Indonesia selain sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, juga adalah negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia. Kenyataan itu membuat Indonesia menjadi negara muslim yang berhasil melakukan demokratisasi beriringan dengan proses penerapan ajaran Islam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di tengah kebhinnekaan bangsa. Islam dan demokrasi yang kerap dipertentangan oleh sejumlah kelompok muslim, di Indonesia justru dapat hadir secara sinergis dan berkait kelindan satu sama lain. Hal tersebut ditopang oleh cara pandang moderat mayoritas muslim di Indonesia, yang selalu berusaha mencari titik temu di antara berbagai konsepsi kehidupan (termasuk konsep bernegara) dari berbagai aras kebudayaan dan peradaban, selama secara prinsipil tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Usia demokrasi di bangsa ini memang belumlah terhitung dewasa, proses demokratisasi masih berjalan tertatih di tengah berbagai persoalan kebangsaan yang terjadi. Korupsi, oligarki politik, politik uang hingga politisasi SARA masih menjadi tantangan sekaligus hambatan bagi terwujudnya demokrasi subtansial.
Sebagai negara-bangsa yang berdiri dari sebuah konsensus di atas fakta kemajemukan, persoalan pengelolaan keragaman menjadi satu hal paling penting bagi bangsa ini. Gagalnya pengelolaan keragaman, menandai gagalnya penyelenggaraan negara, hal tersebut karena keragaman (suku, agama dan ras) adalah ibu kandung bangsa Indonesia. Menegasinya, berarti membunuh ibu pertiwi, cepat atau lambat.
Islamisme
Ketika meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara (24/3/2017). Presiden Joko Widodo mengungkapnya pentingnya memisahkan agama dari politik. Statemen Jokowi tersebut, sontak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, sehingga memantik kembali debat tentang diskursus agama dan politik dalam konteks ke-Indonesia-an. Hal ini penting menjadi bahan refleksi kebangsaan, melihat fenomena meningkatnya polarisasi antar golongan berbasis agama, akibat hiruk-pikuk politik di momen Pilkada DKI Jakarta yang menjadi sorotan masyarakat di seantero negeri.
Fenomena menguatnya politik identitas berbaju agama di momen Pilkada Jakarta, menunjukkan kondisi yang memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan. Memprihatinkan sebab, sulam kebangsaan akan kembali dikoyak oleh sektarianisme dan fanatisme golongan yang beroperasi lewat ruang-ruang suksesi politik kekuasaan. Mengkhawatirkan karena, merebaknya sektarianisme di momen Pilkada DKI bisa saja berefek ke wilayah lain dengan segregasi mayoritas-minoritas yang heterogen, khusunya segregasi agama (dalam hal ini antara muslim dan non-muslim) yang rentan menimbulkan konflik komunal di momen politik Pilkada.
Dengan berakhirnya Pilkada Jakarta yang ditandai dengan lahirnya Gubernur terpilih, bukan berarti riuh politik identitas berbasis SARA juga akan usai, di depan kita masih terpampang sejumlah momen politik penting, baik Pilkada hingga Pilpres 2019 nanti. Tentu hal itu menjadi ujian bagi bangsa ini, pikiran dan sikap politik umat Islam menghadapi setiap momen suksesi politik itu, memiliki dampak langsung bagi kelangsungan demokrasi di bangsa ini.
Di Indonesia, setidaknya ada dua corak besar ideologi politik ummat Islam yang mewarnai perjalanan sejarah perpolitikan di negara ini. Pertama, politik Islam itu sendiri (islamisme), penganut corak ini akan berusaha memperjuangkan sebuah tatanan bernegara di bawah panji Islam, hal ini selain berangkat dari pandangan akan kenyataan bahwa ummat Islam adalah mayoritas dalam tubuh bangsa Indonesia, juga akibat adanya pemahaman -bahkan keyakinan- di sebagian kalangan ummat Islam, bahwa mendirikan negara Islam (Islamic state/khilafah Islamiyah) adalah kewajiban ummat Islam, menurut kelompok ini, Islam sebagai ajaran yang sempurna hanya akan bisa diterapkan secara total (kaffah), jika hadir sebagai agama (din) sekaligus negara (daulah) yang terwujud melalui pemerintahan, sehingga dengan kekuasaan yang dimiliki itu, “Islam” dapat mengatur segala aspek kehidupan.
Kedua, politik kebangsaan (nasionalisme), corak politik ini kerapkali dianggap tidak memiliki pijakan dalam agama (Islam), hal ini diakibatkan oleh cara pandang formalistik, karena melihat nasionalisme secara terminologis tidak terdapat dalam ensiklopedia dunia Islam, padahal secara subtansial ia telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dalam bingkai negara Madinah berabad yang lampau. Hal tersebut dipertegas oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ary, menurut pendiri NU ini “Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan, nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan”.
Politik Kebangsaan
Ajaran Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja/Sunni) adalah faham yang dianut oleh mayoritas masyarakat muslim di Indonesia bahkan di dunia. Aswaja yang di kalangan NU, didudukkan sebagai manhaj al-fikr (metodologi berfikir) memiliki platform politik, yaitu syura (musyawarah), al-adl (adil) al-hurriyah (kebebasan) dan al-musawa (kesetaraan).
Dalam konteks NU dan Muhammadiyah misalnya, platform politik itu diwujudkan dalam politik kebangsaan, yaitu visi politik yang menempatkan ke-Indonesia-an di atas kepentingan golongan, baik yang berorientasi agama, suku dan sejenisnya. Bahwa perjuangan Islam politik (islamisme), mungkin akan menguntungkan ummat Islam pada satu sisi, namun pada sisi yang lain akan menyebabkan rapuhnya sendi-sendi kebangsaan oleh karena ketegangan ideologis berbasis agama akan kembali merebak.
Bangsa-negara Indonesia yang berdiri di atas pondasi kemajemukan, tak mungkin disatukan melalui formalisme agama dalam negara (religion state). Kehendak mendirikan negara Islam (islamic state) harus diakui memang pernah diupayakan oleh sejumlah wakil ummat Islam sesaat setelah republik ini diproklamirkan, namun hal itu tidak tercapai dalam mufakat. Sehingga, Pancasila diterima sebagai formulasi paling ideal, hasil konsensus dan kompromi segenap eksponen kemerdekaan yang mewakili golongannya masing-masing, dimana ajaran agama menjadi sumber inspirasi utamanya.
Ummat Islam sebagai mayoritas di bangsa ini, memang memiliki modal sosial sekaligus modal politik yang strategis. Tentu modal sosial dan modal politik itu tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan antara kepentingan agama (Islam) dan bangsa Indonesia. Mengingat para founding fathers dari kalangan ulama adalah penyokong utama republik, baik dalam kaitannya dengan dengan perjuangan meraih kemerdekaan, maupun perjuangan mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu dengan semangat persatuan dan visi kebangsaan. Hal itu misalnya dibuktikan melalui penerimaan Pancasila dan pembatalan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Ummat Islam adalah pasak kebangsaan Indonesia yang majemuk. Karena jasa-jasa para Ulama yang menanggalkan fanatisme golongan demi pesatuan, kemudian menghadirkan semangat keislaman dan kebangsaan dalam satu batang tubuh ke-Indonesiaa-an, demi tercapainya tujuan beragama dalam bernegara, yaitu terciptanya kemaslahatan bersama (al-maslahatul ‘ammah).
Penulis: M. Fadlan L NasurungRubrik Opini Radar Sulbar, Edisi Jumat 21 April 2017.
Sumber: gusdurian.net