Tele-Dai dan Persoalan Otoritas Keagamaan

Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial sempat riuh oleh perbincangan tentang seorang ustazah yang salah menulis ayat al Quran. Nani Handayani, penceramah agama dalam acara Syiar Kemuliaan di Metro TV, menjadi pangkal dari keriuhan tersebut. Ia kedapatan salah menuliskan ayat al-Quran. Sebuah tindakan yang tentu sangat fatal dalam Islam, terlebih dilakukan oleh seseorang dengan gelar ustazah. Sontak, hal itu pun mendapat teguran keras dari warganet.

Barangkali, peristiwa salah tulis ayat ini hanyalah bagian kecil dari fenomena besar menjamurnya penceramah agama di televisi dengan pengetahuan keagamaan yang diragukan. Tempo hari, kita dibuat jengah sekaligus risih oleh pernyataan seorang penceramah muda yang mengatakan bahwa salah satu nikmat surga adalah pesta seks. Juga, perilaku para ustaz yang acap tidak sesuai dengan norma dan ajaran Islam, seperti kawin-cerai, dan secara terbuka mengkampanyekan poligami.

Tidak seperti dalam agama Katolik, dalam Islam, khususnya golongan Sunni, tidak terdapat lembaga keagamaan resmi. Artinya, tidak ada pihak yang benar-benar dianggap paling otoritatif dalam persoalan keagamaan. Meski demikian, masyarakat muslim mengenal lembaga-lembaga keagamaan yang dianggap berwenang dalam urusan agama dan mewakili kepentingan umat. Di Indonesia kita mengenal NU dan Muhammadiyah sebagai dua lembaga keagamaan paling otoritatif. Hasil keputusan dua lembaga tersebut, umumnya diikuti oleh para penganutnya.

Di luar lembaga keagamaan tersebut, terdapat kiai, ustaz, atau ulama yang juga dijadikan rujukan bagi persoalan keagamaan. Biasanya, seseorang berhak menyandang gelar kiai, ustaz, atau ulama, dan memiliki wewenang dalam persoalan keagamaan karena memiliki setidaknya tiga hal. Pertama, memiliki pengetahuan tentang keilmuan dasar Islam meliputi ilmu kalam (teologi), fikih (hukum Islam) dan lughah (bahasa).

Selain pengetahuan dasar itu, tentu dibutuhkan pengetahuan lain seperti filsafat, logika, tasawuf, dan juga ilmu-ilmu lain. Kedua, memiliki rekam jejak dalam pendidikan keislaman formal. Artinya, belajar di lembaga pendidikan Islam dengan guru-guru yang memang layak dan otoritatif di bidang keislaman. Ketiga, berlatar belakang keluarga religius, dan memiliki kharisma serta daya tarik tertentu.

Agama dalam Logika Pertelevisian

Modernitas sebagai bagian dari kehendak zaman telah melahirkan cara-cara baru dalam menyampaikan ajaran agama. Media untuk menyampaikan ajaran agama pun berkembang, tidak hanya terbatas pada lembaga-lembaga pendidikan resmi, semisal pesantren atau sekolah Islam.

Kemunculan media baru memungkinkan ajaran Islam disampaikan dengan cara-cara yang tidak konvensional. Kini, publik Islam lebih banyak menikmati sajian ceramah keagamaan melalui media baru, salah satunya melalui televisi, dan disampaikan oleh sosok-sosok baru yang belum pernah dikenal sebelumnya.

Greg Fealy dalam tulisannya berjudul Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism in Contemporary Indonesia mengistilahkannya sebagai tele-dai. Istiah tele-dai diadopsi dari istilah televangelism yang merupakan fenomena bermunculannya penceramah Protestan di televisi-televisi nasional di Amerika Serikat.

Para televangelist umumnya dicirikan oleh sosok penceramah yang punya daya pikat memukau; bersuara lantang, dan fasih beretorika. Selain itu, para televangelist adalah penganjur fundamentalisme agama yang mengajak masyarakat kembali pada nilai-nilai dasar agama, dan meninggalkan gaya hidup sekuler.

Berbeda dengan televangelist di Amerika, fenomena tele-dai di Indonesia justru diisi oleh sosok-sosok yang menyampaikan ajaran Islam yang ringan, praktis, dan mudah dipahami. Ini karena kelompok yang disasar adalah kelas menengah muslim-urban yang membutuhkan pengetahuan Islam yang aplikatif, dan disampaikan dengan gaya populer.

