Namanya Wage Rudolf Supratman. Anak seorang pribumi yang menjadi tentara KNIL. Ibunya sangat suka nembang, dan menjelang akhir hayatnya, nembang lagu kematian.
Wage, seorang anak negeri. Hobinya memanjat pohon dan makan es. Ketika harus upacara di sekolahnya, dia memilih madol dan menyanyikan lagu ‘Lir Ilir’, berbarengan dengan dinyanyikannya lagu kebangsaan Belanda.
Gara-gara itu, dia habis dihajar ayahnya. Hanya sang Ibu yang bisa menghentikannya. Bagi Wage, ibu yang berpulang ketika ia masih kanak-kanak adalah sumber inspirasi dan tonggak kesadarannya akan cinta tanah air.
Tak heran jika perempuan dan sosok ibu, sebagai personifikasi tanah air sering ia sebut dalam lagu-lagu kebangsaan ciptaannya. Seperti lagu ‘R.A Kartini’, yang kini dikenal dengan judul ‘Ibu Kita Kartini’. Atau lagu ‘Matahari Terbit’, yang kemudian membuatnya ditangkap, memuat lirik yang mengajak anak negeri untuk bangkit memenuhi panggilan ‘ibu’.
Wage, anak pribumi yang paham betul tentang diskriminasi akibat penjajahan. Kendati dia berpendidikan, keluarganya bekerja sebagai pegawai pemerintah, kakaknya menikah dengan orang Belanda, bahkan walaupun dia berpakaian necis ala orang Eropa, dia tetap tak bisa sembarangan masuk ke tempat yang bertanda khusus untuk orang Belanda. Tetap jadi obyek cemoohan dan perundungan dari orang-orang Belanda.
Dan ketika dia menunjukkan rasa cinta tanah air dan hasrat kemerdekaan, lewat karya-karyanya, baik dalam bentuk lagu maupun novel roman, dia juga tak luput diburu dinas kepolisian. Diancam untuk dihabisi oleh aparat polisi, yang notabene juga anak bangsa, seperti dirinya.
Wage Rudolf, belajar bermain biola dari orang Belanda. Ketika galau dan sempat berhenti bermain musik sebagai salah satu mata pencaharian, dia memutuskan menjadi jurnalis. Dia bekerja di Harian ‘Sin Po’, yang kritis dan aktif menyuarakan gerakan kebangsaan.
Wage, seorang Muslim yang taat, yang senantiasa ingin menjalani hidup lurus seperti huruf alif. Selurus tongkat biola miliknya. Dia orang yang senantiasa mengikuti ‘kesadaran’ dalam hatinya, penuntun untuk hidup dengan jiwa yang merdeka.
Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia. Lagu yang diciptakan dalam himpitan keterbatasan, dan tekanan penjajah, dipadu semangat serta mimpi untuk mempersatukan Indonesia. Pertama kali berkumandang di Kongres Pemuda II Sumpah Pemuda tahun 1928, dalam bentuk instrumen (karena liriknya dilarang Pemerintah Belanda).
Semangat dalam lagu itu menular kemana-mana membangkitkan jiwa kaum muda. Harian ‘Sin Po’ dengan berani memuat, dan mencetak teks lagu itu untuk disebarkan ketika Pemerintah Hindia Belanda bersikap keras terhadap gerakan pro-kemerdekaan.
Dia pria bersahaja dengan kacamata tebal. Tak pernah menikah atau mengangkat anak. Sosoknya tirus dan ringkih akibat penyakit jantung yang diidapnya. Penyakit itu menggerogotinya selama hidup berpindah menghindari kejaran polisi. Seorang perfeksionis terhadap karya-karyanya.
Wage kembali ke pangkuan Ilahi dalam usia 35 tahun pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit. Sepuluh hari setelah dia dilepas dari Penjara Kalisosok Surabaya, akibat menampilkan Lagu ‘Matahari Terbit’ lewat siaran radio. Lagu terakhirnya adalah ‘Selamat Tinggal’, ucapan perpisahan dengan tanah air yang amat dicintainya.
Dia tak pernah menyaksikan lagu Indonesia Raya dinyanyikan dalam Proklamasi Kemerdekaan, tujuh tahun kemudian. Jasad boleh musnah berkalang tanah. Tapi karyanya tetap abadi.
‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya’
—
Tulisan ini dibuat setelah menonton film ‘WAGE’ di bioskop. Film yang amat layak ditonton bersama kids jaman now: tentang pergulatan pikiran dan proses berkarya demi bangsa.
Diambil dari Status FB Dara Meutia Uning.