Tulalit dalam Komunikasi Politik Para Cheerleaders

“Mereka teriak-teriak Save Rohingya, tapi lupa bahwa saudara-saudara kita sendiri di Sampang juga dianiaya. Standar ganda!”

Selama ribut-ribut Rohingya beberapa waktu terakhir, kalimat macam di atas kerap terdengar. Itu bukan pola baru. Sejak beberapa tahun terakhir, dinamika pergulatan wacana di era medsos terus-menerus membuat kita semakin lihai untuk menagih konsistensi orang lain. Mengkritik sikap-sikap tebang pilih, standar ganda, atau malah yang tanpa standar sama sekali.

Saya merenung-renungkan lagi kutipan kalimat di atas. Secara konteks luas, ia logis. Namun dalam konteks yang lebih sempit, rasanya ada sedikit yang mengganjal.

Begini maksud saya. Dari perspektif wawasan kebangsaan, para aktivis Islam penggiat #SaveRohingya memang tidak menjalankan prioritas sikap yang semestinya. Memang seharusnya tetangga di Sampang yang terusir dari rumah-rumah mereka itulah yang lebih dulu dibela, sebelum pembelaan dilimpahkan kepada yang jauh-jauh di Myanmar sana. Tapi betulkah mereka memegang nilai kebangsaan sebagai pandangan hidup? Di situlah titik problem logika pada kutipan pertanyaan di awal tadi.

Tak sedikit aktivis Islam yang sadar akan masalah kebangsaan. Namun banyak pula yang tidak menjadikan pemahaman tersebut sebagai pandangan dunia mereka. Sebab pandangan mereka adalah keislaman, bukan kebangsaan.

Sebagai kelompok yang berpegang semata kepada nilai keislaman zonder kebangsaan, sikap yang mereka tampilkan dalam kampanye Save Rohingya jelas sudah konsisten. Kenapa? Sebab memang dalam Islam ada doktrin solidaritas sesama muslim. Bahwa sesama muslim adalah bersaudara, bahwa muslim ibarat satu tubuh sehingga bila satu anggota badan sakit maka sakit pula anggota badan lainnya, dan sebagainya.

Solidaritas sesama muslim seperti itu tidak bisa kita nafikan. Ia bagian dari sistem nilai dalam Islam. Ia bagian dari manifestasi keyakinan. Sebagai bagian dari keyakinan, tentu nilai seperti itu sah-sah saja dan harus diakui keberadaannya.

Dengan demikian, ketika mereka lebih peduli kepada muslim Rohingya daripada muslim di Sampang, itu sama sekali bukan standar ganda. Kenapa? Sebab bagi mereka, yang di Sampang itu Syiah, dan Syiah itu bukan Islam!

Maaf, saya harus masuk ke wilayah sensitif ini. Saya sendiri muslim, dan bagi saya yang di Sampang itu juga muslim, tak bedanya dengan saya. Tapi tak bisa kita abaikan bahwa banyak kelompok muslim di Indonesia yang menganggap tetangga di Sampang itu bukan muslim. Walhasil, meski sama-sama terusir dari kampung halaman, saudara-saudara di Sampang tidak masuk dalam semesta solidaritas Islam versi mereka.

Apakah yang begitu itu sah? Sah dong. Lha wong itu keyakinan mereka kok. Secara umum, setiap keyakinan berdiri di atas lempeng-lempeng klaim kebenaran. Ketika pemeluk suatu keyakinan meyakini dirinya masuk surga dan orang lain masuk neraka, ya sah-sah saja. Bahkan keyakinan demikian pun dilindungi undang-undang.

Semua baru akan jadi masalah ketika apa yang mereka yakini itu diekspresikan dalam tindakan-tindakan sosial. Saat keyakinan bergerak jadi ucapan di depan banyak orang, jadi pemasangan spanduk-spanduk di ruang publik, jadi ujaran kebencian dan provokasi di media sosial, jadi sabetan bilah-bilah pentungan, nah barulah itu berbahaya. Bila sudah sampai tindakan-tindakan yang berkonsekuensi sosial, yang mesti menjalankan tugas adalah negara sebagai pengayom semua.

Aduh, jadi melebar, maafkan. Kita kembali ke topik semula. Poinnya, agak ganjil kalau kita menagih konsistensi sikap kebangsaan kepada orang-orang yang memang tidak menjadikan wawasan kebangsaan sebagai bagian dari sistem nilai yang mereka anut. Jika model demikian dipaksakan, yang terjadi ya tulalit. Tidak nyambung, membuang waktu dan tenaga, memperkeruh suasana, dan kesemuanya itu hanya akan jatuh jadi proses komunikasi yang sia-sia.

Lalu apa yang mesti dilakukan untuk menyikapi hilangnya kesadaran kebangsaan dan lemahnya itikad untuk bersatu dalam keberagaman, sehingga nantinya kita bisa hidup bersama di bawah naungan rumah Indonesia? Wooo kalau itu jelas bukan bagian saya. Silakan tanya ke Mbak Puan saja.