Kemunculan fenomena tele-dai tidak pelak telah menyebabkan terjadinya pergeseran otoritas keislaman di Indonesia. Sebelumnya, lembaga keagamaan dan individu dengan kriteria tertentulah yang dianggap masyarakat sebagai pemegang otoritas keagamaan. Sekarang kecenderungan itu mulai bergeser. Tele-dai dengan kemampuan menarik massa dan popularitasnya telah menjadi sosok-sosok baru yang dipandang punya otoritas di bidang keislaman, utamanya di kalangan muslim menengah-urban.

Hal itu tampaknya dimanfaatkan betul oleh para pelaku industri pertelevisian. Saat ini hampir tidak ada televisi nasional yang tidak memiliki acara ceramah keislaman. Jika dulu acara-acara sejenis hanya tayang di saat bulan Ramadan, kini acara keagamaan tayang saban hari, dan berhasil mendapatkan rating yang tinggi. Maka, menjadi wajar apabila stasiun TV berlomba-lomba menampilkan ustaz yang mampu menyihir animo masyarakat, dan dianggap representatif untuk mendatangkan banyak iklan.

Fatalnya, ceramah agama yang didesain untuk mengerek rating dan mendulang banyak iklan tersebut kemudian cenderung abai pada materi ceramah. Produser acara keagamaan di TV pun tidak lagi merasa penting menilai rekam jejak keilmuan sang penceramah. Tidak jarang, bahkan para penceramah keagamaan di TV tidak memiliki pengetahuan keislaman yang memadai.

James Hoesterey dalam tulisannya berjudul Marketing Morality: The Rise, Fall and Rebranding of Aa Gym menyebutkan bahwa Aa Gym baru belajar imu-ilmu dasar Islam, termasuk fikih dan Bahasa Arab, justru setelah ia tidak lagi aktif di televisi lantaran kasus poligami yang kontroversial. Sebagai catatan, tulisan itu didasarkan atas penelitian selama dua tahun yang dilakukan di lingkungan Darut Tauhid.

Kejadian salah tulis ayat al Quran yang dialami Nani Handayani idealnya menjadi semacam momentum untuk berbenah, baik bagi pelaku industri televisi maupun bagi para penceramah itu sendiri. Bagi para produser acara keagamaan di TV penting kiranya untuk menjalin kerja sama dengan lembaga keislaman yang otoritatif semisal NU, Muhammadiyah, atau MUI.

Lembaga-lembaga tersebut dapat dijadikan sebagai semacam konsultan bagi program keagamaan yang diproduksi oleh stasiun TV. Hal ini penting agar muatan dan cara penyampaian ceramah keagamaan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Perlu juga dibangun kesadaran bahwa esensi acara keagamaan adalah memberikan pencerahan spiritual pada masyarakat, alih-alih hanya mengejar rating dan iklan.

Gagasan mengenai sertifikasi ulama yang sempat diwacanakan beberapa waktu lalu agaknya juga perlu direnungkan ulang. Kaburnya kriteria tentang siapa yang berhak dan memiliki wewenang menyampaikan ajaran Islam pada akhirnya justru melahirkan banyak persoalan. Munculnya ustaz(ah) dengan pengetahuan agama yang minim hanyalah salah satu contohnya.

Ada sebuah pepatah Arab klasik yang berbunyi "celakalah bagi kalian yang tidak sadar akan kadar dirinya." Nasihat itu tampaknya cocok bagi orang-orang yang bermodalkan nekat dan pengetahuan pas-pasan ketika menjadi penceramah agama.

Memang benar bahwa Islam memerintahkan pada umatnya untuk menyampaikan ajaran Islam walau hanya satu ayat. Namun, harus disadari sepenuhnya bahwa di balik itu, terdapat tanggung jawab yang besar. Tentunya tidak elok jika diktum "ajarkanlah walau hanya satu ayat" itu dipakai untuk melegitimasi tindakan mencari popularitas, dan mendulang pundi-pundi dengan menjadikan agama sebagai komoditas.

Siti Nurul Hidayah alumnus Departemen Filsafat dan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(mmu/mmu)
Detik. Jumat 15 Desember 2017
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom