan pemerintah |
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) |
Peraturan presiden/PP (bersifat eksternal) |
Keputusan Presiden (bersifat personal/internal) |
Peraturan Pemerintah |
perDa (provinsi,kota,desa) |
Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti peraturan Menteri dan Intruksi Menteri |
Keputusan Presiden |
|
Peraturah Daerah |
Hal yang perlu di garis bawahi disini dalam peraturan perundang-undangan adalah pertama, pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara. Jika komparasikan susunan hierarki peraturan perundang-undangan di antara ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan ketetapan MPR No. III/MPR/2000 meletakkan posisi Perpu setingkat di bawah kedudukan UU, sebaliknya pada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan UU No. 10 tahun 2004 kedudukan Perpu sederajat dengan UU. Kedua, pada TAP MPR No. III/MPR/2000 dan UU No. 10 tahun 2004 mengenal bentuk Peraturan Daerah (PerDa), sedangkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dengan bentuk Peraturan Daerah tidak kenal. Dan ketiga, pada TAP MPRS No. MPR/MPRS sebagai salah satu sumber hukum, sedangkan pada UU No. 10 tahun 20004 ketetapan MPR/MPRS tidak lagi letakkan sebagai salah satu sumber hukum Perundang-undangan. Dan yang kelima, dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No. III/MPR/2000 kebijakan presiden yang dibuatnya di sebut dengan Keputusan Presiden, sedangkan dalam UU No. 10 tahun 2004 kebijakan presiden yang dibuatnya di sebut dengan Peraturan Presiden. Sejak berdirinya Negara Republik Indonesia dikenal adanya macam-macam hukum, baik hukum yang tertulis yang merupakan peraturan peninggalan zaman Hindia Belanda, maupun hukum tidak tertulis yang merupakan hukum adat yang beraneka ragam. Pembentukan hukum kebiasaan dan hukum adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat adat, dapat juga diartikan dengan pembentukan hukum yang tertulis, yang dibentuk oleh lembaga berwenang, yang berwujud peraturan perundang-undangan yang bersifat legislatif maupun administratif.
Pembentukan hukum nasional saat ini terasa sangat mendesak, oleh karena dalam perkembangan sistem ketatanegaraan di Indonesia dari masa penjajahan Hindia Belanda sampai berlakunya perubahan Undang-undang dasar 1945 dalam era Reformasi telah berlaku berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Pada saat Indonesia di proklamasikan, secara vertikal di Indonesia dikenal adaya tiga lapis hukum yang berlaku secara bersamaan, yaitu hukum bagi masyarakat golongan Eropa, hukum bagi golongan Bumiputera, dan hukum bagi masyarakat golongan Timur Asing, selain itu secara horisontal diakui adanya 19 lingkung laku aneka hukum adat, yang beberapa diantaranya dan sisanya menerima hukum Islam sebagai hukumnya sendiri baik melalui teori “receptio” atau “receptio in camplexu”. Hukum yang berlaku tersebut dapat juga dibedakan hukum tidak tertulis, hukum tercatat dan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis merupakan sinonim dari hukum kebiasaan, yang di Indonesia dikenal dengan hukum adat, dan hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum yang tertua.
Hukum tertulis yang berlaku umum dan mengikat orang banyak serta yang mepunyai lingkup laku wilayah manusia, wilayah ruang, dan wilayah waktu yang lebih luas, tidak tentu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada hukum tidak tertulis. Hukum tertulis selain merupakan wahana bagi hukum baru yang dibentuk setelah Indonesia merdeka dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang senantiasa berkembang, juga untuk menjembatani antar lingkup laku aneka adat dan hukum tidak tertulis lainnya, atau untuk mengatasi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis dalam hal pihak-pihak menghendakinya.
Dalam perkembangannya pembentukan hukum tertulis tidak dapat selalu diandalkan terbentuknya dengan cara kodifikasi, yang memerlukan waktu yang lama, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pembentukan hukum nasional tidak dapat dilakukan dengan cara lain kecuali dengan cara membentuk hukum yang tertulis dan dengan cara modifikasi, yang pembentukannya relatif lebih cepat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pengembangan ilmu dibidang perundang-undangan terasa semakin diperlukan, sebagai wacana untuk membentuk hukum nasional, oleh karena hukum nasional yang dicita-citakan akan terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Selain itu pembentukan hukum tertulis itu dirasakan sangat perlu bagi perkembangan masyarakat dan negara saat ini.
Sumber: academia.edu