Saya cuma sedang membicarakan komunikasi di kalangan akar rumput yang sering berakhir menabrak dinding. Itu problem krusial dalam pola komunikasi kita. Sekali lagi, pengabaian atas pandangan dunia orang lain yang jadi musababnya. Coba baca ulang baik-baik: pengabaian atas pandangan dunia orang lain. Bukankah itu terdengar agak mirip dengan intoleransi? Tidak persis-persis amat, cuma agak mirip saja.

***

Saya ambil contoh lain, biar lebih lengkap. Pada masa giat-giatnya teman-teman Hizbut Tahrir Indonesia mempromosikan khilafah secara terbuka, para pemuda Banser NU beberapa kali menghadangnya. Misalnya peristiwa yang terjadi di Malang dan Tulungagung.

Kemudian beberapa pihak, terutama para aktivis prodemokrasi, melemparkan kritik keras kepada Banser. “Hoi, katanya kebebasan berpendapat? Ini kenapa Banser malah membungkam kebebasan? Bagaimanapun ide khilafah sekadar gagasan to? Hormati dong! Mana sikap demokratisnya?”

Nah, ini dia. Kalau dicermati karakternya, Banser tidak pernah tampil mencitrakan diri sebagai pembela demokrasi dalam makna liberal, sebagaimana yang diperjuangkan para aktivis HAM dan kawan-kawan. Yang mereka usung selalu Pancasila, NKRI, kebhinnekaan, Islam yang rukun dengan para pemeluk agama lain, dan sejenisnya. Maka, menagih komitmen mereka atas demokrasi (sekali lagi: dalam pemaknaan demokrasi liberal) adalah tagihan yang salah sasaran.

Kalau mau diklasifikasikan, bolehlah dengan semena-mena kita sebut ada dua kategori: “pembela demokrasi”, dan “pembela NKRI”. Para aktivis HAM ada di kelompok pertama, sedangkan Banser masuk kategori kedua. Aktivis HAM konsisten membela kemerdekaan berpendapat sebebas-bebasnya sepanjang tidak melakukan kekerasan fisik maupun verbal. Adapun Banser membela kebebasan berekspresi sepanjang ekspresi tersebut tidak kontraproduktif dengan eksistensi NKRI.

Walhasil, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan yang dianggap berlawanan dengan spirit NKRI ya dihajar oleh Banser. HTI dan khilafahnya, itu sudah jelas. Selain itu ya apa pun yang dicurigai bau PKI, yang terindikasi menghidupkan kembali komunisme, dan segala yang kiri-kiri. Secara tradisional, Banser memang bersikap frontal menghadapi itu semua.

Di saat yang sama, para “pembela demokrasi” tetap konsisten mendukung kebebasan berpikir dan bersuara, baik suara yang beraroma khilafah maupun komunis. Jelas sekali bedanya titik pijak mereka dengan Banser.

Singkatnya, kalau toh Banser melakukan persekusi atau apalah, yang mereka langgar adalah wilayah hukum. Sementara, konsistensi ideologis tidak mereka langgar sama sekali.

***

Tidak, tidak, tulisan ini bukan sedang membela siapa-siapa. Semua contoh yang saya gambarkan tadi tak lebih dari upaya menjernihkan nalar dalam berkomunikasi. Ingat, benturan pandangan terus-menerus terjadi di antara kita. Namun sejauh ini rasanya semua itu tidak menghasilkan apa-apa. Kenapa? Salah satunya ya karena tulalit massal yang terjadi dalam dialog-dialog kita.

Terakhir, saya jadi ingat suatu percakapan dengan seorang kawan di lokasi KKN saya dulu, sebut saja namanya Agus. Agus ngotot bahwa belajar filsafat itu tidak ada gunanya, karena Islam tidak mengajarkannya. Maka saya bertanya, “Lalu misalnya kamu ingin mengislamkan seorang atheis, caramu membantah pandangan-pandangannya gimana, Gus? Mau pakai penjelasan seperti apa sehingga kamu bisa meyakinkan dia bahwa atheisme itu salah, dan Islam itu benar?”

“Lha ya aku tinggal bilang saja kalau Alquran sudah dengan jelas menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah rasul terakhir. Itu tidak terbantahkan lagi.”

Saya melongo. Seorang atheis didebat dengan menggunakan kitab suci, sementara kitab suci itu tidak dia percayai sama sekali? Tentu saya memilih diam dan tidak melanjutkan perdebatan dengan koordinator pondokan KKN saya itu.

Nah, kurang lebih nalar komunikasi seperti Agus itulah yang tanpa sadar sering berjalan di otak kita. Nalar tulalit.

Oh iya, ngomong-ngomong, anak muda zaman sekarang apa ya masih ada yang paham dengan istilah ‘tulalit”? Itu istilah yang lahir dari peradaban wartel dan telepon rumah. Ketika saya googling tadi, pencarian dengan kata kunci ‘tulalit’ cuma menghasilkan lagu Cinta Laura yang diluncurkan 15 tahun silam, dan novel lawas Putu Wijaya dengan judul yang sama. Jadul sekali, ya?

Jangan-jangan dari tadi istilah tulalit yang saya pakai malah memunculkan varian tulalit yang lain lagi? Aduh.

Iqbal Aji Daryono praktisi media sosial
(mmu/mmu)

Detik. Selasa 12 September 2017
Ilustrasi: Iqbal Aji Daryono (by Edi Wahyono)